THE INFLUENCE OF THE PROPORTION OF THE DISTRIBUTION OF FEED IN THE MORNING, AFTERNOON, AND NIGHT TOWARD PHYSIOLOGICAL AND PRODUCTION RESPONCE OF SIMENTAL CATTLE GRADE

#SAPI POTONG #PERANAKAN SIMENTAL # HEAT STESS #STRES PANAS #CARA MENGATASI #EKSPERIMEN #PROPORSI RANSUM #JUMLAH KONSUMSI
1.      PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang dan Masalah
Peternakan di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat.  Perkembangan tersebut diiringi pula dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan daging sebagai salah satu sumber protein.  Pemenuhan akan daging mempunyai prospek usaha yang baik.  Menurut Simatupang et al. (1995), usaha ternak sapi potong berpotensi untuk dikembangkankarena sapi potong merupakanpenyumbang daging terbesar terhadap produksi daging nasional.

Usaha yang dilakukan untuk menghasilkan daging adalah melalui program
penggemukan.Menurut Parakkasi (1983), keberhasilan suatu usaha peternakan sapi potong ditentukan oleh faktor genetik (30%) maupun lingkungan (70%).Ransum merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting diperhatikan, hal ini dikarenakan biaya ransum merupakanbiaya tertinggi yaitu kurang lebih 65% total biaya produksi (Huitema, 1986).

Salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan usaha penggemukan sapi adalah dengan melakukan efisiensi ransum.  Ransum yang dalam penggunaannya efisien terhadap produksi ternak akan menurunkan nilai konversi ransum, untuk itu manajemen ransum yang tepat perlu diperhatikan peternak.


Pemberian ransum pada pemeliharaan sapi yang dikandangkan dapat dilakukan secaratidak terbatas yaitu diberikan dalam jumlah yang selalu tersedia dan juga dapat diberikan dalam bentuk dibatasi.  Pemberianransumtidak terbatassering mengakibatkankonsumsiransum menjadi berlebih.Konsumsi ransum yang berlebih dapat mengurangi daya cerna saluran pencernaan sehingga mengakibatkan konversi ransum meningkat, selain itu juga akan mengakibatkan kelebihan energi.  Kelebihan energi yang dikonsumsi ternak akandisimpan dalam bentuk lemak yang terakumulasi dalam lemak abdominal (Santosa, 2002).  Daging sapi yang memiliki kandungan lemak tinggi akan menurunkan harga jual karena kurang disukai konsumen.

Pembatasan ransum dalam bentuk dibatasi dengan memperhatikan kebutuhan kandungan nutrisi, dan jumlah yang memenuhi kebutuhan fisiologis, reproduksi dan produksi ternak diharapkan akan meningkatkan efisiensi ransum.Frekuensi pemberian ransum dapat dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pagi, siang, dan malam.  Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan proporsi pemberian ransum adalah suhu lingkungan, sebagaimana menurut National Research Council/NRC (1987), pengaruh suhu terhadap konsumsi ransum sangatlah nyata.

Menurut Yani dan Purwanto (2005), tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari mencapai 34ºCSuhu di Indonesia mencapai optimum 28—34 ºC di siang hari dan suhu di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung berkisar antara 23—33ºC (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika/BMKG, 2014).Menurut Aksi Agraris Kanisius/AKK (1991), pada bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) keadaan ini tidak akan menimbulkan gangguan yang berat (stres), tetapi bangsa-bangsa sapi eropa yang dipelihara di Indonesia tentu dapat mengalami masalah tersendiri seperti stres panas.

Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan ternak berusaha mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan relatif konstan antara lain melalui peningkatan frekuensi pernafasan dan jumlah konsumsi air minum serta menurunkan konsumsi ransum.  Akibatnya, pertumbuhan ternak menjadi lambat dan produksi menjadi rendah (Miller et al., 1993).

Menurut Dahlen dan Stoltenow (2012), proses pencernaan secara normal akan menghasilkan panas pada tubuh sapi.  Manajemen pemberian ransum dengan jumlah sedikit di siang hari dan porsi yang lebih besar pada sore hingga malam hari dapat menghindari potensi stres panas pada sapi, selain itu proses fermentasi di dalam rumen berlangsung lebih baik selama suhu dingin di malam hari.  Oleh karena itu penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam hariterhadap respon fisiologis dan produksi sapi potong.

1.2  Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:
1.      mengetahui pengaruh proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam, terhadap fisiologis yang meliputi frekuensi pernafasan, frekuensi denyut jantung, dan suhu tubuh;
2.      mengetahui pengaruh proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam, terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh harian, dan konversi ransumsapi Peranakan Simental;
3.      menentukan proporsi pemberian ransum yang tepat dalam manajemen pemeliharaan sapi Peranakan Simental.

1.3  Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proporsi pemberian ransum dalam manajemen pemeliharaan sapi potong yang memberikan respon fisiologis dan produksi terbaik.

1.4  Kerangka Pemikiran

Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia,akan tetapi produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah.

Produktifitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik (30%) dan lingkungan (70%) (Parakkasi, 1983).  Manajemen pemberian ransum merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting diperhatikan, karena sebaik apapun kualitas ransum tanpa manajemen yang baik akan menghasilkan produktifitas yang tidak optimal.

Usaha penggemukan sapi potong biasanya menerapkan manajemen pemberian ransum secara tidak dibatasi dan jugadibatasi (Santosa, 2002).  Pemberian ransum secara tidak dibatasi akan meningkatkan konsumsi ransum dan mempercepat masa tempo dan irama penyimpanan rumen.  Tempo dan irama penyimpanan rumen akan mempengaruhi tingkat kemampuan penguraian ransum dalam rumen (Sampurna, 2012).

Pengaruhtempo dan penyimpanan rumen terhadap tingkat kemampuan penguraian ransum dalam rumen disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1.  Tempo dan irama penyimpanan rumen terhadap tingkat kemampuan
penguraian ransum dalam rumen(Dairy Research & Technology
                   Centre, University of Alabama dalam Sampurna, 2012).

Nilai pelepasan dari ransum tidak konstan, tetapi akan berubah-ubah seiring dengan tingkat asupan ransum. Penguraian ransum sangat tergantung pada dua hal, yaitu sifat alamiah bahan ransum dan lamanya bahan tersebut di dalam rumen.Ketika  asupan ransumdan kecepatan perjalanan ransumdari rumen meningkat, lama penyimpanan bahan dalam rumen dan penguraian oleh mikroba akan berkurang (Sampurna, 2012). 

Pembatasan pemberian ransum yang sesuai jumlah kebutuhannya diharapkan dapat menghasilkan respon yang baik terhadap produktifitas maupun fisiologis sapi potong, sebagaimana menurut Nuswantara (2002), sapi dengan pemberian ransum konsentrat yang dibatasi meningkatkan jumlah bakteri dan protozoa, terutama bakteri selulolitik di dalam rumen.
Frekuensi pemberian hijauan dan konsentratpada sapi potong minimal adalah 2 kali sehari (Sugeng, 1996).  Semakin sering frekuensi ransum akan semakin meningkatkan konsumsi ransum (Purbowati et al., 2003).  Frekuensi pemberian ransum pada umumnya dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pagi, siang, dan malam hari.  Penentuan proporsi pemberian ransum untuk pemeliharaan sapi di daerah tropis perlu memperhatikan kondisi lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi konsumsi ransumadalah suhu (NRC, 1987),terutama pada bangsa-bangsa sapi yang mudah stres terhadap panas dan memerlukan penanganan yang tepat.

Sapi  peranakan Simental adalah salah satu bangsa sapi yang banyak diternakkan di Indonesia. Sapi Simental merupakan bangsa Bos taurus (Fikar dan Ruhyadi, 2010).  Menurut Huitema (1986), sapi mempunyai kelenjar keringat yang berfungsi dan berkembang lebih baik dan lebih banyak pada Bos indicus dari pada Bos taurus sehingga jenis Bos taurus lebih mudah stres terhadap panas.

Konsumsi bahan kering yang optimum pada sapi potong menurut NRC (1987) adalah pada temperatur lingkungan 15—250C, apabila peningkatan suhu maupun pada suhu yang lebih rendah akan menyebabkan fisiologis dan metabolisme ternak terganggu, produktifitas tidak optimum, dan konversi ransum meningkat.

Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari mencapai 34ºC (Yani dan Purwanto, 2005), hal ini dapat menyebabkan ternak mudah mengalamistres panas.Semakin tinggi level ransum yang diberikan, maka energi yang dikonsumsi semakin tinggi yang berakibat pada meningkatnya panas yang diproduksi dari dalam tubuh, akibat tingginya proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh dan ditambah lagi pengaruh panas lingkungan (Frandson, 1992). 
Secara fisiologis, suhu tubuh sapi akan meningkat hingga 1,5—2ºC pada saat setelah makan (Kelly, 1984).

Dewell (2010) mengatakan bahwa puncak produksi panas dari konsumsi ransum adalah 4—6 jam setelah makan.  Oleh karena itu produksi panas dari konsumsi ternak di pagi hari akan mencapai puncaknya pada tengah hari ketika suhu lingkungan juga meningkat.  Lunn (2010) mengatakan bahwa sapi yang mengkonsumsi ransum lebih banyak di malam hari dan sedikit di siang hari dapat membantu mengurangi produksi panas metabolik pada suhu tinggi di siang hari.

Pemberian ransum yang lebih banyak pada pagi dan siang hari tidak efisien dilakukan karena akan memicu terjadinya stres panas (Dahlen dan Stoltenow, 2012).  Stres panas pada ternak mengakibatkan temak mengalami gangguan fungsi fisiologis(Mader et al., 2006).  Keadaan fisiologis ternak yang terganggu akan menyebabkan produktifitas ternak juga ikut terganggu (Murtidjo, 1992), untuk meminimalkan gangguan tersebut dapat dilakukan dengan cara menentukan proporsi pemberian ransum. 

Ransum yang diberikan pada ternak dalam proporsi yang berbeda akan menyebabkan kondisi fisiologis seperti suhu tubuh (panas tubuh), denyut nadi, dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses fermentasi atau metabolisme yang terjadi dalam tubuh, perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap respon produksi suatu ternak (McDowell, 1972).

1.5  Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam akan mempengaruhi fisiologis sapi Peranakan Simental, seperti frekuensi pernafasan, frekuensi denyut jantung, dan suhu tubuh;
2.      proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam akan mempengaruhi tingkat konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh harian, dan konversi ransum sapi Peranakan Simental;
3.      adanya proporsi pemberian ransum yang terbaik terhadap respon fisiologis dan produksi sapi Peranakan Simental.
II.  TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Sapi Potong
Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging.  Sapi pedaging memiliki ciri-ciri seperti tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya maksimum, laju pertumbuhan cepat, cepat mencapai  dewasa, dan efisiensiransumnyatinggi (Haryanti, 2009).Menurut Blakelydan David (1992), tujuan pemeliharaan sapi potongadalah untuk digemukkan, sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong.

Menurut Stiadi (2011), kriteria pemilihan sapi potong yang baik adalah sapi dengan jenis kelamin jantan karena sapi jantan akan mengalami pertumbuhan
yang relatif cepat dibandingkan dengan sapi betina, umur sapi sebaiknya 1— 2 tahun karena pada usia tersebut sapi mengalami laju pertumbuhan yang tinggi, mata bersinar, kulit lentur, sehat, nafsu makan baik, bentuk badan persegi panjang, dada lebar dan dalam, temperamen tenang, dari bangsa yang mudah beradaptasi dan berasal dari keturunan genetik yang baik.




2.2Sapi Peranakan Simental

Menurut Fikar dan Ruhyadi (2010), sapi Simental adalah bangsa Bos taurus, berasal dari daerah Simme di negara Switzerland.  Tubuh sapi Simental berwarna kuning sampai merah, sedangkan bagian muka, dada, dan rambut ekor berwarna putih serta tidak memiliki tanduk.  Sapi Simental secara genetik adalah sapi potong yang berasal dari wilayah beriklim dingin, merupakan sapi tipe besar, mempunyai volume rumen yang besar, kemampuan menambah konsumsi diluar kebutuhan yang sebenarnya yang tinggi, dan laju metabolisme yang cepat, sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yang lebih teratur.

Sapi Simental murni sulit ditemukan di Indonesia.  Kebanyakan sapi yang ada di Indonesia merupakan sapi Peranakan Simental.  Menurut Haryanti (2009), sapi Peranakan Simental merupakan bangsa sapi persilangan dengan pertambahan bobot badan berkisar antara 0,6 sampai 1,5 kg per hari.

2.3 Suhu dan Konsumsi Ransum

Kebutuhan ternak akan zat gizi terdiri atas kebutuhan hidup pokok dan produksinya.   Zat-zat dalam ransum hendaknya tersedia dalam jumlah yang cukup dan seimbang karena sangat berpengaruh terhadap daya cerna.  Kebutuhan konsumsi ransum pada sapi potong dalam bahan kering sebanyak3—4% dari bobot badannya (Tillman et al., 1991).  Bahan kering (BK) adalah bahan yang terkandung di dalam ransum setelah dihilangkan airnya.  Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi BK berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999).
Masyurin et al.(2013)menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor internal (kondisi ternak itu sendiri) dan faktor eksternal (lingkungan) seperti palatabilitas ransum, sistem tempat, dan pemberian ransum serta kepadatan kandang.Dahlen dan Stoltenow (2012), mengatakan bahwa pada saat suhu lingkungan naik, maka ternak menggunakan energi berlebih, dan menyebabkan konsumsi ransum menurun. 

Muthalib (2002) menyatakan bahwa suhu lingkungan dapat mempengaruhi suhu tubuh ternak, kegiatan merumput (makan), selain itu ternak yang terkena suhu tinggi akan lebih banyak minum dan mengurangi makan karena untuk mengatur suhu tubuhnya, sehingga efisiensi ransum jadi menurun serta mengganggu aktifitas organ-organ tubuh.Webster dan Wilson (1980) melaporkan bahwa sapi membutuhkan zona nyaman,  yaitu temperatur lingkungan yang nyaman untuk melancarkan fungsi dalam proses fisiologis ternak yang tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa zona nyamanuntuk sapi dari daerah tropis adalah antara
22–30oC, sedangkan untuk sapi daerah sedang adalah 13–25oC.

Menurut AKK (1991), daerah tropis seperti di Indonesia ini suhu udaranya relatif lebih tinggi, sehingga sangat berpengaruh terhadap kehidupan ternak sapi.  Bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) hal ini tidak akan menimbulkan gangguan yang berat (stres), tetapi bangsa-bangsa sapi eropa yang dipelihara di Indonesia tentu akan menimbulkan persoalan sendiri.  Murtidjo (1992) mengatakan bahwa iklim tropis dan pengaruhnya sangatlah kompleks.  Pendekatan melalui teknologi sangatlah penting dalam usaha pengendalian,agar ternak tidak mengalami hambatan yang kronis.
Menurut  Wijayanti et al. (2011),  daerah tropis memiliki suhu yang lebih tinggi pada siang hari dibandingkan pada malam hari, sedangkan suhu pemeliharaan ideal untuk sapi potong berkisar antara 17—27º C dengan kelembaban 60—80%.  Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari mencapai 34ºC yang dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh, sehingga ternak mengalami cekaman panas.  Menurut NRC (1987), pengaruh suhu terhadap konsumsi ransumsangatlah nyata, dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.  Pengaruh temperatur (oC) terhadap konsumsi ransum (%)
                   (NRC, 1987).


Menurut  Willimsom dan Payne (1993), produksi panas dari pencernaan yang variasinya tergantung pada sistem pencernaan ternak, jumlah dan kualitas makanan yang dimakan.  Hasil penelitian pada kamar iklim menunjukkan bahwa suhu lingkungan tinggi menurunkan konsumsi ransum semua jenis sapi, tetapi konsumsi ransum pada sapi dari jenis Bos taurus turun lebih rendah dibandingkan dengan sapi jenis Bos indicus.  Pengaruh suhu yang tinggi sangat besar di mana pengambilan makanan dan memamah biak akan terhenti pada sapi jenis Bos taurus begitu suhu naik di atas 40oC.Naiknya kelembaban pada suhu lingkungan di atas 23,9oC juga menurunkan konsumsi ransumsemua jenis sapi. Sedangkan naiknya stres akibat radiasi menurunkan konsumsi ransumpada sapi Bos taurus, tetapi tidak sapi Bos Indicus.  Pengaruh naikya tingkat radiasi matahari akan menaikan konsumsi air.  Hal ini disebabkan ternak memerlukan lebih banyak air untuk pendinginan tubuh secara penguapan.

Stres panas dapat menurunkan konsumsi ransum oleh sapi.  Penurunan konsumsi ransummerupakan salah satu respon ternak mengurangi stres panas (Hann, 1999) disebabkan produksi panas metabolik sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum (Young et al., 1997).  Penurunan konsumsi ransum saat stres panas bisa juga terjadi karena efek negatif langsung kenaikan suhu tubuh oleh kelenjar appetite di hypotalamus (Baile dan Forbes, 1974).

2.4 Produksi Panas Metabolis                                 

Menurut Williamson dan Payne (1993), ternak domestik harus harus mempertahankan keseimbangan antara panas yang diprosuksi oleh tubuh atau panas yang didapat dari lingkungannya dengan panas yang hilang ke lingkungannya.  Produksi panas metabolis tergantung dari produksi panas basal untuk mempertahankan proses-proses tubuh, produksi panas dari pencernaan yang variasinya tergantung pada sistem pencernaan ternak, jumlah, dan kualitas makanan yang dimakan, selain itu juga dipengaruhi oleh produksi panas dari otot dan naiknya metabolisme untuk produksi.Menurut Huitema (1986), terdapat perbedaan dalam metabolisme basal diantara bangsa-bangsa sapi.  Sapi Bos indicus mempunyai metabolisme basal yang lebih rendah dari pada sapi Bos taurus.

Produksi panas metabolisme basal berkaitan erat dengan luas permukaan tubuh,  yang makin besar dengan bertambah kecilnya ukuran ternak.  Pada suhu sekitar  yang lebih tinggi dari suhu tubuh, melalui permukaan tubuh ternak menerima panas lingkungan secara radiasi, konduksi dan konveksi.  Oleh karena itu, makin kecil ukuran tubuh ternak makin besar beban panas dan cekaman panas yang  diderita oleh tubuh ternak selama berada dalam lingkungan yang panas
(Arifinet al.,2013).

Pada daerah tropis, kebutuhan energi akan lebih tinggi dibandingkan di daerah subtropis, karena kualitas ransum yang pada umumnya relatif lebih rendah.  Ransum berkualitas rendah menyebabkan produksi panas metabolismeyang lebih tinggi, dan mengakibatkan efisiensi ransum yang lebih rendah. Produksi panas metabolismeadalah energi yang dikeluarkan ternak untuk proses pencernaan ransum di dalam saluran cerna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan energi untuk hidup pokok ternak di daerah tropis sekitar 30%  lebih tinggi dibandingkan di  daerah subtropis (Haryanto, 2012).

Semakin tinggi level ransumyang diberikan, maka energi yang dikonsumsi semakin tinggi yang berakibat pada meningkatnya panas yang diproduksi dari dalam tubuh.  Akibat tingginya proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh  dan ditambah lagi pengaruh panas lingkungan, halini dapat menyebabkan ternak  mudah mengalami stres.Kondisi tersebut menyebabkan ternak akan selalu berupaya mempertahankan temperatur tubuhnya padakisaran yang normal,  dengan cara melakukan mekanismetermoregulasi (Frandson, 1992)


2.5 Manajemen Pemberian Ransum

2.5.1 Metode pemberian ransum

Pemberian ransum hendaknya mencukupi kebutuhan zat gizi bagi ternak sapi dan lebih efisien agar tidak menimbulkan kerugian.  Pemberian ransum tidak dimaksudkan kenyang, sehingga alat pencernaan terisi penuh, tetapi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat ransum baik untuk hidup pokok maupun untuk produksi.  Agar sapi dapat berproduksi dengan baik, maka frekuensi, dan waktu pemberian ransum harus tepat (Nuswantara, 2002).

Pemberian ransum pada sapi potong dapat dilakukan secara tidak dibatasi dan dibatasi.  Pemberian secara tidak dibatasi sering kali tidak efisien karena akan menyebabkan bahan ransum banyak terbuang dan ransum yang tersisa menjadi busuk sehingga ditumbuhi jamur yang akan membahayakan ternak bila termakan(Santosa, 2002).Sapi dengan pemberian ransum konsentrat yang dibatasi akan meningkatkan jumlah bakteri dan protozoa, terutama bakteri selulolitik di dalam rumen(Nuswantara, 2002).Blakely dan Bade (1992) menyatakan bahwa pemberian konsentrat dapat dicampur sekaligus dengan hijauan sebagai ransum lengkap.

2.5.2  Frekuensi pemberian ransum


Pertambahan bobot badan yang cepat dan efisien pada sapi potongdilakukan dengan memperhatikansemua makanan yang  diberikan.  Keberhasilan dalam usaha penggemukan sapi potong perlu menjalankan panca usaha ternak, yaitu meliputi: bibit, makanan, tata laksana, kandang, dan kesehatan(Reksodiprojo, 1984).  Frekuensi pemberian ransum akan mempengaruhi tingkat konsumsi ransum dan kualitas ransum yang dikonsumsi ternak.  Semakin sering frekuensi ransum akan semakin meningkatkan konsumsi ransum (Purbowati et al., 2003).  Frekuensi pemberian ransum minimal adalah 2 kali sehari, yaitu pemberian hijauan dan pemberian konsentrat 3% dari berat badan per hari (Sugeng, 1996)

2.5.3 Proporsi pemberianransum

Dewell  (2010) mengatakan bahwa puncak produksi panas dari konsumsi ransum adalah 4—6 jam setelah makan.  Oleh karena itu panas produksi ternak makan di pagi hari akan mencapai puncaknya pada tengah hari ketika suhu lingkungan juga meningkat.

Pengaruh langsung dari temperatur dan kelembaban terhadap produksi disebabkan meningkatnya kebutuhan sistem tubuh untuk menghilangkan kelebihanbeban panas, pengurangan laju metabolik, dan menyusutnya konsumsi ransum (Rumentor, 2003).   Upayapengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi antara lain berteduh, mengurangi konsumsi ransum, memperbanyak  minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin(Churng, 2002).
Pengaturan waktu pemberian ransum akan bermanfaat selama periode cuaca panas, guna menghindari stres panas pada ternak.  Pengurangan kuantitas ransum di pagi dan siang hari dimana kondisi cuaca panas dan ternak cendrung mengurangi konsumsi ransum dan menambah kuantitas ransum yang diberikan di malam hari saat temperatur lingkungan turun dan ternak cendrung mengkonsumsi banyak ransum (Gaughan dan Mader,1997).Sapi yang mengkonsumsi ransum lebih banyak di malam hari dan sedikit di siang hari dapat membantu mengurangi produksi panas metabolik pada suhu tinggi di siang hari (Lunn, 2010). 

Menurut Dahlen dan Stoltenow (2012), proses pencernaan secara normal akan menghasilkan panas pada tubuh sapi.  Manajemen pemberian ransum dengan jumlah sedikit di siang hari dan porsi yang lebih besar pada sore hingga malam hari dapat menghindari potensi stres panas pada sapi, selain itu proses fermentasi di dalam rumen berlangsung lebih baik selama suhu dingin di malam hari.

Menurut Frandson (1992), pada malam hari saat suhu lingkungan rendah maka aktivitas dari kelenjar tiroid dapat menghasilkan tiroksin secara maksimal.  Fungsi utama hormon tiroksin untuk meningkatkan metabolisme dan penyerapan zat-zat nutrisi yang akan meningkatkan absorbsi makanan, dengan demikian laju pertumbuhan akan meningkat.  Pada siang hari suhu lingkungan tinggi, kelenjar tiroid tidak menghasilkan tiroksin secara maksimal yang akan menurunkan laju pertumbuhan.




2.6KonversiRansum

Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi berdasarkan bahan kering dan pertambahan bobot tubuh dalam interval waktu yang sama (Usman et al., 2013).  Menurut Maddock dan Lamb (2009), pengukuran yang paling umum dari efisiensi ransumadalah konversi ransum (FCR).  Konversi ransummerupakan ukuran kotor efisiensi ransum dan paling sering digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi biaya produksi. Nilai FCR yang lebih rendah akan memberikan keuntungan yang lebih besar pada peternak.  Nilai konversi ransum(FCR) yang baik menurut Siregar (2001) adalah 8,56—13,29 dan efisiensi penggunaan ransum untuk sapi berkisar 7,52—11,29% .

2.7Fisiologis Ternak

Stres panas pada ternak mengakibatkan temak mengalami gangguan fungsi  fisiologis dan penurunan imunitas (Maderet al., 2006).  Menurut Murtidjo (1992), perubahan lingkungan terutama perubahan suhu memungkinkan reaksi fisiologis ternak mengarah pada proses penyesuaian.  Pemberian ransum yang tinggi pada siang hari dapat meningkatkan suplai produksi panas dari pencernaan yang menyebabkan ternak mudah stres dan produksi terganggu.

Esmay dan Dixon (1986),menyatakan bahwa ternak akan melakukan respon  fisiologis terhadap lingkungan eksternal untuk mempertahankan temperatur tubuhnya.Menurut Amakiri dan Funsho (1979),suhu tubuh dan frekuensi pernafasan merupakan parameter dasar yang dipakai untuk menduga daya adaptasi ternak.
Ransumyang diberikan pada ternak dalam level yang berbeda akan menyebabkan kondisi fisiologis seperti suhu tubuh (panas tubuh), denyut  nadi dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses fermentasi atau metabolisme yang  terjadi dalam tubuh. Perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap respon produksi suatu ternak (McDowell, 1972).

2.7.1Frekuensi pernafasan      

Frekuensi pernafasan merupakanupaya ternak untuk mengurangi panas tubuh yang disebabkan oleh lingkungan (Arifin et al., 2013).  Frekuensi pernafasan setiap menit untuk setiap ternak tidak sama. Pada sapi dewasa berkisar antara 12—16 kali setiap menit, sedangkan pada sapi muda 27—37 kali per menit (Akoso, 1996).  Kecepatan pernafasan pada ternak sapi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.  Kecepatan pernafasan (per menit) pada sapi berbagai umur.

Kriteria
Kecepatan Pernafasan
(kali per menit)
Pedet (umur beberapa hari)
56
Pedet (umur 2 bulan)
37
Pedet (umur 6 bulan)
30
Sapi (muda—1tahun)
27
Sapi (dewasa)
12—16
Sapi (tua)
12—16

Sumber:  Akosoet al. (1991).

Laju respirasi yang tinggi merupakan salah satu mekanisme pelepasan beban panas yang diproduksi tubuh dengan proses evaporasi (Yousef, 1985).   Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, gangguan saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly, 1984).  Hasil penelitian Widodo et al. (2013)menunjukkan bahwa frekuensi pernafasan sebelum diberi konsentrat lebih rendah dibanding dengan setelah pemberian konsentrat.

Hewan yang menunjukkan suhu tubuh lebih tinggi dari yang normal, menyebabkan kecepatan pernafasan yang tinggi, yang dimaksudkan untuk menjaga agar suhu tubuh tetap rendah tetapi sesungguhnya memerlukan energi yang banyak karena hewan harus bekerja sangat berat. Kecepatan pernafasan meningkat adalah suatu tanda cekaman panas.Terdapat beberapa laporan yang menunjukkan bahwa sapi mempunyai kelenjar keringat yang berfungsi dan berkembang lebih baik dan lebih banyak pada Bos indicus dari pada Bos taurus sehingga jenis Bos taurus lebih mudah stres terhadap panas (Huitema, 1986).

2.7.2  Frekuensi denyut jantung

Menurut Churng (2002), frekuensi jantung adalah banyaknya denyut jantung dalam satu menit. Pengamatan terhadap frekuensi jantung pada ruminansia besar (seperti sapi) dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri. Pulsus hewan dapat dirasakan dengan menempelkan tangan pada pembuluh darah arteri coccygeal di bawah ekor bagian tengah sekitar 10 cm dari anus (Kelly, 1984).Denyut nadi digunakan untuk mengetahui ketidakteraturan denyut jantung dan untuk menentukan kuat atau tidaknya denyut (Akosoet al., 1991). 
Menurut Kelly (1984), intensitas kinerja denyut jantung dipengaruhi oleh kebuntingan, melahirkan, laktasi, rangsangan, aktivitas mencerna makanan, ruminasi, dan suhu lingkungan.  Menurut Rosenberger (1979), frekuensi jantung juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktifitas fisik, dan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara.  Peningkatan frekuensi jantung disebut tachycardiadan penurunan frekuensi jantung disebut bradycardia(Akosoet al., 1991).  Peningkatan denyut  jantung  merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke  dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson, 1983).Frekuensi denyut jantung pada sapi dapat dilihat pada tabel berikut.


Tabel 2.  Frekuensi denyut jantung (per menit) pada sapi berbagai umur.
Kriteria
Frekuensi Denyut Jantung
(kali per menit)
Pedet
90—110
Pedet lepas sapih
70—90
Sapi bunting
70—90
Pejantan dewasa
60—70

Sumber:  Akosoet al. (1991).

2.7.3Suhu tubuh

Pengukuran suhu tubuh pada sapi biasanya dilakukan dengan menggunakan temometer di bagian rektum.  Penggunaan termometer mempunyai manfaat yang besar sebagai petunju hewan yang dalam keadaan sakit. Termometer biasanya terdiri dari tabung gelas berisi air raksa atau cairan lain yang mengembang bila dihangati atau dipanasi. Bila didekatkan pada suatu suhu tertentu akan mengembang dan naik keatas tabung ke suatu tingkat suhu yang tertera pada skala derajat dan sepersepuluh derajat (Akosoet al., 1991).

Menurut Willimsom dan Payne (1993), suhu tubuh ternak sapi 38,0—39,3oC. Produksi panas dari pencernaan yang variasinya tergantung pada sistem pencernaan ternak, jumlah, dan kualitas makanan yang dimakan.  Kelly (1984), mengatakan bahwa secara fisiologis, suhu tubuh akan meningkat hingga
1,5—2oC pada saat setelah makan, saat partus, terpapar suhu lingkungan yang tinggi, dan ketika hewan banyak beraktifitas fisik maupun psikis.

Monstma (1984),menyatakanbahwa suhu tubuh mamalia biasanya mengalami fluktuasi harian yaitu sekitar 1oC mencapai minimum di pagi hari dan maksimum pada siang hari.Duke’s(1995) menyatakan bahwa temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktifitas, ransum, minuman, dan pencernaan produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung tergantung pada makan diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan.Suhu tubuh sapi dalam keadaan normal dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.  Suhu rektal sapi dalam keadaan normal.
Umur Sapi
Suhu Rektal
Celsius (oC)
Fahrenheit (oF)
Pedet
39,5
103,1
Pedet (diatas 1 tahun)
38,5
101,3
                                                                                                                                                     
Sumber:Akoso et al. (1991).
III.  METODE PENELITIAN
3.1  Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada 3 Desember 2014—22 Januari 2015, bertempat di kandangKoperasi PT Gunung Madu Plantation yang berada di Gunung Batin, Lampung Tengah.  Analisis sampel ransum dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

3.2  Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1.        kandang sapi, lengkap dengan tempat makan dan minumnya untuk sapi per ekor sebanyak 12buah;
2.        timbangan digitalkapasitas 2000 kg dengan merk Sonic A12E danketelitian 0,5 kg sebanyak 1 buah yang digunakan untuk menimbangsapi;
3.        timbangan kapasitas 15 kg dengan merk Five Goatdan ketelitian 0,1 kg sebanyak 1 buah yang digunakan untuk menimbang ransum;
4.        sekop yang digunakan untuk pembuatan ransum, 2 buah;
5.        bak ukuran 15 kg yang digunakan untuk mendistribusikan ransum, 2 buah;


6.        termometer dengan merk IR thermometer dengan ketelitian ± 0,3oC atau 0,54oF yang digunakan untuk mengukur suhu tubuh sapi;
7.        thermohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, 2 buah;
8.        stetoskop digunakan untuk mengukur frekuensi denyut jantung pada sapi, 1 buah;
9.        stopwatch digunakan untuk pengukur frekuensi pernafasan dan denyut jantung, 2 buah;
10.    counter numberyang digunakan sebagai alat untuk menghitung denyut jantung dan frekuensi pernafasan, 2 buah; dan
11.    alat tulis dan kertas untuk mencatat data yang diperoleh.

3.2.2  Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Peranakan Simental jantan dewasa sebanyak 12ekor dan penggunaan ransum mengikuti ransum yang tersedia di Koperasi milik PT  Gunung Madu Plantation.Kandungan nutrisi dan komposisi ransum yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4.  Kandungan nutrisi ransum penelitian
Nutrisi
Kandungan dalam Ransum (BK)

---------------------- % ----------------------
Bahan Kering (BK)
38,44

Protein Kasar (PK)
    7,72
Lemak Kasar (LK)
    4,53
Serat Kasar (SK)
  17,56
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)
  51,59

Sumber:  Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (2015).


Tabel 5.  Komposisi ransum penelitian

Bahan Pakan
Komposisi dalam Ransum(As Feed)


------------------ (%)-------------------
Kulit singkong
29,77

Onggok
29,77

Tebon Jagung
14,89

Kulit kopi
6,73

Dedak Padi
6,91

Ellot
4,97

Bungkil Kelapa Sawit
3,54

Molases
2,97

Garam
0,19

Urea
0,18

Mineral dan Vitamin
0,08

Jumlah
100


Sumber:  Peternakan sapi Koperasi PT Gunung Madu Plantation, Lampung
    Tengah (2014—2015).

3.3  Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan empatkelompok, sehingga penelitian ini menggunakan 12 ekor sapi Peranakan Simental jantan.

Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah:
P1:  pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, dan 33,3% malamhari;
P2:  pemberian ransum 50% pagi, 25% siang, dan 25% malamhari; dan
P3:  pemberian ransum 25% pagi, 25% siang, dan 50% malamhari.

Kelompok yang diberikan dalam penelitian ini adalah:
K1:  sapi dengan berat tubuh 400—420 kg;
K2:  sapi dengan berat tubuh  380—399 kg;
K3:  sapi dengan berat tubuh 360—379 kg; dan
K4:  sapi dengan berat tubuh 330—359 kg.
Prosedur perlakuan yang diberikan adalah dengan frekuensi pemberian ransum tiga kali sehari, yaitu pada pagi hari pukul 07.00; siang hari pukul 13.00; dan malam hari pukul 19.00 WIB.Proporsi pemberian ransum mengikuti perlakuan penelitian dan pemberian air minum secara tidak dibatasi untuk semua perlakuan.

3.4  Pelaksanaan Penelitian

3.4.1  Persiapan penelitian

Pada tahap persiapan penelitian ini diawali dengan membersihkan kandang, peralatan dan lingkungan sekitar kandang, kemudian melakukan pengelompokkan terhadap 12ekor sapi Peranakan Simental jantan menjadi 4 kelompok berdasarkan ketentuan bobot tubuh kelompok yang ditetapkan, sehingga dalam setiap kelompoknya terdiri atas 3 ekor sapi. Sapi-sapi dari masing-masing kelompok kemudian dipilih secara acak untuk memperoleh perlakuan, kemudian dimasukkan ke dalam kandang sesuai dengan rancangan percobaan dan tata letak yang telah ditentukan, sehingga setiap perlakuan terdiri atas 4 ekor sapi.  Sebelum pelaksanaan penelitian, dilakukan masa pra penelitian selama 3 minggu yang bertujan agar sapi yang digunakan dalam penelitian dapat beradaptasi dengan lingkungan dan perlakuan yang diberikan. 

3.4.2  Pelaksanaan penelitian

Setelah sapi melalui masa pra penelitian, dilakuan penimbangan bobot tubuh sebagai bobot awal (W0) perlakuan dan penimbangan sapi selanjutnya setelah 4 minggu berikutnya sebagai bobot akhir (W1).  Penimbangan ransum dilakukan setiap hari sebelum pemberian ransum dan penimbangan ransum sisa sebelum pemberian ransum berikutnya.  Pemberian air minum secara tidak dibatasidan dilakukan pencatatan kondisi lingkungan yaitu suhudan kelembaban kandangsetiap harinya.

3.5  Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah fisiologis ternak,  konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh harian, dan konversi ransum.Pengukuran fisiologis ternak (frekuensi pernafasan, frekuensi denyut jantung, dan suhu tubuh) dilakukan setiap minggu pada saat suhu lingkungan kritisyaitu pada pukul 13.30—15.00 WIB.

3.5.1  Frekunsi pernafasan

Pengamatan frekuensi pernafasan dihitung menggunakan counter number dengan  cara mengamati kembang kempis perut atau suara dari pernafasan yang timbul pada sapi selama satu menit (Arifin et al., 2013).

3.5.2Frekuensi denyut jantung

Pengamatan terhadap frekuensi jantung pada ruminansia besar (seperti sapi) hitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri (Kelly, 1984).


3.5.3  Suhu tubuh

Pengukuran suhu tubuh dilakukan menggunakan IR thermometer dengan cara menempatkan IR sensor sekitar ± 5cm dari dahi sapi kemudian menekan tombol pengukur dan mengamati angka yang tertera pada layar. 

3.5.4 Konsumsi ransum

Pengukuran konsumsi ransum (kg) dilakukan setiap hari selama perlakuan dengan cara menimbang berat ransum yang diberikan dan sisa ransum sebelum pemberian ransum berikutnya.  Konsumsi ransum harian dihitung berdasarkan bahan kering dengan cara mengurangi jumlah rasum yang diberikan (awal) dengan jumlah yang tersisa (akhir) keesokan harinya (Siregar, 1994).  Rumus menghitung konsumsi bahan kering (KBK) ransum adalah sebagai berikut:


3.5.5  Pertambahan bobot tubuh harian

Pertambahan bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan sapi digital.  Penimbangan awal (W0) dilakukan pada awal perlakuan, selanjutnya dilakukan penimbangan lagi pada akhir penelitian (W1).  Penentuan pertambahan bobot tubuh harian diperoleh dari selisih antara bobot tubuh akhir dan bobot tubuh awal, kemudian dibagi dengan jumlah hari pengkuran (Parakkasi, 1983).  Pengukuran pertambahan bobot tubuh harian (PBTH) adalah sebagai berikut:

3.5.6Konversi ransum

Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi berdasarkan bahan kering dan pertambahan bobot tubuh dalam interval waktu yang sama (Usman et al., 2013).  Rumus untuk menghitung konversi ransum adalah sebagai berikut:



3.6  Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis ragam secara statistik dengan taraf nyata 5% dan 1%Hasil analisis ragamyang diperolehkemudian dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5% dan 1% (Steel dan Torrie, 1993).
IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1    Temperatur dan Kelembapan Lingkungan
Suhu lingkungan dan kelembapan udara diukur setiap 1 jam sekali pada pukul 07.00—17.00 WIB setiap harinya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata suhu lingkungan pada siang hari adalah 29,0 ± 1,7oC dengan kelembapan 73,0 ± 1,7%(Tabel 6).

Tabel 6.  Rata-rata suhu dan kelembapan di kandang Koperasi PT Gunung Madu
Plantation, Lampung Tengah (Desember 2014—Januari 2015).

Waktu
Suhu
Kelembapan
(pukul)
(oC)
%
07.00
25,9
75,8
08.00
26,8
75,3
09.00
27,9
74,6
10.00
28,6
73,0
11.00
29,3
73,1
12.00
30,2
71,8
13.00
31,2
70,8
14.00
31,1
71,0
15.00
30,4
71,3
16.00
29,1
72,5
17.00
28,1
73,9
Rataan
29,0 ± 1,7
73,0 ± 1,7


Konsumsi bahan kering yang optimum pada sapi potong menurut NRC (1987) adalah pada temperatur lingkungan 15—25oC, apabila peningkatan suhu maupun


pada suhu yang lebih rendah akan menyebabkan fisiologis dan metabolisme ternak terganggu, produktifitas tidak optimum, dan konversi ransum meningkat.

Sapi Simental merupakan bangsa Bos taurusyang berasal dari daerah Simme di negara Switzerland yang secara genetik berasal dari wilayah beriklim dingin (Fikar dan Ruhyadi, 2010).  Daerah tropis seperti di Indonesia memilikisuhu udara yang relatif lebih tinggi,sehingga sangat berpengaruh terhadap kehidupan ternak sapi (AKK, 1991).  Menurut Huitema (1986), sapi mempunyai kelenjar keringat yang berfungsi dan berkembang lebih baik dan lebih banyak pada Bos indicus dari pada Bos taurus sehingga jenis Bos taurus lebih mudah stres terhadap panas.Willimsom dan Payne (1993) mengatakan bahwa suhu lingkungan tinggi menurunkan konsumsi ransum semua jenis sapi, tetapi konsumsi ransum pada sapi dari jenis Bos taurus turun lebih rendah dibandingkan dengan sapi jenis Bos indicus.

Webster dan Wilson (1980) melaporkan bahwa sapi membutuhkanzona nyaman  yaitu temperatur lingkungan yang nyaman untuk melancarkan fungsi dalam proses fisiologis ternak.  Menurut Yousef (1984) zona nyamanuntuk sapi dari daerah tropis adalah antara 22—30 ºC, sedangkanuntuk sapi daerah sub tropis adalah 13—25 ºC, dan sebagai hasil silangan antara sapi dari daerah sub tropis dengan sapi daerah tropis, maka diduga zona nyaman untuk sapi Peranakan Simental adalah 17—28 ºC.  Berasarkan literatur tersebut dapat diketahui bahwa suhu lingkungan kritis pada penelitian ini terjadi selama 7 jam yaitu pada pukul 10.00—17.00WIB dan puncak suhu kritis terjadi pada pukul 13.00—15.00 WIB.

4.2       Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Pernafasan
Pengamatan frekuensi pernafasan dihitung menggunakan counter number dengan  cara mengamati kembang kempis perut atau suara dari pernafasan yang timbul pada sapi selama satu menit (Arifin et al., 2013).Hasil pengamatan frekuensi pernafasan sapi Peranakan Simental jantan di saat puncak suhu lingkungan kritis pada perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).  Rata-rata frekuensi pernafasan tertinggi terdapat pada P2 yaitu 24,89± 1,64kali/menit, kemudian pada P1 yaitu 24,81± 0,55 kali/menit, dan terendah pada P3 yaitu21,63 ± 1,30kali/menit (Tabel 7).

Tabel  7. Rata-rata frekuensi pernafasan sapi Peranakan Simentaljantan selama 
penelitian.

Kelompok
Perlakuan
Jumlah
P1
P2
P3
-----------------------------------(kali/menit)---------------------------------
1
24,25
27,00
20,75
72,00
2
25,00
24,00
23,50
72,50
3
24,50
25,30
20,75
70,55
4
25,50
23,25
21,50
70,25
Jumlah
99,25
99,55
86,50
285,30
Rataan
24,81a ± 0,55
24,89a ± 1,64
21,63b ± 1,30
23,78

Keterangan:    
Nilai dengan superscriptyang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1  : Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
            P2  : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25% siang, 25% malam
            P3  : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% siang, 50% malam


Berdasarkan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%, diperoleh perlakuan terbaik yaitu pada P3.  Hal ini disebabkan oleh perlakuan tersebut memiliki frekuensi pernafasan yang lebih mendekati kisaran normal dibandingkan dengan perlakuan lainnya sebagaimana menurutEnsminger (1971) frekuensi pernafasan sapi dalam kondisi normal yaitu berkisar 10—30 kali/menit,berdasarkan literatur tersebut maka semua perlakuan masih dalam keadaan yang normal.  Namun, Akoso (1996) menegaskan bahwa frekuensi pernafasan akan menurun dengan meningkatnya umur ternak, yaitu pada sapi dewasa 12—16 kali setiap menit, sedangkan pada sapi muda 27—37 kali per menit.

Hasil penelitian ini juga menununjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Setiadi et al. (1999) bahwa pada persilangan antara sapi Simental dan Bali memiliki frekuensi pernafasan 47,42 ± 3,12 kali/menit dan menurut Irawan et al. (2012) pada sapi Peranakan Limousin yang juga merupakan salah satu jenis sapi bangsa Bos taurus(Busono et al., 2007)frekuensi pernafasan pada siang hari adalah 27,4—28,2 kali/menit.Hal ini didugakarena adanya perbedaan suhu lingkungan, dimana suhu optimum pada penelitian Irawan et al. (2012) adalah 38,67oC dengan rata-rata suhu harian 31,9oC.

Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik,kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, gangguan saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly, 1984).  Hasil penelitian Wibowo et al. (2013)menunjukkan bahwa frekuensi pernafasan sebelum diberi konsentrat lebih rendah dibanding dengan setelah pemberian konsentrat.Frekuensi pernafasan merupakanupaya ternak untuk mengurangi panas tubuh yang disebabkan oleh lingkungan (Arifin et al., 2013).  

Tingginya frekuensi pernafasan pada P1 dan P2 dibandingkan P3 (Tabel 7) diduga disebabkan proporsi pemberian ransum yang lebih tinggi di pagi dan siang hari dimana rata-rata suhu lingkungan tertinggi di daerah tropis terjadi pada siang hari (Yani dan Purwanto, 2005)yaitu mencapai rata-rata 31,2oC dengan kelembapan 70,8%(Tabel 6). Sapi yang mengkonsumsi ransum lebih banyak di malam hari dan sedikit di siang hari dapat membantu mengurangi produksi panas metabolik pada suhu tinggi di siang hari (Lunn, 2010).  Pemberian ransum yang lebih banyak pada pagi dan siang hari tidak efisien dilakukan karena akan memicu terjadinya stres panas (Dahlen dan Stoltenow, 2012).  Stres panaspada ternak mengakibatkan ternak mengalami gangguan fungsi fisiologis(Mader et al., 2006). 

Menurut Dewell (2010), puncak produksi panas dari konsumsi ransum adalah 4—6 jam setelah makan.  Oleh karena itu panas produksi ternak makan di pagi hari akan mencapai puncak pada tengah hari ketika suhu lingkungan meningkat. Menurut Frandson (1992), semakin tinggi level ransum yang diberikan, maka energi yang dikonsumsi semakin tinggi yang berakibat pada meningkatnya panas yang diproduksi dari dalam tubuh, akibat tingginya proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh dan ditambah lagi pengaruh panas lingkungan, halini dapat menyebabkan ternak mudah mengalami stres.

Ternak akanberusaha mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan relatif konstan dengan cara melakukan mekanismetermoregulasi (Frandson, 1992)antara lain melalui peningkatan frekuensi pernafasan (Milleret al., 1993; Churng, 2002). Laju respirasi yang tinggi merupakan salah satu mekanisme pelepasan beban panas yang diproduksi tubuh dengan proses evaporasi (Yousef, 1985).


4.3       Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Denyut Jantung

Pengamatan terhadap frekuensi denyut jantung dilakukan dengan cara menghitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri (Kelly, 1984).Hasil pengamatan frekuensidenyut jantung sapiPeranakan Simental jantan di saat puncak suhu lingkungan kritis pada perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).  Rata-rata frekuensi denyut jantung tertinggi terdapat pada P2 yaitu 90,13± 0,85kali/menit, kemudianpadaP1 yaitu 90,00± 0,71 kali/menit, dan terendah pada P3 yaitu 84,63 ± 4,87 kali/menit (Tabel 8).

Tabel  8. Rata-rata frekuensi denyut jantung sapi Peranakan Simentaljantan
selama penelitian.

Kelompok
Perlakuan
Jumlah
P1
P2
P3
----------------------------------(kali/menit))---------------------------------
1
90,00
91,00
78,00
259,00
2
91,00
89,00
86,50
266,50
3
89,50
90,50
89,50
269,50
4
89,50
90,00
84,50
264,00
Jumlah
360,00
360,50
338,50
1059,00
Rataan
90,00a ± 0,71
90,13a ± 0,85
84,63b ± 4,87
88,25

Keterangan:    
Nilai dengan superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1  : Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
            P2  : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25% siang, 25% malam
            P3  : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% siang, 50% malam


Berdasarkan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%, diperoleh perlakuan terbaik yaitu pada P3.  Hal ini disebabkan oleh perlakuan tersebut memiliki frekuensi denyut jantung yang lebih mendekati normal dibandingkan dengan perlakuan lainnya sebagaimana menurut Kelly (1984) dan Akoso et al. (1991) frekuensi denyut jantung normal pada sapi per menitnya adalah 55—80; atau 86,5 ± 5,62 kali/menit pada persilangan antara sapi Simmental dan Bali (Setiadi et al.,1999).

Menurut Rosenberger (1979), frekuensi jantung juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktifitas fisik, dan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembapan udara.  Kelly (1984) mengatakan bahwa kebuntingan, rangsangan, aktivitas mencerna makanan, dan ruminasi juga mempengaruhi intensitas kinerja denyut jantung.  Peningkatan denyut jantung merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson, 1983).

Perbedaan yang nyata (P<0,05) pada frekuensi denyut jantung diduga disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan, sebagaimana menurut Dahlen dan Stoltenow (2012), pemberian ransum yang lebih banyak pada pagi dan siang hari tidak efisien dilakukan karena akan memicu terjadinya stres panas.

Payne dan Cooper (1988), mengatakan bahwa stresdapat memicu pengeluaran hormon adrenalin yang tinggi serta dapat mempercepat kekejangan arteri koroner, sehingga suplai aliran darah ke otot jantung menjadi terganggu.  Fungsi jantung dipengaruhi oleh saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatisSaraf simpatis memengaruhi fungsi jantung serta pembuluh darah dan pemacunya menyebabkan naiknya frekuensi denyut jantung, bertambah kuatnya kontraksi otot jantung, dan vasokonstriksi pembuluh darah persisten.

4.4       Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Tubuh

Pengukuran suhu tubuh sapi dilakukan menggunakan IR thermometer yang dilakukan dengan menempatkan IR sensor sekitar ± 5cm dari dahi sapi.Hasil pengukuran suhu tubuh sapi Peranakan Simental jantan di saat puncak suhu lingkungan kritis menunjukkan bahwa rata-rata suhu tubuh sapi tertinggi terdapat pada P2 yaitu 38,78± 0,06oC, kemudian pada P1 yaitu 38,77±  0,13oC, dan terendah pada P3 yaitu 38,65 ± 0,10oC,namun setelah dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap suhu tubuh sapi (Tabel 9).

Tabel  9. Rata-rata suhu tubuh sapi Peranakan Simentaljantan selama
penelitian.

Kelompok
Perlakuan
Jumlah
P1
P2
P3
---------------------------------------(oC)---------------------------------------
1
38,90
38,70
38,73
116,33
2
38,85
38,75
38,60
116,20
3
38,68
38,80
38,75
116,23
4
38,63
38,85
38,53
116,01
Jumlah
155,06
155,10
154,61
464,77
Rataan
38,77a ± 0,13
38,78a ± 0,06
38,65a ± 0,11
38,73

Keterangan:    
Nilai dengan superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P>0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1  : Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
            P2  : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25% siang, 25% malam
            P3  : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% siang, 50% malam

Menurut Setiadi et al. (1999) sapi persilangan antara Simental dan Bali memiliki suhu tubuh 38,82 ± 0,35°C dan menurut Williamson dan Payne (1993), suhutubuh sapinormal adalah 38,0—39,3oC.  Berdasarkan literatur tersebut suhu tubuh sapi untuk semua perlakuan masih dalam kisaran keadaan normal.

Ternak domestik harus mempertahankan keseimbangan antara panas yang diproduksi oleh tubuh atau panas yang didapat dari lingkungannya dengan panas yang hilang ke lingkungannya (Williamson dan Payne, 1993).Kelly (1984), mengatakan bahwa secara fisiologis, suhu tubuh akan meningkat hingga 1,5—2ºC pada saat setelah makan, saat partus, terpapar suhu lingkungan yang tinggi, dan ketika hewan banyak beraktifitas fisik maupun psikis.  Duke (1995), menyatakan bahwa temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktifitas, ransum, minuman, dan pencernaan produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung tergantung pada makan diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan.

Perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05), diduga disebabkan oleh panas metabolisme yang diperoleh dari proporsi ransum perlakuan masih dapat diatasi ternak, meskipun jumlah proporsi yang berbeda dapat menghasilkan respon fisiologis berbeda (McDowell, 1972) namun ternak akanberusaha mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan relatif konstan dengan cara melakukan mekanismetermoregulasi (Frandson, 1992)antara lain melalui peningkatan frekuensi pernafasan (Milleret al., 1993; Churng, 2002) dan peningkatan denyut jantung untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson, 1983).  Dugaan ini didukung oleh hasil pengukuran frekuensi pernafasan (Tabel 7) dan frekuensi denyut jantung (Tabel 8) yang mengalami peningkatan dengan meningkatnya proporsi pemberian ransum di pagi dan siang hari. 

4.5       Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum dihitung berdasarkan bahan kering dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah yang tersisa keesokan harinya (Siregar, 1994).    Hasil pengukuran konsumsi ransum sapi Peranakan Simental jantan menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi bahan kering (BK) ransum sapi tertinggi terdapat pada P1 yaitu9,04± 0,44 kg/ekor/hari, kemudianpada P3 yaitu 9,02± 0,46 kg/ekor/hari, dan terendah pada P2 yaitu 8,81 ± 0,99 kg/ekor/hari, namun setelah dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap konsumsi BK ransum sapi (Tabel 10).

Tabel  10. Rata-rata konsumsi bahan kering (BK) ransumsapi Peranakan
   Simentaljantan selama penelitian.

Kelompok
Perlakuan
Jumlah
P1
P2
P3
------------------------------------(kg/ekor/hari)------------------------------
1
9,37
9,62
9,59
28,58
2
8,69
9,55
8,95
27,19
3
8,63
8,56
9,05
26,24
4
9,45
7,51
8,48
25,44
Jumlah
36,14
35,24
36,07
107,45
Rataan
9,04a ± 0,44
8,81a ± 0,99
9,02a ± 0,46
8,95

Keterangan:    
Nilai dengan superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P>0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1  : Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
            P2  : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25% siang, 25% malam
            P3  : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% siang, 50% malam


Bahan kering (BK) adalah bahan yang terkandung di dalam ransum setelah dihilangkan airnya.  Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi BK berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999).Kebutuhan konsumsi ransum pada sapi potong dalam bahan kering sebanyak3—4% dari bobot tubuhnya (Tillman et al., 1991).  Hasil penelitian Antonius (2009) konsumsi BK ransum sapi Peranakan Simental dengan bobot tubuh 378,25 ± 45 kg adalah 9,93 ± 0,31 kg BK/ekor/hari.  Berdasarkan literatur tersebut, hasil penelitian ini memiliki konsumsi BK ransum yang lebih lebih rendah.

Dahlen dan Stoltenow (2012), bahwa pada saat suhu lingkungan naik, maka ternak menggunakan energi berlebih, dan menyebabkan konsumsi ransum menurun.  Penurunan konsumsi ransum merupakan salah satu respon ternak mengurangi stres panas (Hann, 1999) disebabkan oleh produksi panas metabolik sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum (Young et al., 1997).  Penurunan konsumsi ransum ternak saat stres panasbisa juga terjadi karena efek negatif langsung kenaikan suhu tubuh oleh kelenjar appetite di hypotalamus (Baile dan Forbes, 1974).

Perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransumdiduga disebabkan oleh pembatasan pemberian ransum yang diharapkan dapat menghasilkan respon yang baik terhadap produktifitas maupun fisiologis sapi potong, sebagaimana menurut Nuswantara (2002), sapi dengan pemberian ransum konsentrat yang dibatasi dapatmeningkatkan jumlah bakteri dan protozoa, terutama bakteri selulolitik di dalam rumen.
4.6       Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Tubuh Harian

Penentuan pertambahan bobot tubuh harian diperoleh dari selisih antara bobot tubuh akhir dan bobot tubuh awal, kemudian dibagi dengan jumlah hari pengukuran (Parakkasi, 1983).  Hasil pengukuran pertambahan bobot tubuh harian (PBTH) sapi Peranakan Simental jantan menunjukkan bahwa rata-rata PBTH sapi tertinggi terdapat pada P3 yaitu 0,67± 0,16 kg/ekor/hari, kemudianpada P2 yaitu 0,58± 0,33 kg/ekor/hari, dan terendah pada P1 yaitu 0,55 ± 0,20 kg/ekor/hari, namun setelah dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap PBTH sapi ( Tabel 11).

Tabel 11. Rata-rata pertambahan bobot tubuh harian (PBTH) sapi Peranakan 
Simentaljantan selama penelitian.

Kelompok
Perlakuan
Jumlah
P1
P2
P3
------------------------------------(kg/ekor/hari)------------------------------
1
0,64
0,80
0,88
2,32
2
0,25
0,91
0,71
1,87
3
0,61
0,38
0,52
1,51
4
0,68
0,21
0,55
1,44
Jumlah
2,18
2,30
2,66
7,14
Rataan
0,55a ± 0,20
0,58a ± 0,33
0,67a ± 0,16
0,60

Keterangan:    
Nilai dengan superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P>0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1  : Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
            P2  : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25% siang, 25% malam
            P3  : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% siang, 50% malam

Menurut Haryanti (2009), sapi Peranakan Simental merupakan bangsa sapi persilangan dengan pertambahan bobot tubuh 0,6—1,5 kg per hari.  Berdasarkan literatur tersebut, P3 mencapai kisaran PBTH pada umumnya dibandingkan dengan perlakuan lainnya.  Hasil ini juga didukung menurut Frandson (1992), bahwa pada malam hari saat suhu lingkungan rendah maka aktivitas dari kelenjar tiroid dapat menghasilkan tiroksin secara maksimal.  Fungsi utama hormon tiroksin untuk meningkatkan metabolisme dan penyerapan zat-zat nutrisi yang akan meningkatkan absorbsi makanan, dengan demikian laju pertumbuhan akan meningkat.  Pada siang hari suhu lingkungan tinggi, kelenjar tiroid tidak menghasilkan tiroksin secara maksimal yang akan menurunkan laju pertumbuhan.

Perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05), diduga disebabkan pengaruh perlakuan yang juga tidak berbeda nyata terhadap jumlah konsumsi bahan kering ransum (Tabel 10), sehingga terdapat persamaan jumlah nutrisi yang masuk kedalam tubuh. 

4.7    Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum

Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi berdasarkan bahan kering dan pertambahan bobot tubuh dalam interval waktu yang sama (Usman et al., 2013). Hasil pengukuranmenunjukkan bahwa konversi ransumtertinggi terdapat pada P2 yaitu 20,09± 11,40, kemudianpada P1 yaitu 19,37± 10,26, dan terendah pada P3 yaitu 14,07 ± 2,90, namun setelah dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap konversi ransumsapi Peranakan Simental jantan (Tabel 12).

Tabel  12. Rata-rata konversi ransumsapi Peranakan Simentaljantan selama
       penelitian.

Kelompok
Perlakuan
Jumlah
P1
P2
P3
1
14,58
11,97
10,96
37,51
2
34,75
10,48
12,52
57,75
3
14,21
22,83
17,49
54,53
4
13,92
35,07
15,31
64,30
Jumlah
77,46
80,35
56,28
214,09
Rataan
19,37a ± 10,26
20,09a ± 11,40
14,07a ± 2,90
17,84

Keterangan:    
Nilai dengan superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P>0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1  : Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
            P2  : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25% siang, 25% malam
            P3  : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% siang, 50% malam

Nilai konversi ransum (FCR)yang baik untuk sapi potong menurut Siregar (2001) adalah 8,56—13,29.  Hasil penelitian Haryanti (2009) nilai konversi ransum sapi Peranakan Simental adalah 11,25—12,99.  Berdasarkan literatur tersebut nilai FCR yang paling mendekati kisaran normal adalah pada P3 yaitu 14,07 ± 2,90 dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Menurut Maddock dan Lamb (2009), pengukuran yang paling umum dari efisiensi ransumadalah konversi ransum.  Konversi ransummerupakan ukuran kotor efisiensi ransum dan paling sering digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi biaya produksi.

Perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) disebabkan oleh jumlah konsumsi bahan kering (BK) ransum (Tabel 10) dan juga pertambahan bobot tubuh harian (Tabel 11) yang juga tidak memberikan hasil yang berbeda nyata.
V.  SIMPULAN DAN SARAN


A.  Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1.      proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap frekuensi pernafasan dan frekuensi denyut jantung, namun tidak berpengaruhnyata (P>0,05) terhadap suhu tubuh sapi Peranakan Simental;
2.      proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam tidak berpengaruh nyata(P>0,05) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh harian, dan konversi ransum sapi Peranakan Simental;
3.      proporsi pemberian ransum yang terbaik terhadap respon fisiologis sapi adalah proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% siang dan 50% malam (P3) dan tidak ada perlakuan yang memberikan respon produksi terbaik.

B.  Saran

Saran yang diajukan penulis berdasarkan penelitian ini adalah:
1.        manajemen pemberian ransum pada usaha penggemukan sapi Peranakan Simental jantan sebaiknya menggunakan proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% malam, dan 50% malam atau dapat menggunakan proporsi yang lebih tinggi pada siang hari apabila menggunakan teknologi manipulasi iklim;
2.        penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan waktu yang lebih panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Aksi Agraris Kanisius. 1991. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius.  Yogyakarta.

Akoso, B.T., G.Tjahyowati,  dan S. Pangastoeti. 1991.  Manual untuk Paramedis Kesehatan Hewan. Food and Agriculture Organizatio of The United Nations Rome.  Edisi kedua. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.

Akoso, B.T. 1996.  Kesehatan Sapi.  Kanisius. Yogyakarta.

Amakiri, S.P., dan O.N. Funsho. 1979. Studies of rectal temperature, respiratory rates and heat tolerance in cattle in  humit tropics. Journal Animal Production. Departement of Veterinary Anatomy. Nigeria. No. 3, vol. 1,     pp. 329—335.

Anderson, B.E. 1983. Temperature Regulation and Environmental Physiology. In:  Duke’s Physiology of Domestic Animal 10th Ed. Swenson, Comstock Publishing, Association and Division of Cornell University Press. London.
Antonius.  2009. Potensi jerami padi hasil fermentasi probion sebagai bahan pakan dalam ransum sapi Simental. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Sumatra Utara.

Arifin. S., H. Nugroho, dan W. Busono.  2013. Nilai HTC (heat tolerance coefficient) pada sapi Peranakan Ongole (PO) betina dara sebelum dan sesudah pemberian konsentrat di daerah dataran rendah. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.  Malang.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2014.  Prakiraan cuaca Provinsi Lampung.http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/propinsi/10. (1 Oktober 2014).

Baile, C.A., dan Forbes,J.M.  1974.  Control of feed intake and regulation of energi balance in ruminants.Physiology Review. No. 2, vol. 54, pp. 150—214.

Blakely, J.,dan D.H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Penerjemah B.Srigandono. Penyunting Sudarsono. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.



Busono, W.  2007.  Keseimbangan Fisiologis untuk Optimasi Produksi Ternak.Fakultas  Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang.

Churng, F.L.  2002.  Feeding Management and Strategies for Lactating Dairy  Cows  Under Heat  Stress.  International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research. Hsinchu. Taiwan.

Dahlen, C.R., dan C.L. Stoltenow.  2012. Dealing with Heat Stress in Beef Cattle Operation.  North Dakota State University Fargo. North Dakota.

Dewell, G. 2010.  Heat stress in beef cattle. http://vetmed.iastate.edu/vdpam/extension/beef/current-events/heat-stress-beef-cattle. (1 Oktober 2014).

Duke’s. 1995. Physiology of Domestic Animal. Comstock  publishing.  New  Work University Collage. Amerika.

Ensminger,  M.E.  1991.  Animal Science. 9th Edition. The Interstate Printers  And  Publisher.  Inc. Deville, Illionis. USA.

Esmay, M.L. dan  J.E. Dixon. 1986.  Environmental Control for Agricultural  Buildings.  The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.

Fikar, S., dan D. Ruhyadi.  2010.  Beternak dan Bisnis Sapi Potong.  Agromedia Pustaka.  Jakarta Selatan.

Frandson,  R.D.  1992.  Anatomi dan Fisiologi Ternak. Diterjemahkan oleh: Srigandono, B., dan  K. Praseno.  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Gaughan. J.B., dan T.L. Mader. 1997.  Managing Heat Stress on Feedlot Cattle Throught Nutrition. Armidale NSW. Australia.

Hann, G.L. 1999.  Dynamic responses of cattle to thermal heat loads.  Journal of Animal Science. No. 2, vol. 77,  pp 10—20.

Haryanti,  N.W.  2009.  Kualitas pakan dan kecukupan nutrisi sapi Simental di peternakan Mitra Tani Andini, Kelurahan Gunung Pati, Kota Semarang. Fakultas Peternakan. Universitas Diponogoro.

Haryanto, B.  2012. Perkembangan Penelitian Nutrisi Ruminansia. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Huitema, H. 1986.  Peternakan di Daerah Tropis, Arti Ekonomi dan Kemampuannya.  Gramedia.  Jakarta.

Irawan, A.,H. Nugroho, dan W. Busono 2012. Nilai HTC (heat tolerance coefficient)pada sapi Peranakan Limousin (LIMPO) betina dara sebelum dan sesudah diberi konsentrat di daerah dataran rendah. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.  Malang.

Kelly, W.R. 1984.  Veterinary Clinical Diagnosis. London: BailliereTindall.

Lunn, D. 2010.  Managing heat stress in beeff cattle. Journal. Nutreco Canada Inc.www.nutrecocanada.com/docs/shur-gain-beef/managing-heat-stres-in-beef-cattle.pdf. (1 Oktober 2014).

Maddock, T.D., dan G.C. Lamb. 2009. The Economic Impact of Feed Efisiensi in Beef Cattle. University of Florida.

Mader, T.L., M.S. Davis,dan B. Brandl, 2006.Environmental factors influencing heat stress in feedlot cattle.  Journal of Animal Science. No. 1, vol. 84. pp. 712.
Masyhurin, A., H. Nugroho, dan M. Nasich.  2013.  Pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi pakan induk sapi Brahman Cross denganpakan basal jerami padi dan suplementasi yang berbeda.  Skripsi. Fakultas Peternakan.Universitas Brawijaya. Malang.

McDowell, R.E.  1972.  Improvement  of Livestock Production in Warm Climates. W.H. Freeman. San Francisco. USA.

Miller, J.K., E.B. Slebodzinska, dan F.C. Madsen.  1993.  Oxidative stress, Antioxidant, and  Animal function.  J. Dairy. No. 9, vol. 19, pp. 23.

Monstma, G. 1984. Tropical Animal Production I (Climats and Housing). T20 D Lecture Notes.  XE 400—103.

Murtidjo, B.A. 1992.  Beternak Sapi Potong.  Kanisius. Yogyakarta.

Muthalib, R.A.  2002.  Kajian beberapa faktor genetik dan non genetik terhadap produktifitas kambing PE di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi.  Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. No. 3, vol. 5, pp.112–-119.

National Research Council.  1987.  Predicting Feed Intake of Food-Producing Animals. National Academies Press.

Nuswantara, L.K. 2002. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Diponogoro. Semarang.

Parakkasi, A. 1983.  Ilmu Gizi dan Makanan Ternak. Angkasa.  Bandung.

-----------------------. 1999.  Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia.  Jakarta.

Payne, R. dan C.L. Cooper.  1988.  Causes, Coping, and Consequences of Stress at Work.  Wiley.  New York.
Purbowati, E.,  R.T. Mulatsih, dan Surahmanto. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Petani dengan Penerapan Teknologi Penggemukan Berbasis Pakan Lokal di Kelurahan Podorejo Kecamatan Ngaliyan. Universitas Diponogoro. Semarang.

Reksodiprojo, S. 1984.  Pengembangan Peternakan di Daerah Transmigrasi.  BPFE. Yogyakarta.

Rumentor, S.D.  2003.  Stres  Panas  Pada  Sapi  Perah Laktasi. Makalah Falsafah  Sains.  Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Rosenberger, G. 1979. Clinical Examination of Cattle. Berlin & Hamburg: Verlag Paul Parley.
Sampurna, I.P.  2012.  Pakan dan Nutrisi.  Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.  Bali.

Santosa, U.  2002.  Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi.  Penebar Swadaya. Jakarta.

Setiadi, B., A. Thahar., J. Juarni., dan P. Sitorus.  1999. Analisis sumber daya genotipik dan  fenotipik sapi persilangan (impor x Bali).  Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.  Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Simatupang, P., E.Jamal,  dan Togatorop.  1995.  Analisis ekonomi perusahaan inti rakyat (PIR) sapi potong di Bali. Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia. No. 2, vol. 2,pp. 12—17.

Siregar, S.B.  1994.  Ransum Ternak Ruminansia.  Penebar Swadaya.  Jakarta.

----------------------.  2001.  Penggemukan Sapi.  Penebar Swadaya.  Jakarta.

Stell, R.G.D., dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik . Terjemahan. Penerjamah. B. Sumantri. Gramedia. Jakarta.

Stiadi, D.S.  2011.  PKP ( Penyuluh Pertanian BPP Sukra ) Memilih Bakalan Sapi Untuk digemukan.  Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sukra.  Cirebon.

Sugeng, B. 1996. Sapi Potong. Edisi 5. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tillman,  A.D., S, Reksohadiprodjo,  S. Prawirokusumo,  H. Hartadi,dan  S. Lebdosoekojo. 1991.  Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 

Usman, Y., E.M. Sari, dan N. Fadilla. 2013.  Evaluasi pertambahan bobot badan sapi aceh jantan yang diberi imbangan antara hijauan dan konsentrat di Balai Pembibitan Ternak Unggul Indrapuri. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Syiah Kuala. Aceh.

Webster, C.C., dan  P.N. Wilson. 1980.  Agriculture in Tropics. The English Language Book Society and Longman Group. London.
Widodo, W. Busono, dan H. Nugraha.  2013.  Nilai HTC (heat tolerance coefficient)pada sapi Peranakan Limousin (LIMPO) betina dara sebelum dan sesudah diberi konsentat di daerah dataran tinggi. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Willimsom, G., dan W.J.A. Payne. 1993.  Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Cetakan pertama.  Edisi ketiga.  Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.

Yani, A., dan B.P. Purwanto.  2005. Pengaruh iklim mikro terhadap respon fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. Jurnal. Fakultas Peternakan. IPB.Bogor. No. 1, vol. 20, pp. 35—44.

Young, B.A., A.B. Hall., P.J. Goodwin, dan J.B. Gaughan.  1997. Identifyng excessive heat load, livestock environment. No. 5, vol. 1, pp. 572.

Yousef, M.K. 1985. Stress physiology in livestock basic principles.CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. No. 4, vol. 2, pp. 357—358.








Comments

Popular posts from this blog

KANDUNGAN NUTRISI BAHAN PAKAN UNGGAS

PROSES PEMBUATAN SUSU KENTAL MANIS

PENGOLAHAN HASIL IKUTAN TERNAK