PEMANFAATAN PASTURA
PEMANFAATAN PASTURA
Pendahuluan
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa
pastura merupakan suatu sumber hijauan pakan ternak ruminansia. Pemeliharaan
ternak yang digembalakan pada pastura memberikan arti ternak memilih dan mengambil sendiri
hijauan yang dimakannya. Dengan demikian jika pastura baik maka diharapkan
produksi ternak akan baik pula, akan tetapi jika pastura dalam keadaan buruk,
seperti kebanyakan padang rumput alam maka produksi ternak juga tidak dapat
tinggi serta ada kemungkinan ternak mengkonsumsi hijauan beracun yang dapat
mengganggu proses physiologis dirinya.
Pemanfaatan
pastura lebih dikenal dengan istilah penggembalaan atau grazing. Pada proses penggembalaan ini banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan mengingat proses ini sangat komplek, hal ini berbeda dengan
sistem cut and carry yang mana faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan hijauan maupun ternak mudah diatur oleh manusia.
Pada sistem cut and carry seleksi
hijauan didahului dari peternak saat mencari rumput, bila peternak mendapatkan
hijauan kualitas rendah, maka ternak dalam kandang akan diberi pakan tambahan
berupa konsentrat sebagai tambahan gizi. Satu-satunya faktor cekaman pada
tanaman yang dipanen dengan sistim cut
and carry adalah pemotongan oleh peternak, sedangkan pada sistem
penggembalaan cekaman tersebut sangat banyak seperti perengutan, injakan serta
sebaran kotoran ternak yang masih segar.
Pada
proses penggembalaan, pertama kali ternak melakukan seleksi pada jenis tanaman
dan perengutan hanya dilakukan pada bagian tanaman yang disukai. Dalam
melakukan kegiatan ini ternak berjalan dan sebagai akibatnya banyak tanaman
terinjak dan bahkan sebagian tanaman juga mendapatkan cekaman dari kotoran
ternak yang dikeluarkan saat merumput. Kotoran ternak yang masih segar merupakan
suatu cekaman bagi pertumbhan tanaman mengingat material ini merupakan bahan
organik yang masih belum siap dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman. Adanya
proses seleksi, injakan dan tercampurnya tanaman dengan kotoran mengakibatkan
tidak semua bagian aerial tanaman dapat dikonsumsi oleh ternak, sehingga
pemanfaatan hijauan di pastura lebih rendah dibandingkan dengan sistem cut and carry.
Meskipun
pemanfaatan hijauan di pastura kurang efisien dibandingkan sistem cut and carry, akan tetapi dengan sistem
pengembalaan mempunyai beberapa kelebihan, misalnya tidak banyak memerlukan
tenaga kerja manusia, sebagian hara dikembalikan lagi dalam pastura baik yang
berupa kotoran ternak maupun bagian tanaman yang tidak terkonsumsi ternak. Oleh
karena itu arah dari pembangunan pastura diharapkan peternak mampu meningkatkan
menejemen yang mengarah pada penggalian potensi untuk mengoptimalkan kelebihan
ini dan memperkecil resiko-resiko dari kekurangan sitem penggembalaan.
Pengaturan
Defoliasi/penggembalaan
Defoliasi mempunyai arti pemotongan daun, yang secara luas dapat diartikan pemotongan
bagian-bagian tanaman yang berada di atas permukaan tanah (bagian aerial) baik
dengan sistem cut and carry atau
dengan perenggutan oleh ternak yang digembalakan (grazing).
Dalam sistem penggembalaan, waktu pemanenan hijauan
perlu kiranya mendapatkan perhatian karena waktu pemanenan identik dengan umur
tanaman. Umumnya kadar protein akan turun sesuai dengan meningkatnya umur
tanaman tetapi kadar serat kasar menunjukkan perilaku sebaliknya.
Kecuali pengaruhnya terhadap kandungan nutrisi (protein
dan serat), maka saat pemotongan hijauan sangat erat hubungannya dengan daya
cerna dan konsumsi oleh ternak yang memakannya. Tiga faktor tersebut yaitu
kandungan nutrisi, daya cerna serta jumlah konsumsi sangat menentukan produksi
ternak. Pada kelompok leguminosa maupun rumput, ketiga faktor tersebut pada
umumnya menurun sehubungan dengan meningkatnya umur tanaman, namun demikian
antar spesies dalam kelompok tanaman tersebut juga menunjukan variasi. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa kualitas hijauan di pastura selain
dipengaruhi oleh perlakuan juga dipengaruhi pula oleh faktor genetik tanaman.
Untuk mendapatkan
hijauan yang berkualitas tinggi, maka pelaksanaan dalam praktek berarti hijauan
harus lebih sering dipotong (defoliasi) agar pertanaman selalu dalam keadaan
muda. Pertanyaan yang timbul adalah seberapa jauh ulangan defoliasi pada umur
muda tersebut mempengaruhi produksi dan perlakuan apakah yang diperlukan untuk
menjaga kelangsungan produksi. Seperti yang dilaporkan Susetyo (1978) pengaruh
interval defoliasi baik pada leguminosa maupun rumput berpengaruh terhadap
produksi bahan kering. Ternyata bahwa makin pendek interval pemotongan produksi
tanaman per Ha menurun bahkan nampak timbulnya gangguan oleh tumbuh-tumbuhan
pengganggu. Defoliasi yang berat (frekuensi dan intensitas) akan memperlemah
pertumbuhannya dan pada pertanaman campuran antara leguminosa dan rumput akan
dapat menyebabkan kemusnahannya. Dalam hal inipun nampak bahwa mempertahankan
pertanamanan dalam kondisi muda untuk mendapatkan nilai gizi yang tinggi dengan
jalan mengatur interval defoliasi pendek akan menurunkan produksi bahan kering,
sebagai akibatnya jumlah ternak yang dapat dipelihara juga menurun..
Secara umum karakteristik tanaman pastura mempunyai
sifat : kualitas berbanding terbalik dengan produksi, artinya bila mengharapkan
kualitas tinggi, maka sebagai konsekuensinya produksi menjadi rendah, oleh
karena itu sebaiknya defoliasi dilakukan pada akhir fase vegetatip (perpindahan
dari fase vegetatif ke generatif) agar tanaman mempunyai cukup cadangan makanan
berupa karbohidrat didalam akar/ rhyzoma yang ditinggalkan. Setelah dilakukan
defoliasi, karbohidrat ini dirombak oleh enzim-enzim tertentu menjadi energi
yang akan digunakan untuk tumbuh kembali (regrowth).
Regrowth merupakan sifat fisiologis suatu tanaman makanan ternak perrenial
untuk tumbuh kembali setelah mengalami defoliasi, dimana dalam sistem
penggembalaan hal ini dipengaruhi oleh :
(1). Interval pemanenan
Interval pemanenen yang mengandung pengertian waktu atau
umur tanaman adalah ulangan perenggutan hijauan didalam pastura. Apabila jumlah
ternak yang merenggut hijauan di padangan terlalu besar dan tidak seimbang
dengan luas padangan yang tersedia, maka semakin besar ulangan perenggutan yang
terjadi. Hal ini akan menghambat regrowth
hijauan untuk berassimilasi guna membentuk cadangan makanan.
(2). Intensitas pemanenan
Intensitas
pemanenan adalah tinggi rendahnya perenggutan hijauan di pastura akibat penggembalan
ternak. Apabila bagian tanaman yang ditinggalkan di atas permukaan tanah
semakin pendek, maka pertumbuhan kembali semakin terhambat karena cadangan
makanan yang terbentuk sedikit mengingat tempat cadangan makanan berkurang
sehingga kesempatan untuk berassimilasi juga menjadi berkurang. Namun demikian
fenomena ini tidak berlaku untuk semua species, karena ada beberapa species
seperti Setaria anceps yang menunjukkan
perilaku semakin pendek pemotongan, maka jumlah anakan yang ditimbulkan semakin
banyak, namun ketegaran tanaman ini pada umur muda bekurang karena
anakan-anakan tersebut tidak tahan terhadap injakan ternak.
Kedua faktor tersebut hendaknya perlu dipertimbangkan karena
defoliasi yang dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya pengaturan rotasi
dan pemberian waktu yang cukup bagi tanaman untuk regrowth, maka akan terjadi kondisi dimana tanaman-tanaman primer
kurang dominan, sebaliknya padangan akan didominasi oleh tanaman pengganggu
sehingga kulitas pastura menjadi rendah. Meskipun regrowth tanaman dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut, namun
curah hujan atau ketersediaan air tanah mempunyai pengaruh yang besar pula pada
aktifitas regrowth. Pada musim hujan,
interval pemotongan yang pendek tidak menimbulkan pengaruh namun saat kemarau
interval pemotongan pendek menjadi masalah untuk aktifitas regrowth. Dengan demikian pelaksanaan di lapangan, pada musim
hujan pemanenen dapat dilakukan pada umur muda sedangkan pada musim kemarau
umur panen harus ditunda lebih lama.
Penentuan jumlah ternak
yang digembalakan (Kapasitas Tampung)
Pemanfaatan pastura yang optimal dapat dilakukan dengan mengatur
imbangan yang serasi antara kuantitas hijauan yang tersedia dengan jumlah
ternak yang digembalakan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan suatu
pengetahuan untuk memperkirakan produksi suatu padangan, sehingga secara tepat
dapat memperkirakan jumlah ternak yang dapat dimasukkan ke dalam pastura.
Kemampuan
masing-masing pastura` dalam menampung ternak berbeda-beda karena adanya
perbedaan-perbedaan dalam hal-hal produktivitas tanah, curah hujan dan
penyebarannya, topografi dan hal-hal lain. Oleh karena itu setiap pastura
sebaiknya digembalai menurut kemampuan masing-masing.
Taksiran daya
tampung menurut Halls et al. (1964)
dapat didekati dengan jumlah hijauan tersedia di pastura tersebut. Namun
demikian untuk mengamati setiap bagian dari pastura tersebut sangat sulit dan
bahkan tidak mungkin dapat dikerjakan, sehingga cara pengambilan cuplikan
sebagai contoh (sample) memegang
peranan penting dalam pengukuran produksi hijauan. Ada beberapa metoda untuk
menentukan letak petak-petak cuplikan agar produksi hijauan dapat ditaksir
dengan benar. Metoda-metoda yang mungkin dapat dipilih adalah sebagai berikut :
- Dengan pengacakan
- Dengan stratifikasi
- Secara sistematik (dimulai dari titik yang telah ditentukan dan kemudian cuplikan-cuplikan diambil pada jarak-jarak tertentu sepanjang garis yang memotong padang rumput).
Setiap metoda pengambilan cuplikan tersebut mempunyai kebaikan dan
keburukan tetapi bila dilakukan dengan baik dan penuh komitmen tinggi maka dapat
memberikan gambaran yang cukup obyektif.
Cara yang baik
dalam pengambilan cuplikan misalnya dengan menggunakan dua angka dari daftar angka
random sebagai koordinat tempat cuplikan. Koordinat tersebut tidak perlu
dimulai dari sudut pastura sebagai titik nol tetapi dapat dimulai dari letak
cuplikan yang sebelumnya. Jumlah cuplikan yang diperlukan tergantung dari
ketidak seragaman pastura, alat-alat yang digunakan, tujuan pengambilan data,
tingkat ketelitian yang dikehendaki serta biaya atau fasilitas yang tersedia.
Menurut Halls et al. (1964) mengukur daya tampung
pastura sebagai berikut: petak cuplikan pertama ditentukan secara acak seluas 1
m2 bujur sangkar atau dalam bentuk lingkaran dengan garis tengah 1
m. Petak cuplikan kedua diambil pada jarak lurus 10 langkah ke kanan dari petak
cuplikan pertama dengan luas yang sama. Kedua petak cuplikan yang
berturut-turut tersebut membentuk satu kumpulan (cluster). Cluster
selanjutnya diambil pada jarak lurus 125 m dari cluster sebelumnya. Dalam hal
ini terdapat beberapa kemungkinan modifikasi yang dapat disesuaikan dengan
keadaan lapangan sehingga diperoleh cuplikan yang diperlukan. Untuk lapangan
seluas 160 acre (± 65 ha) diperlukan paling sedikit 50 cluster.
Setelah petak
cuplikan ditentukan semua hijauan yang terdapat didalam petak tersebut dipotong
sedekat mungkin dengan tanah termasuk dipotong juga bagai tanaman pohon-pohonan
yang mungkin dapat dimakan ternak sampai setingggi 1,5 m. Hijauan tersebut
kemudian dimasukkan kedalam kantung-kantung dan ditimbang bobot segarnya.
Apabila petak cuplikan jatuh pada batu-batu atau pohon-pohon besar usahakan
jangan menghindar, dan petak yang kosong tersebut nantinya juga digunakan
pembagi untuk mendapatkan nilai rata-rata.
Dari catatan bobot segar hasil cuplikan maka dapat
diketahui produksi hijauan segar per m2. Namun demikian perlu
dipertimbangkan bahwa tidak seluruh hijauan tersebut dapat terkonsumsi ternak
karena sebagian dari bagian tanaman harus ditinggalkan untuk menjamin regrowth. Jadi harus diperhitungkan proper use factor (PUF). Besarnya proper use factor tersebut antara lain
dipengaruhi oleh :
1.
Erodibilitas lahan
Pada pastura yang mudah mengalami erosi karena topografi
miring atau hamparan vegetasi yang rendah (tumbuhnya jarang), maka sebaiknya
hijauan tidak semuanya dipanen.
2.
Pola regrowth tanaman
Tidak semua jenis tanaman mempunyai kecepatan
pertumbuhan kembali yang sama setelah dipanen, oleh karena itu pada tanaman
yang mempunyai pola regrowth lamban
sebaiknya tidak semua hijauan yang dapat dipanen semuanya untuk ternak.
3.
Jenis dan jumlah ternak
Pada dasarnya semakn banyak atau semakin besar jenis
ternak yang dipelihara maka semakin banyak pula tanaman yang terinjak, sehingga
tidak semua hijauan yang dipanen dapat dimanfaatkan untuk ternak. Pada umumnya
tanaman yang sudah terinjak-injak akan dikonsumsi belakangan setelah tidak ada
hijauan lain yang disukai, tetapi pada tanaman yang sudah terkena kotoran
(feses dan urin) maka hijauan tersebut tidak akan dikonsumsi ternak dalam waktu
yang cukup lama. Pada beberapa hari pertama setelah tanaman terkena kotoran
segar, maka tanaman terlihat mulai menguning
karena kotoran tersebut mengalami proses fermentasi sehingga panas yang
ditimbulkan merupakan cekaman bagi tanaman. Selanjutnya setelah kotoran
tersebut mengalami pelapukan, maka terlihat tanaman tersebut tumbuh subur
dibandingkan tanaman lainnya. Oleh karena itu di pastura sering terlihat
tanaman yang bergerumpul rimbun yang dari kejauhan seperti titik-titik hijau, hal
ini adalah kelompok tanaman yang subur akibat terkena kotoran ternak dan ternak
tidak mau mengkonsumsinya.
4.
Keadaan musim/ketersediaan
pengairan
Pertimbangan
regrowth tetap menjadi faktor dominan
terhadap pemanfaatan hijauan. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa pada
musim kemarau dimana air merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman, maka regrowth tanaman akan lamban, oleh
karena itu pemanfaatan hijauan yang ada juga perlu disisakan untuk menjamin
kepentingan regrowth tanaman.
Pada dasarnya makin besar kemungkinan terjadinya erosi
atau faktor-faktor yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman pada suatu
pastura, maka PUF semakin kecil. Untuk penggunaan pastura yang ringan besarnya PUF
adalah 25-30%, penggunaan medium 40-45%, sedang untuk penggunaan yang berat
60-70%.
Sebagai contoh penentuan kapasitas tampung:
Suatu misal produksi hijauan segar hasil cuplikan
rata-rata per m2 = 2 kg, maka produksi hijauan dalam pastura per Ha
itu ditaksair 2 x 10.000 = 20.000 kg = 20 ton, dengan menggunakan PUF 40 % maka
jumlah hijauan yang tersedia untuk ternak per Ha 40% x 20 ton = 8 ton/ha..
Apabila kebutuhan hijauan 40 kg segar/ekor/hari maka kebutuhan luas tanah per
bulan (30 hari) = ha/ekor/bulan = 0.15
ha/ekor/bulan.
Berkaitan dengan musim dan regrowth hijauan setelah dipanen, maka dapat dimaklumi bahwa suatu
padangan memerlukan suatu masa istirahat agar hijauan yang telah dikonsumsi
ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai
periode istirahat (rest). Pada
umumnya, padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari istirahat setelah
digembalai (stay) selama 30 hari. Hal
ini tergantung spesies tanaman dan musim.
Untuk
menaksir kebutuhan luas lahan per tahun dapat dimanfaatkan rumus Voisin sebagai
berikut :
[ y – 1 ] s = r
y
= angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per ekor sapi per tahun terhadap
kebutuhannya per bulan.
s =
periode merumput [s = stay]
r =
periode istirahat [r = rest]
Dengan memasukkan
nilai r = 70 dan s = 30 pada rumus diatas maka diperoleh
y
= = 3,3
Dengan
nilai y = 3,3. serta diketahuinya kebutuhan luas pastura per bulan 0,15 ha,
maka kebutuhan luas padangan yang diperlukan per tahun adalah 3,3 x 0,15 ha =
0,495 hektar untuk per ekor sapi. Dengan kata lain, berarti satu Ha pastura per
tahun dapat menampung 2 ekor sapi dewasa yang setiap hari dengan konsumsi 40 kg
rumput pada tingkat penggembalaan sedang.
Kesimpulan dari hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa kapasitas
tampung pastura adalah 2 ekor / ha, dengan catatan sapi dewasa yang tiap hari
mengkonsumsi hijauan segar 40 kg. Dari hasil tersebut timbul pertanyaan,
bagaimana kalau sapi yang digembalakan tersebut pedet atau sapi dewasa yang
konsumsinya hanya 30 kg hijauan segar per hari. Selanjutnya bagaimana kalau
hasil pehitungan ternyata diperoleh kapasitas tampung suatu pastura 2,5 ekor/ha
Dengan melihat kasus tersebut, maka satuan kapasitas tampung pastura yang
dinyatakan dengan ekor/ha belum
operasional, dengan demikian memerlukan suatu standar yang memadai dan mudah
dioperasionalkan. Untuk itu satuan kapasitas tampung secara internasional
dinyatakan dalam Animal Unit (AU) atau Satuan
Ternak (ST). Adapun pengertian dari Satuan
Ternak adalah kemampuan ternak dalam mengkonsumsi hijauan yang perlu
distandarisasi. Secara umum 1 Satuan Ternak adalah ternak yang dapat
mengkonsumsi hijauan segar 40 sampai 45 kg atau 8 sampai 9 kg bahan kering per
hari. Variasi ini tergantung pada rata-rata ternak dewasa dalam suatu wilayah.
Untuk daerah tropis seperti Indonesia, 1 ST setara dengan sapi dewasa yang
dapat mengkonsumsi hijauan 8 kg/ekor/hari. Dengan demikian bila kemampuan
konsumsi bahan kering sapi sekitar 2,75 persen dari bobot badan ternak, maka 1
ST setara dengan sapi yang mempunyai bobot badan 290 kg. Satuan ini lebih
operasional, karena bila nantinya ditemui kapasitas tampung suatu pastura
adalah 2,5 ST, artinya dalam pastura tersebut dapat digembalai ternak yang
total berat badannya 2,5 x 290 kg = 725 kg yang bisa terdiri dari 2 ekor sapi
besar atau 4 sampai 5 sapi kecil, yang terpenting adalah total jumlah berat
badan semua ternak yang digembalakan sekitar 725 kg. Pendekatan satuan ternak
ini juga berlaku untuk jenis ternak lain baik ternak ruminansia kecil (domba,
kambing) atau kerbau dan kuda.
Tatalasana penggembalaan
Setelah dapat menentukan jumlah ternak yang digembalakan, maka tahap
berikutnya adalah melakukan tatalaksana pengembalaan sebaik mungkin agar
produktivitas sekunder ataupun primer pastura dapat terjamin.
Tujuan dari tatalaksana pengembalaan ternak adalah :
1.
Mempertahankan kontinyuitas pasokan
hijauan sepanjang waktu baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
2.
Mempertahankan ekosistem antar
hijauan yang ada di dalam pastura baik rerumputan, leguminosa maupun tanaman
penunjang lainnya.
3.
Untuk mencapai tingkat
penggunaan hijauan makanan ternak seefisien mungkin.
4.
Untuk mendapatkan tingkat
produktivitas ternak yang tinggi.
Dalam tatalaksana pengembalaan ternak di pastura dikenal beberapa
macam sistem, diantaranya adalah sebagai berikut :
A. Penggembalaan Kontinyu
Cara penggembalaan kontinyu adalah menempatkan ternak
dalam pastura yang sama untuk dalam jangka waktu yang lama. Cara ini biasanya
dikatagorikan sebagai ekstensip total yang umumnya dilakukan pada pastura alam.
Jumlah ternak yang digembalakan relatif rendah, hal ini disebabkan karena
sumbangan nutrisi dari rumput alam kurang memadai apabila dilakukan
penggembalaan berat.
Pada musim penghujan sistem penggembalaan semacam ini
akan menampilkan produksi ternak yang lebih baik dibandingkan dengan sistem
penggembalaan bergilir. Sebaliknya, pada musim kemarau terjadi
ketidakseimbangan antara ternak yang digembalakan dengan ketersediaan hijauan.
Tingkat produktivitas ternak biasanya nampak bervariasi pada masing-masing
ternak dibandingkan dengan sistem penggembalaan yang lain. Hal ini disebabkan
karena adanya tingkat selektivitas ternak yang tinggi dan kompetisi antar
ternak untuk memenuhi kebutuhannya. Adanya kompetisi yang ketat menyebabkan
ternak yang besar cenderung dominan dibandingkan yang kecil atau masih muda,
selain itu dengan tidak adanya pengelompokkan berdasarkan umur, maka
ternak-ternak muda akan mudah terserang ekto maupun endo parasit.
Pada sistem penggembalaan ini terlihat jarak jangkau
ternak untuk mendapatkan hijauan sangat jauh lebih-lebih pada saat kemarau.
Namun untuk pastura yang tersedia tempat air minum, maka ternak terlihat
berkumpul disekitar air minum dan akibatnya vegetasi disekitar air tersebut
tidak ada karena cekamannya terlalu berat dan sebagai akibatnya kondisi ternak
kurus.
Gambar 10. Sistem
penggembalaan kontinyu pada pastura di breeding
centre Sumba Barat. Gambar diambil di sekitar air minum dan terlihat lahan
disekitar basah tapi tidak ditumbuhi vegetasi karena banyak kotoran terakumulasi
di tempat ini, dan terlihat kondisi ternak kurus karena kurang pakan, ternak
lebih mengutamakan minum sedangkan untuk mendapatkan hijauan memerlukan jarak
jangkau yang jauh.
B. Penggembalaan bergilir.
Penggembalaan bergilir adalah cara penggembalaan ternak
dengan cara membagi areal pastura menjadi beberapa bagian (paddock) kemudian ternak digembalakan secara bergantian dari satu
bagian ke bagian yang lain. Tujuan dari sistem ini adalah memberikan kesempatan
pada ternak untuk mendapatkan hijauan pada saat nilai nutrisi hijauan tinggi,
serta memberikan waktu istirahat yang cukup bagi tanaman untuk dapat tumbuh
kembali. Dengan cara penggembalaan seperti ini ternak dibatasi ruang geraknya
sehingga pemanfaatan hijauan efisien dan ternak tidak mengeluarkan energi yang
banyak untuk mencari hijauan. Cara ini juga menekan seleksi ternak terhadap
hijauan, sehingga pemanfaatan hijauan dalam suatu areal merata.
Penggembalaan
bergilir juga juga dapat dijumpai pada pastura alam, yaitu dengan cara
memindahkan ternak dari suatu wilayah ke wilayah lain yang lebih banyak
hijauannya, hal ini sering ditemui di daerah Sulawesi Tenggara pada peternak
yang memilki sapi dalam jumlah besar. Namun karena produksi hijauan pada
pastura alam rendah, maka mobilitas peternak sangat tinggi dan hal ini akan berpengaruh
pada biaya transportasi untuk pemindahan ternak.
Gambar 11. Penggembalaan
bergilir pada pastura alam di Sulawesi Tenggara. Peternak memindahkan ternaknya
pada pastura-pastura yang masih banyak hijauannya.
Pada pastura buatan umumnya cara penggembalaan ini
dilakukan pengelompokan ternak berdasarkan umur dan tingkat produksi, misalnya
kelompok ternak berproduksi tinggi (sapi perah dan penggemukan) dan ternak
berproduksi rendah (sapi kering dan ternak yang dipelihara sekadarnya).
Ternak-ternak berproduksi tinggi diberi kesempatan pertama untuk merenggut
hijauan yang berkualitas baik, kemudian diikuti oleh kelompok ternak yang lain.
Fluktuasi produksi hijauan akibat musim akan menyebabkan
perubahan jumlah ternak yang digembalakan, sehingga untuk menjaga agar
pemasokan hijauan tetap kontinyu sepanjang waktu, diperlukan pertimbangan dalam
hal usaha pengawetan hijauan pada saat produksi berlimpah.
Cara penggembalaan bergilir ini ada yang lebih intensif
yaitu disebut dengan Penggembalaan Jalur.
Penggembalaan jalur ini merupakan sistem penggembalaan bergilir yang intensif
dengan menggunakan pagar llistrik yang dapat dipindah-pindah melintasi petak
penggembalaan. Dengan cara ini jumlah hijauan yang tersedia bagi ternak
terbatas, kesempatan seleksi ternak ditekan serendah mungkin dan penggunaan
padangan merata serta kerusakan karena injakan dan pencemaran oleh kotoran
ternak lebih terkendali/merata. Untuk mencegah agar ternak tidak merenggut
tanaman yang sedang tumbuh kembali, maka dipasang pagar kedua di belakang
ternak. Pelaksanaan penggembalaan jalur ini akan mendapatkan hasil yang baik
apabila dilaksanakan pada pastura yang berproduksi tinggi (kuantitas dan
kualitasnya).
Gambar 12. Penggembalaan
jalur, dimana ternak terus berjalan teratur mengikuti jalannya pagar.
Pemanfaatan hijauan akan merata dan selekdi hijauan dapat ditekan.
C. Penggembalaan berpantang
Penggembalaan berpantang adalah suatu cara untuk
mengistirahatkan pastura sekaligus merupakan suatu upaya untuk mempersiapkan
persediaan pakan, artinya pada suatu saat pastura tidak digembalai ternak, pada
saat produksi sudah tinggi areal dipaksa dikeringkan sehingga tanaman kering.
Areal pastura ini nantinya digembalai ternak atau dipotong untuk disimpan dalam
bentuk kering guna mengantisipasi situasi kekurangan hijauan. Hijauan yang
dipaksa kering di pastura ini disebut dengan standing hay. Standing hay
ini berbeda dengan rumput yang sudah mengering karena tua, karena standing hay
ini rumput dipaksa kering pada saat kualitasnya tinggi dengan cara menghentikan
proses biologis melalui pengeringan lahan.
Dengan melakukan penggembalaan berpantang ini diharapkan
tanaman menjadi tegar saat tumbuh kembali nantinya, karena perakaran berkembang
bebas tanpa ada injakan ternak, sehingga produktifitas tanaman berikutnya
menjadi tinggi.
Gambar 13. Pemotongan standing
hay dan langsung dibuat ball untuk disimpan guna persediaan pakan saat
kekurangan hijauan.
Daftar Pustaka
Halls,
L.K., R.H. hughes, R.L. Rummel and B.L. Southwel1964. Forage and Cattle
Management in Longleaf-Slaash Pine forest. Farmer’s Bulletin, 2199, Washington,.
Jones, R.J. and R.L. Sandland, 1974. The Relation between Animal
Gain and Stocking Rate. J.Agric.Sci., 83, 335-52.
McIlroy, R.J. 1964.Tropical Grassland Husbandry. Oxford Univ. Press.
London
Mott, G.O. 1960. Grassing pressure and the measurement of pasture
production. Proceedings 8th international Grassland Congress,
Reading, pp. 606-11.
Susetyo, S, 1978. Pengelolaan dan Potensi Hijauan
Makanan Terak untuk Produksi Ternak Daging. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.
Comments
Post a Comment