FISIOLOGI LAKTASI, PERKEMBANGAN KELENJAR SUSU, MASTITIS, HISTOLOGI & SITOLOGI KELENJAR SUSU



Anatomi Dan Fisiologi Ambing

Ambing merupakan karakteristik utama pada semua Mammalia. Ambing berasal dari kelenjar kulit dan dikelompokkan sebagi kelenjar eksokrin. Ambing berfungsi mengeluarkan susu untuk makanan anaknya setelah lahir. Ambing ini tumbuh selama kebuntingan dan mulai mengeluarkan susu setelah beranak. Berbagai hormon yang menentukan reproduksi juga mengatur ambing. Karena itu, perkembangan ambing dan laktasi adalah bagian integral dari reproduksi.

A.    Eksternal Ambing
Ambing/kelenjar susu sapi terdiri dari empat (4) bagian terpisah. Bagian kiri dan kanan terpisah jelas, bagian ini dipisahkan oleh sulcus yang berjalan longitudinal yang disebut sulcus intermammaria. Kuartir depan dan belakang jarang memperlihatkan batas yang jelas. Jika dilihat dari samping, dasar ambing sebaiknya rata, membesar ke depan dan melekat kuat ke dinding tubuh perut. Pertautan pada bagian belakang sebaiknya tinggi dan lebar, dan tiap kuartir sebaiknya simetris. Gambaran eksternal ini memberi arti produktivitas seumur hidup dan merupakan kriteria penting yang digunakan untuk menilai sapi perah pada pameran ternak dan  penilaian klasifikasi bangsa.
Berat ambing tergantung umur, masa laktasi, banyaknya susu di dalam ambing,  dan faktor genetik. Beratnya berkisar antara 11,35 – 27,00 kg atau lebih tidak termasuk susu. Kapasitas ambing adalah 30,5 kg. Berat dan kapasitasnya naik sesuai dengan bertambahnya umur. Setelah sapi mencapai umur 6 tahun berat dan kapasitas ambing tidak naik lagi. Terbesar kapasitasnya pada laktasi yang kedua dan ketiga. Normalnya, kuartir belakang lebih besar dari kuartir depan dan menghasilkan susu sekitar 60 persen produksi susu sehari.
Susu dari tiap kelenjar disalurkan ke luar melalui puting, puting susu berbentuk silindris atau kerucut yang berujung tumpul.  Puting susu belakang biasanya lebih pendek dibandingkan puting susu depan. Bila menggunakan mesin perah putting susu yang pendek lebih menguntungkan dibanding dengan yang panjang, karena milk-flow rate-nya lebih cepat, dengan perkataan lain sapi dengan puting panjang diperah lebih lama dari pada puting pendek. Sifat terpenting puting untuk pemerahan efisien adalah (1) ukuran sedang, (2) penempatan baik, dan (3) cukup tegangan pada otot spinkter sekitar lubang puting agar memudahkan pemerahan dan susu tidak menetes.

B.     Internal Ambing
 Ambing terdiri dari rangkaian sistem berbagai struktur penunjang. Struktur penunjang ini adalah darah, limfe dan pasokan syaraf, sistem saluran untuk menyimpan dan mengangkut susu, serta unit epitel sekretori bakal alveoli. Tiap komponen ini berperan langsung atau tidak langsung terhadap sintesis susu,
1.      Jaringan Penunjang
Kulit. Walaupun perananan kecil sebagai jaringan penunjang dan stabilisator ambing, namun kulit ini sangat besar peranan sebagai jaringan pelindung bagian dalam ambing dari luka dan bakteri.
Ligamen suspensori lateral. Ligamen suspensori lateral merupakan salah satu jaringan penunjang utama ambing. Jaringan ikat ini sangat berserabut, tidak lentur (non-elastis), dan berasal dari perluasan otot atas dan belakang ke ambing. Ligamen suspensori lateral membesar sepanjang kedua sisi ambing dan bagian ujung jaringan masuk ke dalam ambing untuk menopang bagian dalam ambing. Ligamen suspensori lateral membesar ke bagian tengah dasar ambing dimana jaringan bergabung dengan ligamen suspensori median.
Ligamen suspensori median. Jaringan ikat ini juga merupakan jaringan penunjang utama ambing. Jaringan  disusun dari jaringan lentur (elastik) yang timbul dari tengah dinding perut dan membesar di tengah ambing yang menyatukan ligamen suspensori lateral di dasar ambing. Kelenturan ligamen suspensori median berguna agar ambing dapat membesar bila berisi susu.
2.      Sistem Pembuluh Darah.
Darah yang mengandun O2 meninggalkan jantung melalui aorta dan kemudian melalui cabang-cabang arteri yang lebih kecil darah dibawa ke ambing melalui dua buah arteri : arteri pudenda externa (kanan dan kiri). Kedua arteri ini menembus dinding perut melalui canalis inguinalis masing-masing kanan dan kiri masuk ke dalam ambing. Pada saat masuk ke dalam ambing keduanya berubah menjadi arteria mammaria yang segera bercabang menjadi arteria mammaria cranialis dan caudalis. Kedua cabang ini bercabang-cabang lagi menjadi arteria yang lebih kecil, kemudian membentuk kapiler yang memberi darah ke sel-sel ambing.
Venula yang berasal dari kapiler-kapiler dan saling beranastomosa membentuk vena yang menampung darah dari ambing. Pada bagian atas/puncak ambing vena membentuk lingkaran vena. Pada tempat ini darah meninggalkan ambing melalui tiga jalan, yaitu :

1.             Jalan utama pertama tediri atas dua buah vena pudenda externa yang sejajar dengan arteria pudenda externa berjalan melalui canalis inguinalis dan akhirnya menggabungkan diri dengan vena cava yang membawa darah ke jantung.
2.      Jalan utama kedua terdiri atas dua buah vena yaitu : vena abdominalis atau vena mammae kanan dan kiri yang terdapat pada tepi anterior dari ambing. Kedua vena ini berjalan di sepanjang dinding ventral perut berada langsung di bawah kulit. Vena ini masuk ke dalam cavum thoracis pada sumber susu dan akhirnya menggabungkan diri dengan vena cava anterior ke dalam jantung.
3.      Jalan ketiga yaitu vena perinealis, walaupun kecil merupakan jalan masuk ke dalam tubuh dari ambing melalui velvis.

3.      Sistem Limfatik
Limfe (getah bening) adalah cairan kelenjar tanpa warna yang dialirkan dari rongga jaringan oleh pembuluh limfe berdinding tipis. Limfe mempunyai komposisi yang sama dengan darah kecuali limfe tidak mengandung sel darah merah. Nodula limfe ambing dan nodula limfe lainnya yang tersebar di seluruh tubuh penting untuk pertahanan sapi terhadap penyakit. Nodula limfe membentuk limfosit, sejenis sel darah putih yang berperan pada imunitas.
Nodula juga menghilangkan bakteri dan benda asing lainnya. Respon terhadap infeksi mastitis, nodula meningkatkan hasil limfositnya ke dalam pembuluh limfe yang akhirnya menyebarkan limfosit ke dalam vena cava anterior. Limfosit kemudian dibawa ke ambing untuk memerangi infeksi.

4.      Sistem Syaraf
Lapisan dalam ambing terdiri atas dua tipe syaraf, yaitu serabut syaraf afferent (sensoris) dan serabut syaraf efferent (para simphatis). Fungsi utama dari serabut syaraf simpatis pada ambing adalah untuk mengontrol penyediaan darah pada ambing dan mendinnervasi otot-otot polos yang mengelilingi saluran-saluran susu dan otot-otot spinkter dari puting susu. Rangsangan pada sapi menyebabkan sistem simpatetik menghentikan hormon syaraf epineprin, yang mengecilkan pembuluh darah dan mengurangi produksi susu.

5.      Sistem Saluran Ambing
  Sistem saluran ambing terdiri atas serangkaian saluran alir yang berawal pada alveoli dan berakhir pada saluran keluar.
Puting. Puting tertutup oleh kulit tak berambut yang tidak memiliki kelenjar keringat. Pada dasar puting terdapat saluran pengeluaran tempat susu mengalir ke luar. Panjang saluran pengeluaran biasanya 8-12 mm dan merupakan garis dengan sel yang membentuk serangkaian lipatan serta akan menutup saluran pengeluaran selama selang pemerahan.
Sisterne Kelenjar. Sisterne puting terletak tepat setelah saluran pengeluaran bersatu dengan sisterne kelenjar pada dasar ambing. Sisterne kelenjar berfungsi sebagai ruang penyimpanan terbatas karena menerima tetesan dari jaringan sekretori. Umumnya sisterne kelenjar berisi 1 pint (473,18 cc) susu yang kemampuan nyatanya berbeda pada tiap-tiap sapi.
Saluran Ambing. Percabangan sisterne ambing ada 12 sampai 50 atau lebih saluran, yang kembali bercabang beberapa kali dan akhirnya membentuk duktul terminal yang mengalir ke tiap alveolus.
Alveoli. Alveoli dan duktul terminal terdiri dari lapisan tunggal sel epitel. Fungsi sel-sel ini memindahkan makanan dari darah dan mengubah menjadi susu serta mengeluarkan susu ini ke dalam tiap alveolus. Dalam keadaan berkembang penuh saat laktasi, beberapa alveoli berkelompok menjadi lobuli, dan beberapa lobuli bersatu menjadi lobus.


Sitologi Kelenjar Susu


Sel ambing adalah pabrik yang sangat teratur dan memiliki tingkat metabolisme tinggi. Ambing menggunakan kira-kira 80 persen dari total glukosa, asam asetat, dan asam amino darah

1.        Nukleus (inti)
Fungsi nucleus sel ambing adalah untuk menyebarkan informasi genetik yang terdapat dalam gen untuk sintesis protein susu dan enzim tertentu. Keadaan ini bertentangan dengan fungsi sperma dan nuklsi ovum yang menyebarkan informasi genetik ke seluruh bagian ternak.

2.        Retikulum Endoplasmik
Organel ini terdiri atas sistem saluran yang terletak di dasar dua per tiga sitoplasma sel ambing. mRNA bergerak dari nucleus ke retikulum endoplasmik dan mengerjakan gabungan asam amino menjadi proteinsusu dan enzim dalam sel ambing. Permukaan beberapa saluran retikulum endoplasmic bertaburkan protein-RNA yang disebut ribosom. Ribosom merupakan bagian sintestis protein.

3.        Aparatus Golgi
Aparatus Golgi berfungsi sebagai tempat membungkus protein. Sabagai contoh, Ca dan P ditambahkan ke molekul kasein dan partikel kasein (misel) dibentuk dalam aparatus Golgi. Sintesis laktosa juga terjadi di dalam aparatus Golgi. Vakuola sekretori yang mengandung protein susu, laktosa, dan air berasal dari apparatus Golgi dan muncul ke puncak sel tempat membran vakuola bertemu dengan membran plasma. Karena itu, membran sekretori menggembung terisi membran plasma yang berkurang dengan sekresi butiran lemak. Kandungan sekretori Golgi dilepaskan ke dalam rongga alveolus oleh salah cerna membalik.

4.        Mitokhondria
Mitokhondria sangat banyak terdapat dalam jaringan yang aktif secara metabolis. Karena itu, sel ambing dari sapi laktasi mengandung banyak mitokhondria, walaupun juga ada di sel ambing sapi non laktasi. Mitokhondria sering disebut "sumber tenaga sel" karena mitokhondria menghasilkan energi yang diperlukan untuk sintesis lemak susu, laktosa, dan protein.

5.        Lisosom
Partikel ikat membran ini mengandung enzim pemecah yang jika dikeluarkan menyebabkan pemecahan dan kematian sel. Salah satu mekanismenya adalah karena hormon memelihara sel ambing selagi laktasi. Pemeliharaan ini menstabilkan membran lisosom yang mencegah kebocoran enzim ke dalam sitopalsma. Bila sel mati, enzim ini dilepaskan dan membantu mencerrna dan menghilangkan sel dari tubuh. Lisosom terutama aktif saat involusi jaringan ambing seperti yang terjadi pada awal perriode kering atau selagi mastitis.

6.        Membran Seluler
Membran membungkus seluruh organel. Membran yang disebut membran plasma membentuk batas luar seluruh sel ambing. Membran menampakkan kekhasan penting seperti perlakuan bahan kimia ke dalam berbagai bagian sel. Sebagai contoh, zat gizi dari kapiler memasuki sel melalui membran plasma dengan mudah. Kenyataannya, zat gizi dapat dikonsentrasikan berkali-kali.

Zat gizi lain yang ada dalam darah tak dapat masuk. Saat susu berisotonik dengan darah, susunan individual dalam susu dan darah dalam keadaan tidak berimbang. Contoh, susu mengandung lemak 9 kali lebih banyak, gula 90 kali lebih banyak, kalium 5 kali lebih banyak, fosfor 10 kali lebih banyak, kalsium 13 kali lebih banyak, natrium 1/7 bagian, dan protein 1/2 bagian darah.

7.        Mikrotubula
Mikrotubula penting untuk pembelahan sel, membentuk sel ambing, dan membantu gerakan vakuola sekretori ke puncak sel.

8.        Sitoplasma
Sitoplasma adalah matriks cairan yang mengandung banyak sel ambing. Sebagian besar material fraksi ini dapat larut; seperti enzim, zat gizi, dan produk makro molekuler. Pemecahan anaerobik glukosa, sintesis asam lemak, dan pengaktivan asam amino untuk sintesis protein terjadi dalam sitoplasma terlarut. Pemecahan anaerobik glukosa penting terjadi sebelum glukosa dapat dipecah di dalam mitokhondria untuk menghasilkan energi.

HISTOLOGI KELENJAR SUSU


Glandula Mammaria
Kelenjar ini merupakan kumpulan kelenjar tubulo-alveolar, yakni modifikasi kelenjar keringat. Kelenjar ambing ini terdiri atas : puting dan ambing.
Ambing disusun oleh : kapsula, jaringan ikat interstitial, epithel pansekresi dan sistem saluran pengeluaran. Penyebaran jaringan ikat dan parenkhim berfungsi dalam aktivitas sekresi dari kelenjar. Kelenjar yang berlaktasi aktif mempunyai sekresi dari kelenjar. Kelenjar yang berlaktasi aktif mempunyai lebih banyak parenkhim dan sedikit jaringan ikat dan keadaan akan berbalik apabila kelenjar tidak berlaktasi. Dengan demikian struktur kelenjar ambing pada hewan dewasa yang inaktif (tidak menyusui) berbeda dengan yang aktif dan yang sama sekali belum beranak (dara).
Ciri khas kelenjar ambing masih aktif, ditandai dengan adanya benda kasein yang terdapat pada sisa alveoli, alat penyalur atau pada jaringan ikat bekas alveoli. Pengurangan ujung kelenjar secara progresif diimbali dengan terbentuknya jaringan ikat dan jaringan lemak.
Pada permulaan laktasi dimulai dengan perkembangan ujung alat penyalur yang nantinya menumbuhkan ujung kelenjar (alveoli) yang diatur oleh pengaruh hormon progesteron selama proses kebuntingan.

Strukutur histologi kelenjar ambing sebagai berikut :
a)             Stroma : mencakup kapsula, septa dan jaringan interstitial atau interaveolar yang semuanya terdiri atas jaringan ikat sebagai kernagka / penunjang.

b)             Parenkhim : Mencakup ujung kelenjar yang berbentuk tubulu alveolar bercabang majemuk dan alat penyalur. Pada hewan muda yang belum beranak ujung kelenjarnya tidak / belum tampak yang nampak hanya alat penyalur dengan banyak jaringan ikat interstitial, bahkan tampak sel lemak. Pada lumen terdapat susu.

 

Alveoli

Epithelnya berbentuk kubis rendah atau silindris rendah pada yang aktif, jadi tergantung pada status fisiologinya. Pada permukaan epithel tampak mikrovili dan pada sitoplasma tampak benda golgi, butir lemak memiliki selaput ganda, protein. Pada susu sapi terdapat sekitar 3-4 %. Alveoli dikitari sel mio-epithelium.

Alat Penyalur

Satu atau dua alveoli sekreta dialirkan melalui duktus intralobularis, dengan epithel kubis yang kitari sel mio-epithelium. Epithel alat penyalur masih dapat bersekresi meskipun intensitastnya agak kurang. Pada saluran yang agak besar bentuk epithelnya kubis dua lapis dengan ada tanda bersekresi.

Sinus Laktiferus

Sinus ini merupakan penampung sekreta susu dari loburus atau lobus. Epitel silindris banyak baris dan dikitari oleh serbaut elastis dan otot polos. Sinus ini biasanya menjulur sampai daerah puting susu (Papilla mamae).

Puting Susu

Terdiri atas empat bagian yakni :
1)      Saluran puting susu : Epithelnya pipih banyak lapis dan bertandu, selaput lendir membentuk lipatan dengan jaringan ikat sebagai tunika propriaa sub-mukosa. Kuda memiliki dua samapai empat buah, ruminansia satu, babi dua sampai tiga buah, kucing empat-tujuh, anjing delapan-20 buah dan manusia 13-24 buah.

2)      Sinus puting Susu : Epithel silindris atau kubis dua lapis, selaput lendir membentuk lipatan melingkar dan longitudinal, dengan jaringan limferetikular pada tunika propria.


3)      Stingter puting susu : otot polos yang tersusun melingkar antara propria sub-mukosa dan hipodermis, sering pula tampak otot yang tersusun memanjang.

4)      Kulit puting susu : Epithelnya pipih banyak lapis bertanduk, korium terdiri atas serabut kolagen pekat seperti kulit. Hipodermis relatif tipis.


Fisiologi Laktasi  Susu Ke Dalam Lumen Alveoler


Pelepasan susu ke dalam lumen alveolus terjadi tanpa menampakkan bagian dalam sel. Komponen individual susu disimpan terpisah di dalam sel ambing. Karena itu, susu sebenarnya belum terbentuk sampai komponen susu masuk ke lumen alveoler tempat komponen-komponen ini bercampur. Butir lemak terbentuk di sebagian kecil sel. Kemudian, ukurannya membesar dan bergerak perlahan ke lumen alveoler. Membran sel membungkus butir lemak saat butir lemak menekan ke luar sel. Kemudian, butir lemak dijepit oleh membran luar permukaan sel dan menjadi bebas di dalam alveolus. Sebaliknya, protein susu dibungkus di dalam sel ambing seperti butiran asing di dalam vakuola. Lalu, protein susu dilepaskan ke dalam lumen alveoli tanpa melepaskan penutup membran sel. Laktosa terdapat dalam vakuola sekretori dan dilepaskan ke lumen alveoler bersama dengan protein. Sejumlah air dialirkan ke susu melalui vakuola. Mekanisme yang menyebabkan sisa komponen kimia susu memasuki lumen alveoli belum diketahui.

A.           Refleks Pengeluaran-susu
Sejumlah kecil susu yang terdapat di dalam sisterne dan pembuluh besar ambing dapat keluar setelah melewati daya tahan otot spinkter yang mengelilingi saluran keluar puting. Akan tetapi, sebagian besar susu yang terdapat dalam ambing harus dipaksa keluar dari alveoli dan pembuluh kecil susu dengan pengaktivan refleks neoro-hormonal yang disebut pelepasan/pengeluaran susu (milk ejection) atau penurunan susu (milk let down).
Refleks pengeluaran susu meliputi aktivasi syaraf di kulit puting yang sensitif terhadap sentuhan atau temperatur. Rangsangan syaraf melalui sumsum tulang belakang sampai ke nuklei paraventrikuler dari hipotalamus dan kemudian berjalan ke pituitari posterior tempat dilepaskannya oksitosin ke dalam aliran darah. Oksitosin menyebar di kapiler dan menyebabkan kontraksi sel myo-epitelial yang mengelilingi alveoli dan pembuluh-pembuluh lebih kecil. Aksi pemerahan ini meningkatkan tekanan intramamari dan memaksa susu melalui pembuluh pergi ke sisterne puting dan ambing.
Kontraksi sel myo-epitelial terjadi dalam 20-60 detik setelah perangsangan puting. Pelepasan kedua oksitosin dapat terjadi, tetapi lebih sukar dari pelepasan pertama, dan biasanya respon tidak terjadi secara penuh. Setelah pelepasan oksitosin aliran susu berkurang sesuai dengan waktu, tanpa memperhatikan jumlah susu dalam ambing. Hal ini mungkin karena kelelahan sel myo-epitelial atau ketidakaktivan oksitosin. Fakta menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk setengah aktivitas oksitosin di dalam darah sapi menghilang hanya dalam 1-2 menit, dan level efektif berakhir dalam 6-8 menit. Karena itu, merupakan hal yang penting mengeluarkan susu dengan cepat saat oksitosin menyebabkan kontraksi sel myo-epitelial.
Ada bukti bahwa sebelum oksitosin dilepaskan, rangsangan syaraf berjalan langsung dari puting melalui sumsum tulang belakang ke otot halus di pembuluh besar ambing. Otot-otot halus ini kemudian berkontraksi. Keadaan ini menyebabkan pembuluh ambing memendek dan membesar serta membantu mengalirkan susu melalui sistem pembuluh ke arah sisterne. Sel myo-epitel berkontraksi sebagai respon terhadap rangsangan mekanis langsung. Karena itu, pemijatan ambing sebelum pemerahan menyebabkan tambahan sejumlah susu dari alveoli.
Rangsangan luar selain pencucian akan mengawali refleks pengeluaran-susu. Rangsangan terkuat untuk melepaskan oksitosin adalah kehadiran pedet. Rangsangan lain yang berhubungan dengan pemerahan adalah suara ribut, pemberian pakan, keberadaan pemerah, dan koitus.
Refleks pengeluaran-susu dapat dihambat juga. Bila hal ini terjadi, hanya sejumlah kecil susu yang dapat dikeluarkan dari ambing. Keadaan lingkungan yang tidak menyenangkan saat pemerahan akan menyebabkan sistem syaraf simpatetik membebaskan epineprin syaraf-hormon dari medula adrenal ke dalam darah. Epineprin adalah vasokonstriktor kuat yang mampu mengurangi pasokan darah ke ambing dan karena itu menghalangi oksitosin sampai ke sel myo-epitelial dalam jumlah yang cukup untuk menghasilkan kontraksi. Injeksi oksitosin pada saat ini tidak efektif. Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa epineprin dapat langsung menghambat sel myo-epitelial merespon oksitosin. Hambatan refleks juga terjadi bila ambing berisi penuh susu. Pada kasus ini, aliran darah kapiler berkurang sangat banyak sehingga oksitosin tidak bertahan lama di myo-epitelium.
Jika peternak tenang maka peternak akan menguasai sebagian besar sapi. Beberapa sapi tidak merespon kebaikan, dan sapi seperti ini sebaiknya diapkir karena dapat menyebabkan sapi lain terganggu.
Gangguan emosional yang terjadi sebelum pengaktivan refleks pengeluaran-susu dapat mencegah pelepasan oksitosin dari pituitari posterior. Pada keadaan ini, injeksi oksitosin akan menyebabkan sel myo-epitelial berkontraksi sehingga vasokonstriksi tidak terjadi. Ini adalah contoh penghambatan refleks pada taraf sistem syaraf pusat. Tipe penghambatan tersebut paling sering ditemui pada dara yang beranak pertama kali dan kemudian masuk ke masa produksi. Injeksi oksitosin pada beberapa kali pemerahan dapat mengatasi hal ini. Hal penting yang harus diingat adalah produksi seluruh laktasi berkurang karena pemerahan tak lengkap.

B.                Mengeluarkan Susu dari Ambing
Saluran susu sapi harus terbuka agar mendapat susu, dan tidak ada bukti bahwa otot spinkter mengendur selama pemerahan. Karena itu, beberapa mekanisme eksternal harus digunakan untuk mengalahkan daya tahan (ketahanan) otot ini.
1.      Penyusuan
Selama menyusui, pedet menekan lidahnya ke sekitar puting dan ke arah langit-langit dan menghasilkan tekanan negatif karena rahang terpisah atau penarikan ulang/lagi lidah. Tekanan positif terjadi di sekitar puting saat pedet menelan. Siklus menelan dan menghisap terjadi sebanyak 80-120 kali secara bergantian setiap menit. Berdasarkan percobaan, pedet menghasilkan perbedaan tekanan di depan puting susu sebesar 535 mm Hg sedangkan pemerahan mesin dan tangan hampir menghasilkan perbedaan tekanan sebesar 310 dan 352 mm Hg. Isapan pedet juga adalah metode tercepat untuk memindahkan susu dari ambing.
2.       Pemerahan Tangan
Cara ini masih banyak dilakukan di berbagai negara. Pemerahan tangan pun masih dilaksanakan di Amerika pada waktu dan kasus khusus, biasanya dihubungkan dengan penyakit dan luka, yang mungkin pemerahan dengan tangan lebih baik dari mesin. Pemerahan dengan tangan secara hati-hati menjepit puting di antara jari telunjuk dan ibu jari. Kemudian, susu di dalam puting ditekan ke luar oleh tekanan jari-jari lain pada puting. Berikutnya jari telunjuk dan ibu jari mengendor sehingga puting terisi kembali, dan siklus diulang. Pemerahan tangan yang baik dapat mengeluarkan susu lebih banyak dari mesin perah.
3.       Pemerahan dengan Mesin
Mulai digunakan tahun 1895. Mesin perah mutakhir menggunakan cara tekanan negatif dan atmosfir secara bergantian, disini diperlukan mangkok puting kamar ganda tempat puting berada. Ruangan dimana puting ada terus menerus kosong untuk membuka lubang puting dan menahan mangkok puting tetap pada puting.

Kontrol Hormonal Laktasi
Sekresi ambing dihasilkan hanya setelah pembentukan sistem lobuli-alveoler. Karena itu, pada dara bunting sekresi tidak tampak sampai pertengahan kebuntingan. Berbagai enzim yang diperlukan untuk sintesis susu terdapat dalam sel ambing yang dibentuk sebelum beranak. Saat beranak, hormon menyebabkan peningkatan besar produksi susu. Sekresi yang dibentuk sebelum beranak adalah kolostrum yang alami dan bukan susu murni.
Permulaan Laktasi. Selama kebuntingan, progesteron menghalangi sekresi α-laktalbumin (salah satu protein susu). Halangan ini cukup untuk mencegah sintesis susu selama sebagian besar periode kebuntingan dara. Juga, titer tinggi progesteron menghalangi mulainya laktasi pada induk sapi saat periode kering. Progesteron tidak efektif menghalangi kerjasama kebuntingan dan laktasi namun sebaliknya, laktasi segera dihalangi bila sapi laktasi menjadi bunting. Segera sebelum beranak titer progesterone menurun, sedangkan estrogen, ACTH, dan level prolaktin meningkat. Pemberian adrenal kortikoid atau estrogen mengawali laktasi sapi perah.
Pemeliharaan Laktasi. Sesudah sapi beranak, produksi susu meningkat cepat dan mencapai maksimum pada 2 sampai 6 minggu. Kemudian hasil susu secara beraturan menurun.
Batasan berikut akan digunakan untuk meguraikan laktasi. Milk secretion/sekresi susu  melibatkan sintesis intraseluler susu dan laju alir susu dari sitoplasma ke dalam lumen alveoli. Milk removal/pengeluaran susu melibatkan pengeluaran pasif susu dari puting, sisterne kelenjar, dan saluran utama serta pengeluaran aktif susu yang disebabkan oleh kontraksi sel mio-epitel sekitar alveolus sebagai respon terhadap oksitosin. Laktasi terdiri dari sekresi susu dan pengeluaran susu.

Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Normal


Jumlah sel pembentuk susu adalah faktor utama yang membatasi tingkat produksi susu. Estimasi korelasi antara hasil susu dan jumlah sel ambing terentang antara 0,50 sampai 0,85.

A.                Perkembangan Fetal dan Embrionik.
Rudimen ambing tampak jelas dari penebalan sel ektodermal pada permukaan ventral (perut) embrio di antara kaki belakang. Perkembangan ini terjadi waktu panjang pedet antara 1,4 sampai 1,7 cm (kira-kira 30 hari setelah konsepsi).

B.                 Lahir sampai Pubertas.
Sampai pedet umur tiga bulan, sistem saluran ambing belum terlihat dewasa. Sistem saluran tumbuh mengelilingi lapisan lemak ambing secara proporsional sesuai dengan pertambahan berat badan. Setelah tiga bulan, pertumbuhan ambing kira-kira 3,5 kali lebih cepat dari pada pertumbuhan tubuh. Kecepatan pertumbuhan ini berlanjut hingga umur sembilan bulan. Sel-sel saluran ambing berakumulasi selama 3 sampai 5 siklus estrus pertama setelah pubertas. Jumlah sel terlihat jelas menurun saat fase kebuntingan. Antara umur 9 bulan dan konsepsi, pertumbuhan dan regresi kelenjar susu selama estrus mencapai suatu keseimbangan. Peningkatan murni jumlah sel ambing sesuai dengan peningkatan bobot badan. Jumlah tebesar pertumbuhan saluran ambing sebelum konsepsi terjadi pada umur sembilan bulan. Karena itu, sebaiknya peternak memperhatikan dara tumbuh baik dan segera siap kawin.

C.                Selama Kebuntingan.
Alveoli tidak terbentuk hingga terjadi kebuntingan pada sapi dara. Kemudian alveoli mulai menggantikan jaringan lemak seluruh ambing.

D.                Selama Laktasi.
Jumlah sel ambing terus meningkat selama laktasi awal. Perkembangan ini mungkin berlanjut sampai puncak laktasi. Sebagai hasilnya, alveoli hampir seluruhnya terbungkus pada laktasi awal. Setelah itu, tingkat penurunan sel ambing melebihi tingkat pembelah sel. Hasilnya menunjukkan secara nyata ambing mengandung lebih sedikit sel,pada akhir laktasi daripada awal laktasi.
Mastitis juga menyebabkan kehilangan sel ambing. Secara alami, kehilangan sel sekretori apakah dari fisiologis atau sebab patologis, menurunkan jumlah produksi susu. Oleh karena itu pemeliharaan jumlah maksimal sel ambing sangat dianjurkan terutama bagi sapi dengan produksi tinggi, karena jika sel ambing tidak ada susu tidak terbentuk.

E.                 Selama Laktasi dan Kebuntingan.
Kebanyakan sapi dikawinkan antara 40 sampai 90 hari setelah beranak. Tingkat awal kebuntingan relatif sedikit berpengaruh terhadap produksi  susu atau jumlah sel ambing. Perkembangan kebuntingan terjadi setelah lima bulan. Perkembang-an ini menyebabkan hasil susu dan jumlah sel ambing menurun pada sapi laktasi bunting dibandingkan yang tidak bunting.


F.                 Selama Masa Kering.
Pemerahan setiap hari biasanya dihentikan setelah sapi perah berlaktasi 10 sampai 12 bulan (dengan rentangan 6 hingga 18 bulan). Jika sapi bunting, periode nonlaktasi ini (periode kering) diawali biasanya sekitar 60 hari sebelum tanggal beranak. Mengikuti penghentian pemerahan tiap hari, ambing induk tidak bunting menjadi dipenuhi dengan susu selama beberapa hari. Walaupun begitu, aktivitas metabolik menurun cepat. Kemudian, tampak jelas degenerasi dan kehilangan sel epitelial alveoler. Sel mio-epitelial dan jaringan pengikat masih ada biarpun alveoli menghilang. Secara histologis, jaringan pengikat dan sel lemak menjadi lebih menonjol selama periode ini. Setelah involusi lengkap ambing makan hanya terdapat sistem saluran. Sistem saluran induk sapi, akan tetapi, lebih banyak dari pada sapi dara. Walaupun penelitian pada sapi perah belum dilaporkan, involusi lengkap alveoli membutuhkan 75 hari pada kambing tidak bunting.
Sapi yang bunting normal selama periode kering, dan karena kebuntingan merangsang pertumbuhan ambing, involusi lengkap tidak terjadi pada sapi bunting. Umur kebuntingan paling sedikit 7 bulan sejak awal periode kering menyebabkan jumlah sel ambing tidak berubah terutama selama periode kering. Induk yang tidak mendapat periode kering normal menghasilkan susu berikutnya berkurang daripada sapi yang mendapat istirahat 60 hari di antara laktasi-laktasi. Karena itu, periode kering di antara laktasi-laktasi penting untuk produksi susu maksimal. Ketidakhadiran periode kering bergabung dengan peningkatan jumlah sel yang terjadi selama tingkat awal laktasi berikutnya. Hal ini terutama menjelaskan kebutuhan periode kering pada sapi.

Kontrol Hormonal Perkembangan Ambing
Perkembangan ambing nyata tidak terjadi karena ketidakhadiran hormon tertentu. Secara umum, hormon yang merangsang pertumbuhan ambing adalah hormon yang juga sama mengatur reproduksi. Karena itu, sebagian besar pertumbuhan ambing terjadi pada peristiwa reproduksi tertentu saja, misalnya saat pubertas, kebuntingan, dan sesaat setelah beranak.
Ovari. Hormon ovari merangsang perkembangan ambing selama pubertas dan kebuntingan. Hormon ovari spesifik yang berperan dalam respon pertumbuhan ambing adalah estrogen dan progesterone. Estrogen merangsang pertumbuhan saluran ambing, sedangkan kombinasi estrogen dan progesterone diperlukan untuk mencapai perkembangan lobuli-alveoler.

Pituitari Anterior. Hormon dari pituitari anterior diperlukan untuk pertumbuhan ambing. Bekerjasama dengan hormon ovari (estrogen dan progesteron) untuk menghasilkan per-kembangan ambing.
Laktogen Plasental Sapi. Plasenta adalah sumber estrogen dan laktogen plasental sapi. Struktur plasental sapi serupa tetapi lebih besar dari prolaktin dan hormon pertumbuhan. Laktogen plasental sapi mungkin bekerja sama dengan pituitari anterior dan hormon ovari untuk perkembangan ambing selama kebuntingan.
Adrenal dan Tiroid. Pemberian adrenal glukokortikoid dan tiroksin memulai perkembangan ambing. Tetapi pengaruh-pengaruh ini mungkin berhubungan dengan fungsi metabolik umum-nya dan tidak dari kepentingan primer dalam menyokong pertumbuhan ambing.
Interaksi Hormon dan Keadaan Nutrisi. Dara yang diberi pakan berlebih atau kurang secara jelas menghasilkan susu lebih sedikit daripada dara yang tumbuh dengan zat gizi sesuai anjuran.






Mastitis Pada Sapi

Radang ambing (mastitis) pada sapi perah merupakan radang yang bisa bersifat akut, subakut maupun kronis, yang ditandai oleh kenaikan sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai patologis pada kelenjar mammae.
             
Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Streptococcus agalactiae (Str. Agalactiae) merupakan bakteri  penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat penurunan produkai susu. Berdasarkan uji sensitifitas terhadap berbagai antibiotik diketahui bahwa sebagian besar S. aureus telah resisten terhadap oksasilin (87,5%) dan eritromisin (71,97%) dan ada beberapa isolate yang juga resisten terhadap tetrasiklin (37,46%), ampisillin (25%) dan gentamisin (21,87%) (Salasia dkk, 2005).
            Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting (sphincter puting). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi kuman. Pada dasarnya, kelenjar mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan, sehingga air susu tetap steril. Perangkat pertahanan yang dimiliki oleh kelenjar mammae, antara lain : perangkat pertahanan mekanis, seluler dan perangkat pertahanan yang tidak tersifat (non spesifik).
            Tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai titik terendah saat sesudah pemerahan, karena sphincter  masih terbuka  beberapa saat, sel darah putih,  antibodi serta  enzim juga habis, ikut terperah.                   
            Pencegahan terhadap mastitis ditempuh melalui  dipping  puting sehabis pemerahan dengan antiseptika, antara lain: alkohol 70 %, Chlorhexidine 0,5%, kaporit 4% dan Iodophor 0,5 – 1% (Subronto dan Tjahadjati, 2001).
            Sebagaimana antibiotik, antiseptika juga bisa menyebabkan resistensi bakteri, sehingga perlu dipikirkan alternatif pemecahan guna mengatasi mastitis dengan antibiotik alami yang diekstrak dari tanaman, seperti Aloe barbadensis Miller, yang aman, tanpa menimbulkan resistensi bakteri dan residu antibiotik dalam susu, baik sebagai olesan pada puting maupun bentuk infusi intramammae.    
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan  perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa pada sapi, mastitis sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis kuman.
            Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu,  kualitas dan  kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri sapi perah.  


PEMBAHASAN
MENGENAI MASTITIS PADA SAPI PERAH



MASTITIS

Mastitis adalah radang kelenjar ambing, yang disertai adanya perubahan fisik, kimiawi, kandungan kuman dan peningkatan jumlah sel somatik (Seddon, 1965). Kejadian mastitis pada sapi perah meskipun hanya secara sporadis, tetapi kerugian yang ditimbulkannya cukup merisaukan peternak. Kerugian akibat mastitis dapat berupa penurunan produksi dan kualitas susu, pengeluaran biaya pengobatan dan perawatan sapi selama menderita mastitis, bahkan kemungkinan terjadi kematian kuartir karena terbentuknya tenunan ikat pada kuartir yang menderita mastitis (King, 1981).

Penyebab utama mastitis ialah infeksi mikroorganisme pada kelenjar ambing. Mikroorganisme tersebut adalah bakteri, fungi, mycoplasma dan virus, meskipun mycoplasma dan virus sebagai penyebab mastitis jarang di temukan. Jenis-jenis bakteri yang berperan sebagai penyebab mastitis adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Corynebacterium pyogenes, Pseudomonas aeruginosa. Coliform, Leptospira sp, Klebsiella pneumonia, Bacillus cereus (Seddon, 1965 dan Tranter, 1982).

Peneliti-peneliti pemula tentang mastitis menyatakan bahwa penyebab utama mastitis adalah bakteri Streptococcus. Kemudian diketahui selain Streptococcus juga bakteri Staphylococcus mempunyai peranan sebagai penyebab mastitis. Bahkan menurut Blood dan Henderson (19630), baik Staphylococcus maupun Streptococcus mempunyai peranan yang sarna pentingnya sebagai penyebab mastitis.

Mastitis yang disebabkan oleh genus Staphylococcus disebut staphylococcalmastitis. Pada umumnya ada dua spesies penyebab mastitis ialah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis (Hoare dan Garton, 1972). S. aureus bersifat lebih patogen daripada, S. epidermidis, dan S. epidermidis cenderung sebagai penyebab mastitis subklinis (Brown dan Sherer, 1978).

A.    Sifat-sifat Bakteriologik Bakteri Penyebab Staphylococcalmastitis

Habitat. Staphylococcus merupakan kuman lingkungan, yang relatif tahan lama di alam. Banyak terdapat dalam air susu,  tanah,  udara, debu kandang dan air kotor. Juga terdapat pada permukaan tubuh beberapa hewan mamalia dan burung (Wilson dan niles, 1975),  terutama  S. Epidermidis banyak ditemukan pada puting susu dan kulit ambing (Devriese, 1979).

Morphologi. Staphylococcus adalah bakteri yang berbentuk bulat, bersusun bergerombol seperti buah anggur dan bersifat gram positif. Besar.sel berbeda-beda, diameternya rata-rata antara 0,8 - 1,0 mikrometer. Perbedaan besar sel tergantung dari jenis strain bakteri, umur biakan dan media yang digunakan. Semua Staphylococcus tidak motil, tidak berflagella, tidak berspora dan tidak membentuk kapsul (Wilson dan Hiles, 1975).

Sifat biakan. Pertumbuhan staphylococcus pada media biakan dalam suasana aerob dan fakultatif aerob. Bakteri mudah tumbuh pada agar darah dan agar nutrien atau pada media umum lainnya tanpa memerlukan bahnn penyubur. Pada agar darah koloni besar dan sering terlihat di sekeliling pertumbuhan terbentuk zona hemolisa. Pada agar nutrien koloninya bulat, halus, permukaan cembung, topi rata, mengkilat.  Diameternya 1 - 2 mm, setelah biakan staphylococcus diinkubasi pada suhu 37o C selama lebih kurang 24 jam. Pada kaldu daging pertumbuhan ditandai dengan sedimen seperti serbuk di bagian bawah tabung. Biakan bakteri ini di agar miring dapat tahan hidup pada suhu kamar selarna berbulan-bulan, sedang pada suhu yang agak tinggi tahan selama 6 - II, minggu (Cowan dan Steel, 1973).

Reaksi biokemis. Aktifitas biokemis staphylococcus ditentukan oleh jonis enzim yang dihasilkannya. Jenis-jenis enzim tersebut adoloh hyaluronidase, staphylokinase, proteinase, lipase, koagulase, katalase dan ponicilinase (Laskin dan Lecheva1ier, 197I).

Monurut Bergey (1975) dan Cottral (1978) kunci untuk identifikasi Staphylococcus sp adalah berdasarkan reaksi terhadap mannitol dan sifat koagulase terhadap plasma darah. S. aureus bersifat memfermentasi mannitol dan uji koagulase positif sedangkan S. epidermidis bereaksi negatif terhadap kedua uji tersebut.

B.     Mekanisme Infeksi

Untuk mengetahui mekanisme infeksi staphylococcalmastitis harus diketahui terlebih dahulu anatomi fisiologi dari ambing.  Pada sapi, ambing terdiri dari empat kuartir yang terletak di dacrah inguinal, caudal dari umbilikus dan meluas ke belakang antara dua paha. Setiap kuartir dibatasi oleh selubung (sekat pemisah), sehingga antar kuartir tidak ada hubungan langsung. Lubang puting berhubungan langsung dengan pucuk saluran (kanal puting), yang kerjanya diatur oleh otot sphincter. Di dorsal kanel puting terdapat di siterna puting (sinus papilaris) dan di siterna kelenjar (sinus laktiferus) terletak di atas sinus papilaris. Di dalam sinus laktiferus terjulur 8 – I2 saluran susu atau galaktophor. Kanal puting berdinding epitel squamos yang serupa dengan struktur epidermis kulit, di bawah epitel terdapat serabut-serabut otot. Sinus laktiferus dibatasi oleh epitel berlapis dua (Toe1ihere, 1981 dan Ressang, 1984).

Gejala klinis mastitis akan nampak pada tahap inflamasi dan pada pemeriksaan mikroskopis terlihat, jumlah sel somatik meningkat (Blood dan Henderson, 1963). Hamidjojo (198l), menyatakan  bahwa peradangan yang terjadi adalah sebagai  respon tubuh terhadap metabolit dan toksin yang dihasilkan  oleh metabolisme bakteri yang merangsang jaringan kelenjar ambing. Gejala-gejala yang terlihat  merupakan ekspresi pertahanan tubuh (homeostase) yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan jaringan tubuh dan menghilangkan bakteri penyebab serta mengembalikan keadaan tubuh seperti semula.

Blobel dan Schliesser (1980), mengemukakan bahwa  higiene kandang yang kurang, cara pemerahan yang tidak legeartis dan adanya luka/lecet pada ambing merupakan faktor-faktor yang mempermudah terjadinya invasi Staphylococcus. Mereka mengemukakan tiga cara invasi Staphylococcus ke kelenjar ambing yaitu melalui kanal puting, luka pada puting dan Iuka pada kulit ambing.

Sphincter puting adalah otot yang mengatur membuka dan menutup kanal puting sehingga mikroorganisme tidak leluasa masuk kekelenjar ambing.  Forbes (1969) dan Anderson (1982),  menyatakan bahwa kemungkinan mikroorganisme
dapat melalui  sphincter puting karena adanya mekanisme fisis puting. Mc Donald (1975),  juga menambahkan peranan mesin perah dapat mempermudah invast mikroorganisme ke kelenjar ambing. Setelah mesin perah berhenti bekerja, bagian distal dan pertengahan saluran susu berdilatasi kemudian bagian proksimal dan kemungkinan pada saat inilah mikroorganisme dengan mudah masuk melalui saluran puting.

Ressang (1982), menjelaskan invasi bakteri melalui luka puting atau luka pada kulit ambing dapat terjadi sewaktu pemerahan. Bakteri dapat berasal dari lap ambing yang digunakan, tangan sipemerah dan air pencuci ambing. Selain itu bakteri yang terdapat di lantai kandang juga dapat menginvasi ambing melalui luka puting atau ambing pada saat hewan berbaring.

Staphylococcus yang masuk ke kelenjar ambing berkembang biak dengan cepat pada tempat perlokatannya. Sel epitel kanal puting, sinus laktiferus dan duktus lal, tiferus merupakan jaringan tempat perlekatan Staphylococcus. Resistensi kelenjar ambing, virulensi Staphylococcus, status laktasi pada saat infeksi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tanda-tanda klinis penyakit dan derajat peradangan. Tanda-tanda klinis staphylococcalmastitis dapat dilihat dari bentuk sekresi susu, konsistensi dan temperatur ambing, reaksi peradangan dan sistemik yang terjadi (Blobel dan Scheliesser, 1980; Anderson, 1982).

Selanjutnya Blood dan Henderson (1963), mengklasifikasikan staphylococcalmastitis dalam dua bentuk yaitu staphylococcalmastitis perakut dan kronis, sedangkann Elobel dan Scheliesser (1980) membagi staphylococcalmastitis menjadi dua bentuk yaitu staphylococcalmastitis akut dan kronis.

Staphylococcus adalah kuman pembentuk nanah. Pada pemeriksaan patologis anatomis terlihat adanya penimbunan nanah di dalam sinus dan duktus laktiferus. Oleh karena itu gejala khas yang nampak terbentuknya gangraena yang meluas. Gangraena terjadi secara cepat, dimana dalam waktu lebih kurang 24 jam dapat menjadi hitam dan mengeluarkan serum. Juga disertai emphisema subcutaneus dan pembentukan lepuh. Penyebaran gangraena mulai terjadi setelah 6 - 7 hari (Blood dan Henderson, 1963).

Secara histopatologis ambing yang menderita staphylococcalmastitis perakut menunjukkan adanya kerusakan jaringan yang nekrotik, terutama pada lumen alveolar dan dapat terlihat adanya Staphylococcus dalam jumlah banyak. Selain itu di sekitar jaringan yang mengalami nekrotik banyak ditemukan sel-sel neutrophyl (Anderson, 1982).

Staphylococcalmastitis akut. Slanctz dan Bartley (1953) yang disitasi oleh Anderson (1982), mempelajari penyebab staphylococcalmastitis akut dengan cara menginokulasi alpha toksin dari S. aureus ke kelenjar ambing sapi. Tidak terlihat adanya gangraena, terjadinya hal ini diduga karena jumlah alpha toksin yang diinokulasi terlalu sedikit. Inokulasi alpha toksin didalam jumlah yang sama pada kelenjar ambing tikus ternyata dapat monyebabkan nekrosa jaringan ambing.

Kejadian nekrosa jaringan ambing sapi sering terjadi pada akhir laktasi atau permulaan masa kering kandang. Gejala klinis tidak jelas dan sering diabaikan oleh peternak, sehingga dapat berlanjut menjadi staphylococcalmastitis kronis. Penurunan produksi susu yang terjadi sering diduga karena proses asiologis kelenjar ambing pada akhir laktasi. S. aureus lebih sering ditemukan sebagai penyebab staphylococcalmastitis perakut dan akut (Mc Donald dan Anderson, 1983).

Staphylococcalmastitis kronis. Kejadiannya merupakan lanjutan dari staphylococcalmastitis akut. Kelenjar ambing yang terserang tidak memperlihatkan adanya perubahan secara klinis. Salah satu gejala yang nampak adalah penurunan produksi susu. Sedangknn pada pemoriksaan laboratorium memperlihatkan adanya infeksi kelenjar ambing yang disertai dengan terjadinya perubahan kimiawi dan fisik air susu (International Dairy Federation, 1971). Blood dan Henderson (1963) menambahkan bahwa kuartir yang menderita staphylococcalmastitis kronis jika dipalpasi akan terasa kenyal akibat pembentukan tenunan ikat.

Reseang (1982), menyatakan bahwa S. epidermidis merupakan bakteri penyebab utama mastitis kronis. Penetrasi Staphylococcus yang masuk secara laktogen maupun hematogen adalah pada epitel kisterna dan duktus laktiferus. Kemudian Frost dkk (1977) yang disitasi oleh Anderson (1982) menambahkan bahwa Staphylococcus yang terdapat pada epitel kisterna dan duktus laktiferus akan segera berpindah ke alveoli kelenjar ambing dan membentuk pusat peradangan.

Nickerson dan Heald (1982), menyatakan bahwa sebagai usaha pertahanan tubuh terhadap adanya infeksi Staphylococcus, pada daerah peradangan banyak terdapat leukosit terutama neutrofil dan makrophag. Leukosit tersebut bersifat memfagosit kuman penyebab peradangan. Kemudian Anderson (1982), mengemukakan akibat adanya leukosit terhadap produksi susu sebagai berikut leukosit yang terdapat pada alveoli kelenjar ambing dapat menyebabkan pembesaran ruang alveolar dan mempersempit saluran gelembungair susu sehingga dapat menghambat pengaliran air susu. Selain daripada itu adanya interaksi antara Staphylococcus dan leukosit pada kelenjar ambing dapat mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi air susu secara kimiawi dan fisis. Jika leukosit berhasil melemahkan kuman penyebab peradangan, maka dalam beberapa hari peradangan dapat terhenti.

Terhentinya peradangan kadang-kadang diikuti dengan pembentukan tenunan ikat di sekitar saluran air susu. Hal ini dapat menghambat pengeluaran air susu sehingga terjadi penurunan produksi bahkan dapat menyebabkan berhentinya produksi susu dari kuartir yang menderita.

C.    Gejala Klinis
            Subronto (2003) menyatakan bahwa secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing.
Gambar 1. menampilkan  gejala klinis pada sapi perah laktasi.
Description: 100_1087
Gambar 1. Mastitis perakut disebabkan Staphylococcus aureus
                  pada sapi perah laktasi umur lima tahun.
Pada proses radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti: kebengkakan ambing, panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi.  Air susu berubah sifat,  seperti : pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein.
Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae. 

D.    Cara penularan
            Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari  kuarter terinfeksi ke kuarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat (Jones, 1998).
1.      Diagnosis
            Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus (Akoso, 1996). Subronto (2003) menambahkan diagnosis mastitis bisa dilakukan dengan Whiteside Test.
2.      Kontrol
            Jones (1998) mengemukakan bahwa guna mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain :
  • Meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting.

  • Air susu pancaran pertama saat pemerahan ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan (Sutarno, 2000). 

  • Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan β-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.


E.     Pengendalian

Kejadian staphylococcalmastitis erat hubungannya dengan keadaan sanitasi kandang yang kurang baik dan cara pemerahan yang tidak legeartis. Maka dalam tindakan pengendalian dilakukan dengan memperbaiki tata laksana peternakan
dan meningkatkan kebersihan kandang, serta memperhatikan tata cara pemerahan yang benar. Selain daripada itu dilakukan juga tindakan pengobatan untuk  menghilangkan infeksi pada tiap kuartir yang terserang mastitis.

1.      Pencegahan.

Cara pencegahan staphylococcalmastitis ataupun streptococcalmastitis yang dianjurkan oleh "National Institut for Research in Dairying" di Shinfield, disitasi oleh Wesen dan Schulhz (1970) adalah sebagai berikut:

¾    Sebelum pemerahan ambing dan puting susu harus dicuci bersih dengan air yang mengalir, kemudian dilap dengan kain lap yang kering dan bersih. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme yang berada di sekitar kulit ambing dan puting susu.

¾    Sesudah pemerahan puting didisinfeksi untuk menekan jumlah mikroorganisme yang berasal dari sisa air susu pada ujung puting. Ada dua cara yang umum digunakan yaitu mencelupkan puting ke dalam larutan disinfektan (teat dipping) dan menyemprot puting dengan larutan disinfektan (teat spraying). Tindakan disinfeksi puting sebaiknya dilakukan secara rutin dan dipakai disinfektan yang efektif.
¾    Bila pemerahan dilakukan dengan mesin perah, maka sebelum dipakai mangkok pemerah diusahakan dalam keadaan steril.

Natke illck (1972) menganjurkan disamping meningkatkan sanitasi kandang dan alat-alat pemerah dalam lindakan pencegahan staphylococcalmastitis perlu dilakukan pengawasan terhadap kesehatan tenaga pemerah. Sheldrake dan Hoare
(1983) menekankan perlunya peningkatan tata laksana peternakan dalam usaha mencegah kejadian mastitis, serta tindakan pengobatan yang terinfeksi.

2.      Pengobatan.

Lay dan Hastowo (2000) menyatakan bahwa sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap penicillin disebabkan oleh adanya β- laktamase yang akan menguraikan cincin β- laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan : Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol.
            Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan (Swartz, 2006)
            Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin (Sori et al., 2005)
Pengobatan staphylococcalmastitis pada umumnya lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan streptococcalmostitis dan mastitis oleh scbab infeksi bakteri lainnya. Hal ini disebabkan Staphylococcus sebagai agen penyebab staphylococcalmastitis melekat pada pusat peradangan di dalam jaringan ambing (Anderson, 1982). Kegagalan pengobatan staphylococcalmastitis dengan menggunakan penicilin sering dialami. Hal ini disebabkan sifat reistensi daripada Staphylococcus terhadap antibiotik tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh He Donald dan Anderson (1981) di India mengenai resistensi Staphylococcus terhadap penicilin. Kegagalan pengobatan staphylococalmastitis dengan menggunakan penicilin meneapai 11 % dari sejumlah kasus staphylococcalmastitis yang diamati. Sedangkan di Canada kegagalan pengobatan staphylococcalmastitis dengan menggunakan penicilin mencapai 15 % (Seddon, 1965).

Blood dan Henderosn (1963) dan Seddon (1965) mencatat kegagalan pengobatan staphylococcalmastitis dengan menggunakan penicilin disebabkan beberapa strain S. aureus sebagai penyebab staphylococcalmastitis mampu memproduksi enzim penicilinase yang dapat menginaktifkan penicilin. Untuk mengatasi hal ini Hwakipesile, Holmes dan Hoore (1983) telah menggunakan claxacillin yaitu preparat penicilin semi sintetik untuk pengobatan staphylococcalmastitis kronis.

Dari hasil penelian Hamidjojo (1984) dinyatakan bahwa kombinasi claxacillin dan ampicillin dapat menghilangkan infeksi pada kuartir yang menderita staphylococcalmastitis subklinis, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah se1 somatik per ml susu yang diperiksa. Penggunaan novobiosin atau orbensin pada awal kejadian staphylococcalmastitis dapat mencapai derajat penyembuhan 60 - 80 % .












DAFTAR PUSTAKA DARI JOURNAL YANG DI BAHAS


Anonimus. 1982. Pedoman pengendalian penyakit hewan menular. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan Departernen Pertanian. Jakarta.

Anderson, J. C. 1982. Progressive pathology of staphylococcalmastitis with a note on control, immunisation and therapy. The Vet. Recrd 17: 372 - 376.

Blood, D.C and J.A. Henderson. 1963. ne. 3th ed. Bailliere Tindall. London.

Buchanan, H.E: and N.E:. Gibbon. 197'5. Determinative  bacteriology. 8th
and Wilkins Company. Hal timore. Veterinary mediciLondon. Bergey's manual of ed. '1'he 'Williams

Brown. R.W and R.K. Sherer. 1978. Classification dermidis and Micrococcus strain isolated from milk. Am. J. Vet. Hes. 39 C:» '167 - '171.
of fl. Epibovine Blobel, Hand T. Scheliesser. 1980. riellen Infektionen bei'rieren. lag. Stuttgart. New York.

Brown, R.W. 1983. Biotypes of .8,. epidermidis and micrococcus organisms, isolated from intramammary infection, reclassified into spesies of the Renus Staphylococcus. Cornell Vet. '13: 109 - 116.

Cowan, S.T and K.J. Stael. 1973. cation of medical bacteria. Press, London.
Manual of the identifiCambridge University Cottral, G. E. 1978. Hanual of standardized methods for Veterinary microbiology. Comstock publishing associated a divisi of Cornell University Press London.

DeVries, L.A. 1979. identification of clumping faktor negative Staphylococci isolated from cow's udder. Res. in Vet. Sci. 27: 313 - 320.
Forbes, D. 1969. The pathogenesis of bovine mastitis. '1'he vet. Bull. 39 (8) : 529 - 539.

Mc Donald, J.S and A.J. Anderson. 1981. Antibiotic sensitivity of  S. aureus and coagulase negative Staphylococcus isolated from infected bovine mammary gland. Cornell Vet. 71: 391 - 396.

Mc Clure, T.J.; K.L. Hughes; A.E. Dowell; S.M. l'1urphy and E. Joyce. 1966. Mastitis in dairy cattle in the moss vale district of New South Wales. Aust.
Vet. J. 42: 194 - 198.

Mc Donald, J.S. 1975.study of the teat periodes. Am. J. Radiographic method for anatomic canal: changes between milking of Vet. Res. 36(8): 1241 - 1242.

Mwakipesile, S.M; C.W Holmes and Y.F. Moore. 1983. Antibiotic therapy for subclinical mastitis in early lactations; Effects on infection, somatic cell count and milk production. New Zealand. Vet. J. 31: 192- 195.

Wikantadi, B. 1978. Biologi Laktasi. Bagian Ternak Perah, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
.
SUMBER LAIN DARI ARTIKEL :

Comments

Popular posts from this blog

KANDUNGAN NUTRISI BAHAN PAKAN UNGGAS

PENGOLAHAN HASIL IKUTAN TERNAK

PROSES PEMBUATAN SUSU KENTAL MANIS