ESTRUS DAN SIKLUS ESTRUS
BAB VIII. ESTRUS
DAN SIKLUS ESTRUS
8.1 Pendahuluan
8.1.1 Deskripsi
Pada bab ini akan dibahas tentang
(1) estrus pada ternak; (2) fase-fase siklus estrus; (3) pengaturan hormonal
pada siklus estrus; (4) siklus estrus pada berbagai ternak; (5) estrus postpartus
pada sapi.
8.1.2 Relevansi
Sistem repro hewan betina pada
umumnya menampakkan perubahan-perubahan yang teratur setelah hewan betina
mengalami pubertas. Pada kondisi ini, siklus repro telah siap dimulai.
Dalam siklus estrus selalu melibatkan organ-organ repro dan diatur oleh
hormon-hormon repro. Oleh karena itu, pemahaman pada bab-bab selanjutnya
akan mempermudah dalam mengikuti materi pada bab ini.
8.1.3 Tujuan instruksional khusus
Tujuan instruksional khusus yang
ingin dicapai pada bab ini adalah agar mahasiswa mampu:
(1) Menjelaskan
pengertian estrus pada ternak;
(2) Membedakan
fase-fase estrus pada siklus estrus;
(3) Memahami
pengaturan hormonal pada siklus estrus;
(4) Mengidentifikasi
hewan-hewan yang mengalami estrus;
(5) Menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi estrus postpartus.
8.2 Pengertian Estrus
Pada hewan betina sekali pubertas
telah tercapai dan musim repro telah dimulai, estrus akan terjadi pada
hewan betina yang tidak bunting menurut suatu siklus yang teratur dan khas. Estrus
atau birahi adalah periode atau waktu hewan betina siap menerima pejantan untuk
melakukan perkawinan. Interval waktu antara timbulnya satu periode estrus
kepermulaan periode estrus berikutnya disebut siklus estrus. Saluran reproduksi
hewan betina akan mengalami perubahan-perubahan pada interval-interval
tersebut. Siklus estrus dikontrol secara langsung oleh hormon-hormon ovarium
dan secara tidak langsung oleh hormon-hormon adenohipofise.
Berdasarkan frekuensi terjadinya
siklus estrus, hewan dibedakan menjadi tiga golongan. Golongan pertama,hewan
monoestrus yaitu hewan yang hanya satu kali mengalami periode estrus per tahun,
contohnya beruang, srigala, dan kebanyakan hewan liar. Golongan kedua, hewan
poliestrus yaitu hewan-hewan yang memperlihatkan estrus secara periodik
sepanjang tahun, contohnya sapi, kambing, babi, kerbau dan lain-lain. Golongan
ketiga, hewan poliestrus bermusim yaitu hewan-hewan yang menampakkan siklus
estrus periodik hanya selama musim tertentu dalam satu tahun, contohnya domba yang
hidup di negara dengan empat musim.
8.3 Fase-fase Siklus Estrus
Menurut perubahan-perubahan yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan selama siklus estrus maka siklus estrus
dibedakan menjadi empat fase yaitu proestrus,
estrus, metestrus/postestrus, dan diestrus. Pembagian yang lain
berdasarkan perkembangan folikel dan pengaruh hormon maka siklus estrus
dibedakan menjadi fase folikuler atau estrogenik yang meliputi proestrus dan
estrus, serta fase luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus/postestrus
dan diestrus. Lama berbagai periode siklus estrus pada beberapa hewan tercantum
pada Tabel 8. Secara umum, siklus birahi pada babi, sapi, dan kuda berkisar
antara 20—21 hari, sedangkan pada domba 16—17 hari.
Tabel
8. Lama berbagai periode siklus estrus pada hewan peliharaan
Jenis ternak
|
Proestrus (hari)
|
Estrus
|
Metestrus (hari)
|
Diestrus (hari)
|
Sapi
|
3
|
12—24 jam
|
3—5
|
13
|
Kuda
|
3
|
4—7 hari
|
3—5
|
6—10
|
Babi
|
3
|
2—4 hari
|
3—4
|
9—13
|
Domba
|
2
|
1—2 hari
|
3—5
|
7—10
|
8.3.1 Proestrus
Proestrus merupakan periode sebelum
hewan mengalami estrus yaitu periode pada saat folikel de Graff sedang tubuh
akibat pengaruh FSH dan menghasilkan estradiol dengan jumlah yang semakin
bertambah. Sistem reproduksi melakukan persiapan-persiapan untuk melepaskan
ovum dari ovarium. Folikel atau folikel-folikel (tergantung spesiesnya)
mengalami pertumbuhan yang cepat selama 2 atau 3 hari, kemudian membesar akibat
meningkatnya cairan folikuler yang berisi hormon estrogenik.
Estrogen yang diserap oleh pembuluh
darah dari folikel akan merangsang saluran reproduksi untuk mengalami
perubahan-perubahan. Sel-sel dan lapisan bersilia pada tuba falopii
pertumbuhannya meningkat, mukosa uteri mengalami vaskularisasi, epitel vagina
mengalami penebalan dan terjadi vaskularisasi, serta serviks mengalami elaksasi
secara gradual. Banyak terjadi sekresi mukus yang tebal dan berlendir dari
sel-sel goblet seriks, vagina bagian anterior, dan kelenjar-kelenjar uterus.
Pada sapi dan kuda terjadi perubahan dari mukus yang lengket dan kering menjadi
mukus kental seperti susu, dan pada akhir proestrus berubah lagi menjadi mukus
yang terang, transparan, dan menggantung pada vulva. Corpus luteum dari periode
sebelumnya mengalami vakuolisasi, degenerasi, dan pengecilan secara cepat.
8.3.2 Estrus
Estrus merupakan periode yang
ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina.
Selama periode estrus, umumnya betina akan mencari dan menerima pejantan untuk
kopulasi. Folikel de Graff menjadi matang dan membesar, estradiol yang
dihasilkan folikel de Graff akan menyebabkan perubahan-perubahan pada saluran
reproduksi yang maksimal. Selama atau segera setelah periode ini terjadi
ovulasi akibat penurunan FSH dan meningkatka LH dalam darah.
Pada
periode ini, tuba falopii mengalami perubahan
yaitu menegang, berkontraksi, epitelnya matang, cilianya aktif, dan sektesi
cairan bertambah. Ujung oviduk yang berfimbria merapat ke folikel de Graff
untuk menangkap ovum matang. Uterus akan berereksi, tegang, dan pada beberapa
spesies akan mengalami oedematus. Suplai darah meningkat, mukosa tumbuh dengan
cepat dan lendir disekresikan. Serviks mengendor, agak oedematus, dan sekresi
cairanya meningkat. Mokosa vagina sangat menebal, sekerinya bertambah, epitel
yang berkornifikasi tanggal. Vulva mengendor dan oedematus pada semua spesies,
pada babi sangat jelas. Pada sapi terdapat leleran yang bening dan
transparan seperti seutas tali
menggantung pada vulva. Pada akhir estrus terjadi peningkatan leukosit yang
bermigrasi ke lumen uterus.
8.3.3 Metestrus/Postestrus
Metestrus merupakan periode segera
setelah estrus, ditandai dengan pertumbuhan cepat korpus luteum yang berasal
dari sel-sel granulosa yang telah pecah di bawah pengaruh LH. Metestrus
sebagian besar berada di bawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan
korpus luteum. Kehadiran progesteron akan menghambat sekresi FSH sehingga tidak
terjadi pematangan folikel dan estrus tidak terjadi.
Pada periode ini, uterus mengadakan
persiapan untuk menerima dan memberi makan embrio. Pada awal postestrus,
epitelium pada karunkula uterus sangat hiperemis dan terjadi hemoragis kapiler
yang menyebabkan terjadinya pendarahan. Sekresi mukus menurun dan diikuti
pertumbuhan yang cepat dari kelenjar-kelenjar endometrium. Pada pertengahan
sampai akhir metestrus, uterus agak melunak karena otot-ototnya mengendor.
Apabila tidak terjadi kebuntingan maka uterus dan saluran reproduksi yang lain
akan beregresi kekeadaan kurang aktif.
8.3.4 Diestrus
Diestrus merupakan fase terakhir dan
terlama dalam siklus estrus ternak-ternak mamalia. Korpus luteum menjadi matang
dan pengaruh progesteron menjadi dominan. Endometrium menebal, kelenjar uterina
membesar, dan otot uterus menunjukkan peningkatan perkembangan. Perubahan ini
ditunjukkan untuk mensuplai zat-zat makanan bagi embrio bila terjadi
kebuntingan. Kondisi ini akan terus berlangsung selama masa kebuntingan dan
korpus luteum akan dipertahankan sampai akhir masa kebuntingan.
Serviks
menutup rapat untuk mencegah benda-benda asing memasuki lumen uterus, mukosa
vagina menjadi pucat, serta lendirnya mulai kabur dan lengket. Apbila tidak
terjadi kebuntingan, maka endometrium dan kelenjar-kelenjarnya beratrofi atau
berregresi keukuan semula. Folikel-folikel mulai berkembang dan akhirnya
kembali ke fase proestrus.
Pada beberapa spesies yang tidak termasuk golongan
poliestrus atau poliestrus bermusim, setelah periode diestrus akan diikuti anestrus. Anestrus yang normal akan
diikuti oleh proestrus. Secara fisiologis, aneastrus ditandai oleh ovarium dan
saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. Anestrus fisiologis dapat
diobservasi pada negara-negara yang mempunyai 4 musim, yaitu musim semi dan
panas pada domba serta selama musim dingin pada kuda. Selama anestrus, uterus
kecil dan kendor, mukosa vagina pucat, lendirnya jarang dan lengket, serta
serviks tertutup rapat dengan mukosa yang pucat. Aktivitas folikuler dapat
terjadi dan ovum dapat berkembang tetapi tidak terjadi pematangan folikel dan
ovulasi.
8.4 Pengaturan Hormonal pada Siklus
Estrus
Pada dasarnya, pola siklus estrus
sama tetapi berbeda antar spesies. Siklus estrus secara langsung diatur oleh
hormon-hormon tetapi secara tidak langsung oleh hormon adenohipofise.
Pengaturan hormon pada siklus estrus tergantung sirkulasi hormon di dalam pembuluh
darah hewan betina dan reaksi organ target dari hormon yang bersangkutan.
8.4.1 Sapi
Pengaturan hormonal diawali oleh
hormon hipotalamus yaitu GnRH yang
disekresikan oleh hipotalamus akan menstimuli FSH dan LH dilepaskan dari
adenohipofise, selama proestrus terjadi peningkatan, mencapai puncaknya pada
fase estrus, dan akhirnya menurun pada akhir metestrus. Pada periode diestrus
akan tetap rendah sampai periode proestrus.
Hormon-hormon hipofise yang ikut
dalam pengaturan siklus estrus adalah FSH
dan LH. FSH dihasilkan oleh adenohipofise
akan merangsang perkembangan folikel pada ovarium yang akhirnya mengasilkan
estrogen. FSH ada di dalam darah dan jumlahnya meningkat pada hari ke-4 sampai
hari ke-6, akan terus meningkat dan merangsang perkembangan folikel sampai
terjadinya ovulasi. Hormon lainnya adalah LH yang menyebabkan ruptur (pecah)
folikel dan memulai perkembangan korpus luteum. LH mencapai puncaknya pada awal
estrus dan ovulasi akan terjadi 30 jam kemudian. Konsentrasi GnRH, FSH, dan LH
seperti pada Gambar 17.
Gambar
17. Konsentrasi GnRH, FSH, dan LH selama siklus estrus pada sapi.
Dua hormon ovarium yang langsung
mengatur siklus estus adalah estrogen dan progesteron. Estrogen dihasilkan oleh
folikel yang sedang tumbuh akbatnya rangsangan FSH. Perubahan konsentrasi estrogen
sesuai dengan perkembangan folikel dan mencapai puncaknya pada awal estrus.
Estrogen menyebabkan libido hewan menjadi kelihatan dan organ-organ reproduksi
mempersiapkan terjadinya konsepsi.
Progsteron dihasilkan oleh sel-sel
luteal dari korpus luteum yang mulai berfungsi pada hari ke-3 sampai ke-4
siklus estrus dan mulai meningkat dalam hal konsentrasi dan reproduksi sampai
pada hari ke-8 siklus. Konsentrasi progesteron akan bertahan sampai hari ke-16,
pada saat korpus luteum mulai mengalami regresi sehingga konsentrasi
progesteron sangat menurun. progesteron akan tetap dipertahankan dan berfungsi
apabila terjadi kebuntingan pada ternak. Konsetrasi estrogen dan progesteron
selama siklus estrus terlihat pada Gambar 18.
Gambar
18. Konsentrasi estrogen dan progesteron selama siklus estrus pada sapi
8.4.2 Domba
Pengaturan hormon selama siklus
estrus hampir sama dengan pengaturan hormon pada sapi. Perbedaan terdapat pada
lamanya siklus estrus yang lebih pendek (16—17 hari) tetapi periode estrus
lebih panjang (30 jam) dan ovulasi terjadi 24—27 jam setelah awal estrus.
Korpus luteum ada sejak hari ke-4 sampai hari ke-14. Konsentrasi progesteron
meningkat pada hari ke-3 sampai hari ke-11. Konsentrasi hormon-hormon selama siklus
estrus pada domba terdapat pada Gambar 19 dan 20.
Gambar
20. Konsentrasi estrogen dan progesteron selama siklus estrus pada domba
8.4.3 Babi
Satu periode siklus estrus pada babi
menghasilkan ovum matang dalam jumlah banyak (12—20) kemudian diovulasikan.
Pengaruh FSH berlangsung selama 5—6 hari sampai folikel menjadi matang,
kemudian pengaruh LH menyebabkan terjadinya reptur ovum yang matang. Ovulasi
terjadi 35—40 jam setelah awal estrus dan konsentrasi LH mencapai puncaknya.
Ovum yang pecah akan membentuk korpus luteum. Sel-sel luteal akan menghasilkan
progesteron yang mencapai puncaknya pada pertengahan siklus dan menurun pada
hari ke-15 dab 16 siklus. Perubahan konsentrasi hormon-hormon selama siklus
estrus terlihat pada Gambar 21.
Gambar
21. Konsentrasi LH, estrogen, dan progesteron selama siklus estrus pada babi.
8.4.4 Kuda
Pada kuda sering mengalami periode
anestrus pada musim dingin. Periode estrus dapat berlangsung 5—7 hari terutama
setelah anestrus musim dingin. Perilaku birahi pada kuda berbeda dengan ternak
lain, yaitu lambat laun meningkat intensitasnya dalam beberapa hari. Fase
perkembangan folikel berkepanjangan, sekresi FSH mempunyai dua puncak dan
puncak yang kedua tercapai pada hari ke-15 siklus dan kadang-kadang terjadi
ovulasi. Puncak konsentrasi FSH yang pertama terjadi pada hari ke-7 siklus dan
akan tetap meningkat telah terjadi ovulasi. Ovulasi terjadi 24—48 jam sebelum
akhir estrus. Pada ternak lain, konsentrasi LH mencapai puncaknya yang tajam
sebelum ovulasi menjelang estrus. Pada kuda, konsentrasi LH naik secara
perlahan dan membentang eaktu ovulasi, mencapai puncaknya setelah ovulasi
terjadi. Perubahan konsentrasi hormon-hormon selama siklus estrus tercantum
pada Gambar 22 dan 23.
Gambar
22. Kosentrasi FSH dan LH selama siklus estrus pada kuda.
Gambar
23. Konsentrasi estrogen dan progesteron selama siklus estrus pada kuda.
8.5 Siklus Estrus pada Berbagai
Ternak
Bila perkawinan tidak diikuti
perubahan, mamalia betina dengan siklus reproduksi yang normal akan mengalami
rangkaian perubahan ovarium yang berulang termasuk sekresi hormon yang
berpengaruh terhadap perilaku kelamin dan saluran reproduksi. Panjang siklus
estrus dan lamanya birahi bervariasi antar jenis hewan (Tabel 9).
Siklus estrus pada sapi, panjangnya
20 hari untuk sapi dara dan 21—22 hari untuk sapi dewasa, dengan kisaran 18—24
hari. Fase luteal siklus berlangsung 17 hari dan fase folikuler 3—4 hari. Lama
birahi berlangsung 12—28 jam, cenderung lebih singkat pada musim dingin dan
laktasi yang berat. Pada saat estrus menjadi tidak tenang, kurang nafsu makan,
kadang-kadang menguak, dan memisahkan diri untuk mencari pejantan. Sapi
tersebut akan diam bila dinaiki betina lain dan mencoba menaiki betina-betina
lain, serta mengangkat dan menggoyangkan ekornya. Sapi betina juga akan diam
menerima pejantan untuk kopulasi. Vulva sapi yang sedang estrus akan
membengkak, memerah, dan mengeluarkan sekresi mukus transparan (terang dan
tembus) yang menggantung. Kadang-kadang vulvanya akan diciumi oleh betina lain.
Jenis ternak
|
Lama siklus estrus (hari)
|
Lama estrus
|
Waktu ovulasi
|
Waktu optimum untuk dikawinkan
|
Kuda
|
19—23 (21)
|
4,5—7,5 (5,5) hari
|
1—2 hari sebelum akhirestrus
|
2—4 hari sebelum akhir estrus atau
hari ke-2—ke-3 estrus
|
Sapi
|
18—24
(21)
|
12—28
jam (18 jam)
|
10—15
jam sesudah akhir estrus
|
Pertengahan
sampai akhir estrus
|
Domba
|
14—20
(16,5)
|
30—36
jam
|
12—24
jam sebelum akhir estrus
|
18—24
jam sesudah permulaan estrus
|
Babi
|
18—24
(21)
|
1—4
(2—3) hari
|
30—40
jam sesudah permulaan estrus
|
12—30
jam sesudah permulaan estrus
|
Pada domba, siklus estrus panjangnya
mencapai 14—20 hari dengan rata-rata 16,5 hari. Fase luteal berlangsung selama
14 hari dan fase folikuller 3—4 hari. Panjang periode birahi 30—36 jam dan
ovulasi terjadi 12—24 am sebelum berakhirnya estrus. Domba yang birahi akan
mendekati dan memperhatikan pejantan, menggoyang-goyangkan ekornya, menggesek-gesekkan
leher dan badannya ke tubuh pejantan, berjalan mengelilingi pejantan, dan
menciumi alat genetalia pejantan. Akhirnya akan diam bila dinaiki pejantan
untuk perkawinan. Vulva domba yang estrus tidak oedematus dan tidak
mengeluarkan lendir.
Lama siklus birahi pada babi adalah
18—24 hari dengan rata-rata 21 hari. Fase estrus rata-rata berlangsung selama
2—3 hari dan ovulasi terjadi 30—40 jam pada awal estrus. Fase estrus lebih lama
pada babi akan berdiam diri, tegak, kaku, dan mengambil posisi kawin bila
disentuh atau ditekan punggungnya oleh dagu pejantan atau tangan pekerja. Babi
yang sedang estrus sering mengeluarkan suara-suara singkat dan rendah, nafsu
makannya hilang, serta akan memisahkan diri dari kelompoknya untuk berkelana mencari
pejantan. Vulvanya mengalami pembengkakkan tetapi tidak mengeluarkan lendir
selama estrus.
Panjang siklus estrus pada kuda rata-rata
adalah 21 hari. Lama siklus akan bertamba lama apabila ada siklus yang lowong
akibat musim dingin. Rata-rata panjangnya fase estrus adalah 5,5 hari. Betina
yang seang birahi akan membiarkan pejantan menciumi dan menggigit tanpa perlawanan, sering
mengangkat ekor, merentangkan kaki, dan merendahkan punggungnya. Seperti ternak
lain, kuda akan diam berdiri bila dinaiki pejantan untuk kopulasi. Bibir vulva
membengkak dan sebagian terkuak. Leleran dalam jumlah sedikit akan keluar dari
vulva.
8.6 Estrus Postpartus
Estrus
post partus atau estrus pertama setelah melahirkan merupakan mata rantai yang
penting dalam proses reproduksi sehingga harus mendapatkan perhatian dalam
pengelolaan reproduksi agar ternak tetap mempunyai kemampuan reproduksi yang
optimum. Estrus pertama postpartus berhubungan dengan aktivitas siklus ovarium
yang kembali normal secara cepat setelah melahirkan.
Pada masa awal setelah melahirkan,
hewan betina harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyiapkan uterus,
ovarium, dan oran-organ kelamin yang lain, serta sistem endoktrin yang memulai
siklus yang normal agar dapat bereproduksi lagi. Pada masa ini, umumnya siklus
estrus tidak akan segera terjadi karena pengaruh umpan balik negatif dari
progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum dan plasenta selama kebuntingan.
Hal ini mengakibatkn pituitari terhadap pemberian GnRH. Selama masa peralihan
dan tidak adanya siklus estrus sampai timbulnya siklus, GnRH disekresikan untuk
meningkatkan frekuensi episodik LH plasma terutama untuk aktivitas folikuler
dan sekresi estradiol. Pengeluaran GnRH secara episodik merupakan prasarat
untuk memulai aktivitas siklus ovarium pada induk.
8.6.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi estrus post partus pada sapi
Jarak dari beranak sampai timbulnya
estrus pertama antarspesies berbeda-beda. Pada sapi perah, estrus postpartus
terjadi pada 30—72 hari, sapi potong 46—104 hari. Pada babi, estrus postpartus
terjadi pada hari ke-3 sampai ke-5 tetapi tidak disertai ovulasi, sedangkan
pada kuda terjadi dalam waktu 6 sampai 13 hari. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi estrus pertama postpartus antara lain lingkungan, genetik,
fisiologi, dan metabolik.
A. Kondisi tubuh
Induk yang mempunyai kondisi tubuh yang baik
pada saat melahirkan menunjukkan penampilan reproduksi yang lebih baik
dibandingkan dengan induk yang kondisinya jelek. Induk dengan kondisi baik
(nilai kondisi tubuhnya ≥ 2,5 pada penilaian dengan interval 1—5) akan kembali
estrus dalam waktu yang singkat sedangkan induk dengan nilai kurang dari 2,5
waktu yang diperlukan untuk estrus kembali lebih lama. Setiap penurunan 10%
dari bobot tubuh, estrus pertama postpartus akan diperpanjang selama 19 hari.
Kondisi ini biasanya berkaitan dengan pembatasan energi pada akhir kebuntingan
yang menyebabkan induk menjadi kurus.
Perubahan
kondisi tubuh pada saat melahirkan merupakan penentu yang berhubungan dengan
kembalinya aktivitas ovarium. Menurut Spincer, et al. (1990) sapi-sapi yang tidak memperlihatkan aktivitas siklus
dalam 60 hari setelah melahirkan kehilangan lebih banyak bobot tubuh
dibandingkan dengan sapi-sapi yang memperlihatkan aktivitas siklus. Pada
kelompok induk yang tidak memperlihatkan aktivitas siklus dalam 60 hari, susu
yang dihasilkan 28% berasal dari jaringan tubuhnya, pada kelompok yang
siklusnya akif dalam 40—60 hari, 16,7% susunya dihasilkan oleh jaringan tubuh
sedangkan pada kelompok yang aktivitas siklus dalam 40 hari hanya 15,9% saja. Penelitian
yang dilakukan oleh Rutter dan Randell (1984) memperlihatkan hasil bahwa induk
yang mengalami penurunan kondisi tubuh pada awal laktasi, interval pasca
beranak ke estrus pertama adalah 60 ± 7,5 hari, sedangkan induk yang mampu
mempertahankan kondisi tubuhnya lebih cepat yaitu 31,7 ± 2,8 hari.
B. Produksi susu
Interval
kelahiran ke ovulasi pertama setelah beranak berhubungan dengan produksi susu,
semakin tinggi produksi susu yang dihasilkan induk maka semakin lama interval
terjadinya ovulasi. Hal ini terjadi karena adanya hambatan sekresi hormon yang
merangsang pertumbuhan dan memasakan folikel.
Butter,
et al. (1981) menemukan hubungan
produksi susu dengan keseimbangan energi pada awal laktasi. Sapi akan mengalami
keseimbangan energi negatif yang meningkat pada awal laktasi sampai puncak
produksi tercapai. Setelah ini bergerak secara progresif kearah keseimbangan 0
(tetap) ketika produksi susu mulai turun. Oleh karena itu, sapi yang mempunyai
produksi susu tinggi tidak dapat mempertahankan keseimbangan energi positif,
sehingga pada awal laktasi terjadi keseimbangan negatif.
C. Energi Makanan
Estrus
pertama setelah melahirkan akan timbul lebih cepat apabila energi pada
ransumnya diperbesar. Penelitian Oxenreider dan Wegner (1971) memperlihatkan
hasil bahwa induk yang diberi makan dengan energi 60% memerlukan waktu 17 hari
untuk membentuk folikel dengan diameter 10 mm, sedangkan induk yang diberi
energi 100% dan 133% hanya memerlukan waktu 11 hari
Penelitian lain dilakukan Staples, et al. (1990) untuk melihat hubungan
antara aktivitas ovarium (dengan menghitng kadar progesteron plasma) dan status
energi pada awal periode laktasi. Penelitian dilakukan selama 9 minggu awal
laktasi dengan menggunakan 64 ekor induk sapi Frisien Holstain. Hasil yang
diperoleh yakni 15 ekor tidak memperliahatkan siklus, 24 ekor mengalami siklus
dalam waktu 40—60 hari postpartus, dan 25 ekor memperlihatkan aktivitas siklus
dalam waktu 40 hari. Pada sapi yang tidak memperlihatkan aktivitas siklus akan
mengalami keseimbangan energi negatif lebih besar dari pada kelompok induk yang
memperlihatkan aktivitas siklus.
Pada awal laktasi, 92% induk sapi
perah mengalami keseimbangan energi negatif dengan besar yang bervariasi
antarindividu. Keseimbangan energi negatif berhubungan dengan penurunan glukosa
darah dan tingginya asam lemak yang tidak terestrifikasi serta benda-benda
keton. Hal ini memberikan isyarat bahwa terjadi penurunan glukoneogenesis,
peningkatan ketogenesis, dan moilisasi lemak selama keseimbangan energi negatif
terjadi. Keseimbangan energi pada awal laktasi dipengaruhi secara bermakna oleh
pemasukan energi makanan.
D. Protein Pakan
Ada
dua pendapat tentang hubungan antar jumlah protein kasar dan timbulnya estrus
postpartus. Pendapat pertama dikemukakan oleh Sasser, et al. (1988) bahwa perpanjangan timbulnya estrus postpartus
terjadi pada sapi yang diberi pakan dengan defesiensi protein kasar
(0,32kg/ekor/hari) dibandingkan dengan kelompok sapi yang diberi pakan dengan
protein kasar yang cukup (0,96kg/ekor/hari). Pada sapi yang diberi protein
kasar rendah timbulnya estrus postpartus yakni 84,4 ± 3,8 hari sedangkan pada
pemberian protein kasar cukup yakni 74,8 hari. Pendapat kedua dikemukakan oleh
Howard, et al. (1987) dan Caroll, et al. (1988) yang menyatakan bahwa
pemberian protein kasar dalam ransum dengan kadar rendah maupun tinggi tidak
berpengaruh terhadap timbulnya estrus postpartus.
Kebutuhan
protein kasar dalam pkan untuk kebutuhan reproduksi yang normal 13—20%.
Kekurangan non protein nitrogen dan rumen
digestible protein pada masa akhir kebuntingan sampai awal laktasi
mempunyai efek yang sama dengan kekurangan pakan. Hal ini akan menyebabkan
produksi LH dan FSH menurun sehingga proses pematangan folikel tertunda.
E. Umur Induk
Pada
kondisi yang normal, tanpa memperhatikan adanya penyakit, defesiensi pakan atau
pengaruh lingkungan, fertilitas sapi akan mengalami penurunan dengan
bertambahnya umur sapi. Kehidupan reproduksi pada sapi rata-rata umur 8—10
tahun dengan produksi anak 4—6 ekor. Efesiensi reproduksi mencapai puncaknya
pada saat sapi berumur 4 tahun dan akan mengalami penurunan yang nyata setelah
sapi berumur 7 tahun.
Pada dasarnya, kehidupan reproduksi
pada sapi tergantung kondisi ternak. Kehidupan reproduksi ternak akan terhenti
apabila sapi mengalami kelemahan fisik akibat adanya penyakit, defesiensi
pakan, dan kekurusan. Kondisi ini tidak tergantung pada umur ternak, dapat
terjadi pada ternak yang masih muda maupun tua. Keadaan lain yang dapat
menghentikan kegiatan reproduksi ternak apabila organ-organ reproduksi
mengalami kerusakan hebat atau fungsinya hilang karena penyakit.
F.
Masa
Pengeringan
Masa
kering adalah periode sapi yang masih bereproduksi dan pada keadaan bunting
namun tidak diperah lagi. Masa kering yang ideal yakni 7—8 minggu sebelum sapi
beranak. Perpanjangan masa kering tidak akan menambah produksi susu pada
laktasi berikutnya tetapi dapat memperbaiki kondisi tubuh induk. Masa kering
penting untuk mengembalikan kondisi tubuh yang menurun selama periode laktasi
sebelumnya, memperbaiki jaringan alveoli ambing yang rusak, memberikan
kesempatan fetus untuk berkembang, dan membantu menimbun cadangan energi dalam
tubuh untuk laktasi berikutnya.
G. Aktivitas Penyusuan dan Frekuensi
Pemerahan
Interaksi
fisiologis antara pemerah dan penyusu dengan aktivitas ovarium belum dapat
dijelaskan dengan baik. Sapi perah yang menyusui anaknya akan mengalami estrus
postpartus lebih lambat dibandingkan
dengan sapi yang diperah dua kali sehari. Penyusuan akan menyebabkan pelepasan
GnRH tertunda sehingga sekresi FSH dan LH juga terhambat, akibatnya pertumbukan
folikel menjadi tertunda. Rangsangan saraf afferen dari puting susu akan
menghambat pengeluaran dopamin ke sirkulasi protal pituitari tetapi
meningkatkan sekresi prolaktin sehingga aktivitas ovarium akan tertunda.
Penghentian penyusuan secara bertahap akan meningkatkan kadar LH darah.
Pemerahan pada sapi yang dilakukan
secara teratur akan dapat mengurangi hambatan sekresi LH sehingga tanda-tanda
estrus akan lebih cepat terlihat dan ovulasi dapat terjadi. Frekuensi pemerahan
tidak berpengaruh terhadap estrus postpartus, baik pemerahan dua kali maupun
pemerahan tiga kali.
H. Abnormalitas Postpartus
Pada
masa awal setelah beranak, keadaan alat reproduksi induk merupakan faktor
biologis yang dapat mempengaruhi penampilan reproduksi berikutnya. Kondisi
klinis yang abnormal pada saat melahirkan atau setelahnya akan menghambat
estrus pertama setelah melahirkan. Induk yang mengalami retensi plasenta dan
metritis akan mengalami pertambahan 14,25 dan 15 hari dari kelahiran sampai
timbulnya estrus. Hal ini terjadi karena hambatan involusi alat-alat reproduksi
dan perpanjangan fase luteal.
8.6.2 Usaha mempercepat timbulnya
estrus postpartus
Usaha-usaha
yang dapat dilalukan untuk meningkatkan penampilan reproduksi dengan cara
mempercepat timbulnya estrus postpartus adalah:
A. Perbaikan
kondisi tubuh
Kenyataan
menunjukkan bahwa kondisi tubuh yang baik pada saat melahirkan dapat
memperpendek waktu kosong dibandingkan dengan sapi yang kurus. Pemberian pakan
yang berkualitas dengan jumlah yang mencukupi pada masa akhir kebuntingan dan
awal laktasi merupakan keharusan agar sapi tetap dapat mempertahannkan kondisi
tubuhnya sehingga tidak mengalami keseimbangan energi negatif. Pada sapi dengan
reproduksi susu yang tinggi harus mendapat makanan dengan jumlah dan kualitas
yang lebih banyak dibandingkan dengan sapi yang bereproduksi rendah.
Ransum
yang diberikan pada induk sapi perah digunakan oleh tubuh untuk hidup pokok,
produksi susu, kegiatan reproduksi, dan pertumbuhan. Kebutuhan zat-zat
tergantung pada bobot tubuh induk, tingkat pertumbuhan, tinggi rendahnya
produksi susu, dan status bunting tidaknya sapi.
Masa
kering yang cukup akan mampu mengembalikan kondisi tubuh induk sehingga pada
saat melahirkan sapi dalam kondisi siap. Perpanjangan masa kering akan mampu
mempercepat perbaikan kondisi tubuh induk meskipun tidak akan meningkatkan
produksi susu pada laktasi berikutnya. Penimbunan cadangan lemak saat hasil air
susu menurun atau sapi sedang kering dapat digunakan untuk cadangan energi pada
laktasi berikutnya.
B.
Peningkatan
deteksi birahi
Birahi
setelah beranak biasanya tidak teramati secara sempurna oleh peternak sehingga
akan menyebabkan tertundanya perkawinan, akibatnya efesiensi produksi menjadi
rendah. Deteksi birahi merupakan kunci keberhasilan perkawinan, untuk
mendapatkan hasil yang baik maka pengamatan birahi sebaiknya dilakukan dua kali
sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Gejala-gejala birahi akan lebih mudah
teramati bila induk-induk berada diluar kandang bersama-sama yaitu berdiri diam
bila dinaiki atau menaiki betina lain. Cara lain adalah menempatkan betina
bersama-sama dengan pejantan.
8.7
Ringkasan
Hewan-hewan
betina akan mengalami birahi pada interval waktu yang teratur, namun berbeda
antar spesies ternak. Interval waku antara timbulnya satu periode estrus ke
permulaan periode estrus berikutnya disebut siklus estrus/siklus birahi. Siklus
estrus dibedakan menjadi empat fase yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan
diestrus. Pembagian berdasarkan perkenbangan folikel dan pengaruh hormon,
siklus estrus dibedakan menjadi dua fase yaitu folikuler atau estrogenik dan
fase luteal atau progestational. Fase folikuler atau estrogenik adalah fase
terjadinya perkembangan folikel menjadi matang dan siap di ovulasikan dan
pengaruh hormon estrogen menjadi dominan, fase ini meliputi proestrus dan
estrus. Fase luteal atau progestational adalah fase terjadinya pembentukan korpus
luteum setelah terjadinya ovulasi dan pengaruh hormon progesteron menjadi
dominan, fase ini terjadi dari metestrus/postestrus dan diestrus.
Selama
siklus estrus terjadi perubahan-perubahan yang kelihatan maupun yang tidak
kelihatan. Perubahan yang dapat dilihat adalah terjadinya perubahan
kelakuan/perilaku betina yang memasuki periode estrus. Perubahan yang sama pada
setiap hewan adalah betina akan berdiam diri bila dinaiki pejantan untuk
kopulasi. Perubahan yang tidak kehilangan adalah terjadinya perubahan-perubahan
pda ovarium dan saluran produksi hewan betina. Pada ovarium akan erjadi
perkembangan dari folikel primer. Folikel sekunder, folikel tersier, dan
akhirnya matang menjadi folikel de Graff, yang siap di ovulasi. Setelah ovulasi
akan terbentuk korpus luteum yang akan tetap dipertahankan bila terjadi
kebuntingan dan akan berregresi bila tidak terjadi kebuntingan. Perubahan yang
terjadi pada saluran reproduksi adalah perubahan dalam rangka mempersiapkan
apabila terjadi kebuntingan.
Pengaturan
siklus birahi dilakukan oleh hormon ovarium, estrogen dan progesteron, hormon
hipothalamus, GnRH, serta hormon adenohypofise, FSH dan LH. Pola pengaturan
hormon pada dasarnya sama, namun berbeda antar hewan.
8.8 Latihan
1. Apa
yang terjadi pada ovarium selama periode proestrus pada sapi?
2. Apa
perbedaan siklus estrus pada kuda dengan domba?
3. Bagaimana
pengaturan hormon selama siklus estrus pada sapi?
4. Kapan
waktu yang optimum untuk mengawinkan sapi, domba, babi, dan kuda? Jelaskan !
5. Bagaimana
gejala-gejala domba dan babi yang berada pada periode estrus?
6. Jelaskan
perbedaan fase luteal dengan fase folikuler?
7. Jelaskan
perubahan-perubahan uterus pada fase postestrus?
8. Jelaskan
perubahan-perubahan oviduk pada periode estrus?
9. Kapan
terjadi ovulasi pada domba, kuda, dan babi?
10. Apa
yang dimaksud aneatrus fisiologis?
11. Jelaskan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi estrus postpartus?
8.9
Daftar
Pustaka
Butler,
W.R., R.W. Everett and C.E. Coopock. 1981. The Relationship Between Energy
Balance, milk production, and involution in postpartum Holstein cows, J. Animal Sci. 53: 742—748
Carrol,
D.J., B.A. Barton, G.W. andersanand R. D. Smith.1988.Influence of protein
intake and feeding strategy of reptoductive performance. J. Dairy Sci. 71: 3470—3481
Frandsond. R.D.1996.
Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi
keempat. Penerjamah B. Srigandono dan K. Praseno. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. Sixth Ed.
Lea and Fibiger. Philadelphia
Howard,
H.S., E.P. Alseth, G.D. Adams, and L.J. Bush. 1987. Infuence of dietary crude
protein on dairy cows rproductive performance. J. Dairy Sci. 70: 1563—1571
Hunter,
R.H.F. 1995. Fisiologi dan Teknologi
Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerjemah DK Harya Putra. Institut
Teknologi Bandung. Bandung
Noakes,
D.E. 1996. Normal Oestrous Cycles.
Dalam Arthur, G.H., D.E Noakes, H. Pearson, dan T.J. Parkinson. Veterinary Reproduction and Obstetrics.
Seventh Ed. WB Saunders Company Limited. London, Philadelphia, Toronto Sydney,
Tokyo
Oxenreider,
S.L., and W.C. Wagner. 1971. Effect of lactation and energy intake on
postpartum activity in the cows. J. Dairy
Sci. 33: 1026—1031
Rutter,
L.M., and R.D. Randel. 1984. Postpartum nutrient intake and body condition:
Effect n pituitary function and onset of estrous in beef cattle. J. Anim Sci. 58: 265—273
Salisbury,
G.W., dan N.L. VanDemark. 1985. Fisiologi
Reprodukdi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Diterjemahkan oleh R. Djanuar.
Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
Sasser,
R.E., R.J. William, R.C. Bull, C.A. Ruder and D.E Falk 1988. Postpartum
reproductive performance in crude protein restricted beef cows. J. Anim. Sci. 66: 3033—3039
Sorensen,
A.M. 1975. Animal Reproduction:Principles
and Practices. McGraw Hill Book
Company.New York
Spicer,L.J.,W.B.Tucker,and
G.D. Adams. 1990. Insulin like growth factor I in dairy cows: relationship
among energy balance. Body condition, ovarian activity, and estrous behavior. J.Diary Sci.73: 929—937
Staples,C.R.W.W.
Thatcher, and J.H. Clark. 1990. Relationship Between ovarian activity and
energy status during the early perpertum
period of high producing diary cows.J. Diary Sci.73: 939—949
Toelihere,M.R.
1995.Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung
Comments
Post a Comment