PERMASALAHAN DAN PENANGANAN INFEKSI ORGAN REPRODUKSI


LAPORAN MENGENAI PERMASALAHAN DAN PENANGANAN INFEKSI ORGAN REPRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah.Salah satu kendala tersebut adalah masih banyaknya gangguan reproduksi menuju kemajiran pada ternak betina. Akibatnya, efisiensi reproduksi akan menjadi rendah dan kelambanan perkembangan populasi ternak. Dengan demikian perlu adanya pengelolaan ternak yang baik agar daya tahan reproduksi meningkat sehingga menghasilkan efisiensi reproduksi tinggi yang diikuti dengan produktivitas ternak yang tinggi pula.
Infeksi Organ Reproduksi pada ternak sapi telah diidentifikasi sebagai penyebab utama rendahnya efisiensi reproduksi (Kumar dan Kumar, 2006).Infeksi saluran reproduksi menyebabkan terjadinya gangguan terhadap aktivitas reproduksi ternak dan menyebabkan menurunnya efisiensi reproduksi.

Infeksi ini dapat berupa infeksi secara non spesifik maupun spesifk yakni yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun jamur. Oleh karena banyaknya kejadian gangguan reproduksi yang disebabkan karena infeksi organ reproduksi inilah yang melatarbelakangi penulisan makalah ini untuk mengetahui apa saja jenis infeksi yang dapat terjadi pada organ reproduksi dan penanganannya.

B.     Tujuan
Tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui:
1.      Apa  yang dimaksud dengan infeksi organ reproduksi,
2.      Jenis-jenis infeksi yang dapat terjadi pada organ reproduksi, dan
3.      Penanggulangan dan pencegahan terjadinya Infeksi organ reproduksi.

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN

Infeksi Organ Reproduksi
Jenis Infeksi organ reproduksi ada yang bersifat spesifik dan ada pula yan non spesifik. Yakni diantaranya:
A.  Infeksi non spesifik
Yang termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya:
a)      Metritis Septica Puerperalis
·         Etiologi
Puerperal metritis terjadi dalam beberapa hari postcalving, radang akut terjadi perubahan pada endometrial, myometrial dan lapisan peritoneal dari uterus dalam 10 hari setelah partus (Andrew, 2004). Kasus ini terjadi mengikuti fase abnormal pada saat partus, khususnya pada kasus distokia, uterine inertia, twin births, dan kerusakan dari vulva dan atau birth canal.. Organism yang paling sering menginfeksi adalah Actinomyces pyogenes, group C streptococci, haemolytic staphylococci, coliforms, and Gram-negative anaerobes,terutama Bacteroides spp (Arthur, 2001).

·         Patogenesis
Bakteri kolonisasi pada non-involuted uterus, menghasilkan toxins yang akan diserap oleh kapiler dan akan mengakibatkan gejala yang parah. Arcanobacterium pyogenes menghasilkan haemolytic exotoxin yang mempunyai dermonecrotizing activity. Bakteri ini juga menghasilkan protease dan neuraminidase, sebagi salah satu faktor virulence. Reaksi purulent typical dari infeksi A. pyogenes pathogenic.  Arcanobacterium pyogenes umumnya menyebabkan suppurative lesions pada banyak hewan domestik (Arthur, 2001). Khususnya sapi, kambing, domba. Beberapa organ dapat terinfeksi, lymphadenitis, osteomyelitis, peritonitis , pyometra, metritis and mastitis.

·         Gejala Klinis
Pengejanan dari abdominal dan keluar leleran berwarna kemerahan sampai cokelat berbau busuk dari vulva.  Sangat umum terjadi toksemia, septicaemia, pyrexia (40–41°C), tachypnoea, tachycardia(100/menit), anorexia, rumen stasis and dehydration, toxaemia menginduksi diarrhoea dan shock. Infeksi juga dapat menyebar dari dinding uterus kedalam peritoneum, yang akan menyebabkan peritonitis. Uterus berisi toksin, eksudat busuk, kemerahan dan serous. Eksplorasi rectum meyebabkan rasa tidak nyaman dan disertai usaha expulsive persistent. Sering juga diikuti dengan mastitis, terutama pada saat rebah dan juga sering dibarengi dengan hipokalsemia. Vulva dan vagina membengkak. (Arthur, 2001).

·         Diagnosa
Dilihat dari gejala klinis
1)   Pengambilan sampel dari exudates, aspirates dan jaringan samples untuk culture danhistopathology.
2)   Blood dan MacConkey agars diinokulasi dengan specimen dan diinkubasi 37OC untuk 5 hari.

·         Terapi dan Penanganan
Pemberian 50 i.u. of oxytocin secara IV akan menyebabkan kontraksi uterus dan expulsive dari cairan dan debris sisa partus. Penyakit ini paling baik dengan pemberian systemic broad-spectrum antibiotics dan terapi supportive. Intrauterine antibiotics tidak dapat menghilangkan infeksi kecuali apabila hewan sudah menunjukakan peningkatan kesahatan dan temperature yang normal dan beberapa antibiotic seperti nitrofurazone, neomycin dan beberapa sulphonamides, akan menyebabkan kerusakan pada endometrium. Demikian juga dengan pemberian infuse dari iodine cair akan berbahaya pada endometrium. Infuse intrauterine dari tetracyclines mungkin efektif untuk kasus ringan dari endometritis, tapi tidak dapat penetrasi jauh ke dalam dinding uterus, harus diberikan pda dosis 10 - 15mg/kg.

b)Pyometra
Pyometra berasal dari dua kata, yaitu pyo yang artinya nanah dan metra yang artinya uterus. Pyometra merupakan penyakit dimana terjadi penimbunan nanah pada uterus akibat terjadinya endometritis kronis (M. Arifin Basyir, 2007).

·         Patogenesis
Bakteri yang menyebabkab pyometra adalah Escherichia coli, Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas, dan Proteus spp. Selain itu, Penyakit kelamin menular seperti brucellosis, trichomoniasis dan vibrosis juga menyebabkan pyometra. Kista hiperplasia endometrium dan akumulasi sekresi uterus mendukung perkembangan dan menyediakan tempat yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri. Progesteron juga menghambat respon sel darah putih terhadap infeksi bakteri (Kusuma, 2010).

Pyometra adalah hasil dari pengaruh hormonal yang menurunkan ketahanan tubuh normal terhadap infeksi.Dan hal ini sudah dibuktikan bahwa uterus sapi lebih peka terhadap infeksi sewakyu metestrus dibanding dengan estrus. Kadar estrogen berlebih dalam darah (hyper estrogenism) menyebabkan hanya sedikit leukosit-leukosit yang tiba di dalam mucossa saluran genital dan menyebabkan infeksi uterus mudah terjadi. Bakteri yang secara normal ada dalam uterus maupun yang berasal dari luar tubuh kemudian pindah dari vagina ke uterus melalui aliran darah berkembang biak diantara glandula uterina dan lumen. Jika bakteri tersebut sangat virulent, sel darah putih (leukosit) tidak bisa membunuhnya. Leukosit akan mati dan terakumulasi sebagai nanah / pus. Nanah dan sekresi kelenjar uterin yang tertimbun di dalam uterus tidak dapat dikeluarkan karena kadar progesteron yang tinggi mengakibatkan negatif feedback (efek negatif) pada kelenjar pituitaria anterior sehingga kadar esterogen rendah dan kontraksi uterus berkurang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya korpus luteum dan kista-kista folikel pada ovarium hewan yang menderita pyometra (Kusuma, 2010).

·         Gejala Klinis
Pada sapi betina penderita pyometra adalah tidak munculnya birahi dalam waktu yang lama atau anestrus, siklus birahi hilang karena adanya korpus luteumpersisten. Terdapat timbunan nanah dari 200- 20.000 ml di dalam rongga uterus dan hanya keluar dari vagina pada waktu sapi berbaring dan sapi akan merasakan sakit didaerah abdomen (Toleihere, 1985).

Suatu pengeluaran cairan seperti nanah yang terjadi 2 – 3 minggu setelah portus yang disebabkan metritis paerpularis adalah bukan pyometra sejati. Pyometra yang sejati adalah bila nanah yang tertimbun dan tidak dikeluarkan selama lebih dari 60 pasca melahirkan dan selama itu birahi tidak pernah muncul. Pengeluaran nanah ditandai adanya kotoran yang melekat pada alat kelamin luar maupun pada ekor, kaki belakang dan kandang. Abdomen terlihat membesar karena uterus membesar sesuai dengan volume nanah yang tertimbun.hal ini dikarenakan servik uterus menutup sehingga terjadi retensi exudat purulent dalam kornu uteri. Tubuh sapi penderita pyometra terlihat kurus, bulu suram, temperatur tubuh naik,respirasi cepat pulsus naik dan turgor kulit. Sapi tidak mau makan tetapi banyak minum dan urinasi.

Perubahan makroskopis yang terlihat adalah :
1)      Uterus mengalami penebalan dinding, atonis dan menggantung.
2)     Sewaktu rongga perut dibuka kedua kornu uteri terlihat sangat mencolok karena berisi      
      nanah,sedangkan mukosa terlihat licin (Kormu uteri membesar dan melebar)
3)      Teridentifikasi adanya corpus loteum di ovarium kanan
4)      Terlihat adanya sulaman fibrin di dorsal uterus
5)    Tidak adanya kotiledon fetus dan korunkula atau plasentom pada dinding uterus maupun fetus 
      yang tidak teraba pada palpasi rektal.
6)  Nanah cenderung untuk bergrafitasi dan berkumpul diapek atau ujung kornu dan tyidak ada 
    penonjolan dorsal pada kornu uterus sepertiyang lazim ditemukan pada kebuntingan muda .
7)  Selaput lendir yang biasanya sangat kasar karena hiperplasia mukosa,disamping kerusakan atau 
    erosi mukosa menjadi sangat jelas terlihat.
8)    Nanah biasanya tipis, kelabu kekuningan,sepertiair, sering mengandung bongkah-bongkah nanah 
     dan utas-utas selaput dan tenunan fetal.konsistensi dan warna seperti subkentang ,nanah tidak 
    berbau, atau agak manis tapi tidak membusuk
(Arthur, 2001).

·         Diagnosa
Pada pemeriksaan fisik, sapi yang mengalami pyometra akan menunjukkan pembesaran perut yang simetris. Hal ini terjadi karena nanah yang tertimbun dalam uterus akan mengisi kedua kornu. Badan kelihatan kurus dengan bulu yang kusam. Pada saat sapi berbaring, akan keluar kotoran berupa nanah dari lubang vagina. Hasil eksplorasi rektal menunjukkan bahwa penyebab pembesaran perut yang simetris pada pyometra adalah karena nanah mengisi kedua kornu uterus. Mukosa uterus terasa lebih tebal dari normal, dan jika uterus ditekan akan berfluktuasi karena ada tekanan balik dari cairan dalam uterus. Tidak ditemukannya karunkula, arteri uterina mediana tidak teraba dan tidak ditemukannya fetus dalam uterus (M. Arifin Basyir, 2007).

Beda halnya jika sapi tersebut bunting, melalui eksplorasi rektal akan ditemukan fetus yang hanya tumbuh pada salah satu koruna, dan koruna lainnya tetap kecil. Dinding uterus menipis, mengikuti pertumbuhan fetus. Arteri uterina mediana teraba dan karunkulapun teraba pada dinding uterus (M. Arifin Basyir, 2007).

·         Terapi
Pemberian Oxytocin bertujuan untuk menimbulkan kontraksi uterus sehingga cairan di uterus bergerak keluar. Lalu Prostaglandin menyebabkan luteolisis, kontraksi miometrium, relaksasi servix, dan pengeluaran eksudat uterus. Setelah itu baru dberikan antibiotik (Anonim a, 2010).

Pada kasus pyometra harus diusahakan nanah dikeluarkan dari uterus, dengan cara irigasi, yaitu memasukkan cairan antiseptik kedalam uterus dan dialirkan keluar membawa nanah tersebut. Pada kasus pyometra pada prinsipnya semua jenis antiseptik dapat digunakan untuk irigasi. Tetapi dianjurkan adalah antiseptik yang paling ringan dalam menimbulkan iritasi pada selaput lendir endometrium atau selaput mukosa uterus. Selama ini dianjurkan adalah Povidon Iodin 2%. Contoh lain ada  Permanganas Kalium (PK, KMnO4). Kelebihan PK murah, tetapi tingkat iritasi sangat tinggi, bahkan bersifat korosif. Selain itu PK harus dipakai segera setelah dibuat larutan  segar. Antiseptik lain dalam OGB adalah hidrogen peroksida (H2O2) 1,5-6%, Klorheksidin Glukonat 5% (M. Arifin Basyir, 2007).

Pengobatan awal ditujukan pada upaya membuka cerviks dan kontraksi uterus sehingga nanah dapat dipaksa mengalir keluar, diikuti dengan mengadakan irigasi dengan obat antiseptik dengan maksud untuk membersihkan sisa-sisa dalam uterus, kemudian diobati dengan antibiotika untuk membunuh mikroorganisme penyebabnya. Pemberian preparat estrogen atau sintesisnya bertujuan untuk mendorong terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan cerviks. Untuk itu diberikan Dietil stilbestrol (larutan dalam minyak mengandung 10 mg/ml). Pada hewan besar seperti sapi diberikan 50-100mg secara intramuskuler diulang 4 hari sekali. Obat lain yang dapat dipakai adalah Hypophysin yang didalamnya mengandung oksitosin, diberikan sebanyak 60-100 IU atau 3-5 ml secara intramuskuler atau subcutan. Pengobatan ini mengakibatkan kontraksi dinding uterus dan membuka cerviks diikuti keluarnya nanah dan terjadi involusi uterus (Kusuma, 2010).

Irigasi ke dalam saluran uterus dapat dilakukan dengan larutan yodium 1-2%, kadang-kadang dapat memberikan hasil yang cukup baik dalam usaha mengeluarkan nanah dari uterus. Stimulasi pada uterus dapat dilakukan dengan cairan antiseptik seperti larutan lugol sebanyak 2,5 ml yang dicampur ke dalam 250 ml aquades. Larutan ini diberikan untuk irigasi dalam uterus. Irigasi dilakukan dengan kateter dan larutan dikeluarkan kembali setelah uterus dipijat. Dengan irigasi ini, sisa nanah yang terkumpul dapat dikeluarkan walaupun tidak keseluruhan nanah dapat habis (Kusuma, 2010).

Beberapa macam antibiotika dapat dipakai sebagai obat pilihan untuk membunuh bakteri penyebab endometritis kronis disertai pyometra. Pemberian setiap hari secara intrauterin penisilin bersama streptomisin, dengan dosis Penisilin G 1000 000 IU dan Dehidrostreptomisin 1000 mg dilarutkan dalm 40 ml aquades, diulangi selama beberapa hari, atau Oksitetrasiklin (teramisin) dengan dosis 100 mg dilarutkan ke dalam 50-100 ml NaCl fisiologis, dapat dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam uterus melalui kateter. Obat yang lain adalah Nitrofurosone atau Furosin dapat diberikan larutan 0,2 % sebanyak 20-60 ml ke dalam rongga uterus (Kusuma, 2010).

c) Metritis
Metritis adalah peradangan yang terjadi pada beberapa lapisan uterus yang biasanya menyerang endometrium hingga miometrium. Metritis dapat disebabkan oleh infeksi peripartus atau post partus yang biasanya disertai septicemia sehingga disebut juga sebagai metritis septika puerpuralis. Metritis juga dapat bersifat akut yang biasanya menimbulkan berbagai gejala klinis yang jelas atau disebut juga sebagai metritis klinis. Metritis yang bersifat kronis biasanya disertai dengan pembentukan jaringan ikat pada endometrium sehingga tidak fungsional lagi metritis ini sering disebut dengan metritis sklerotik (Colin , 2003).

·    Etiologi
Metritis dapat terjadi karena penanganan kelahiran yang tidak steril, laserasi akibat distokia, kurangnya nutrisi sehingga terjadi gangguan hormonal yang menyebabkan system kekebalan pada uterus terganggu. Dapat juga disebabkan oleh kontaminasi bakteri pada saat proses perkawinan alami maupun IB.

·         Patogenesis dan Gejala klinis
Pada kasus metritis puerpurium biasanya didahului terjadinya inersia uterine dan retensi plasenta hal ini dapat memicu perkembangan mikroorganisme infeksius seperti C. pyogenes, Stapilococcus hemolitik dan Streptococcus grup C yang akan berkolonisasi pada dinding uterus sehingga terjadi infiltrasi sel radang yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan pada dinding uterus. Beberapa bakteri tersebut dapat menghasilkan toksin yang sebagian dari itu akan terserap tubuh dan sebagian yang lain akan keluar bersama lochia.

Bila bakteri memasuki aliran darah akan menimbulkan septicemia yang dimanisfestasikan dalam gejala berupa demam, gejala lain yang dapat timbul diantaranya depresi, anoreksia, penurunan produksi susu, diare yang disebabkan toksin dari bakteri tersebut, vulva vaguna biasa tampak bengkak dan kongesti, peritonitis, pneumonia, poliartritis (radang sendi) (Colin, 2003). 

·         Perubahan Patologi
Pada metritis sklerotik lapisan endometrium biasanya akan berubah menjadi jaringan ikat tebal berlapisan padat, yang disertai foci dari infeksi, dan eksudat purulen, terjadi nekrosis pada karunkula.

·         Diagnosa
Dilihat dari gejala klinis dan palpasi perektal. Pada kasus metritis sklerotis biasanya uterus akan teraba tebal dan keras mirip kartilago atau jaringan fibrosa padat.

·    Terapi
Pada metritis puerpuralis sebelum dilakukan terapi, terlebih dahulu dilakukan pengeluaran plasenta yang masih retensi. Pemberian injeksi intravena hormone oksitosin 10 ml. dan untuk mensesitifsasi uterus terlebih dahulu diberi hormone esterogen dalam bentuk stilbestrol sebanyak 10-15 mg, pemberian kedua hormone ini bertujuan untuk memicu involusi uterus. Untuk mengatasi bakteri yang tersisa dilakukan pemberian infuse 1 juta penicillin dan 1 gram streptomycin dalam 40 ml larutan fisiologis secara intra uterine terapi ini dilakukan 7-14 hari post partus hingga leleran lochia kembali normal (Arthur, 2001).

d)     Endometritis
Endometritis adalah radang pada lapisan endometrium di uterus. Endometritis ada 2, yaitu :
1)   Endometritis Subklinis
Merupakan endometris yang tidak nampak gejala klinisnya. Biasanya disebabkan karena IB yang tidak steril dan legeartis. Akibatnya bisa menyebabkan kegagalan fertilisasi, kegagalan implantasi embrio, dan terjadinya kematian embrio dini.
2)   Endometritis Klinis
Merupakan radang pada endometrium, dan merupakan peradangan uterus yang paling ringan. Endometritis dapat merupakan lesi primer atau kondisinya berkembang secara cepat menjadi peradangan uterus yang lebih berat. Uterus sapi biasanya terkontaminasi dengan berbagai mikroorganisme selama masa puerpurium. Bakteri disingkirkan dari lumen uterus selama minggu-minggu pertama setelah partus oleh proses fagositosis yang prosesnya dipacu oleh estrogen dan dihambat oleh progesterone (Prihatno, 2004).
·         Predisposisi/ Etiologi
Pada banyak kasus endometritis, disebabkan oleh oportunistik patogen yang menginfeksi setelah partus, selain itu bakteri yang dapat menyebabkan infertil seperti Campylobacter fetus and Trichomonas fetus juga dapat menyebabkan endometritis. Faktor predisposisi terjadinya endometritis adalah distokia, retensi plasenta, musim, kelahiran kembar,  invasi bakteri serta penyakit metabolit (Arhur, 2001).

·         Patogenesis
Agen infeksi biasanya masuk ke dalam uterus melalui vagina pada saat coitus, inseminasi buatan, partus, dan atau postpartus, walaupun memugkinkan juga pada suatu keadaan agen infeksi berasal dari sirkulasi. Pada kebanyakan kasus, agen infeksi tersebut berasal dari kontaminasi uterus postpartus tetapi biasanya flora tersebut akan segera dihilangkan.

Flora tersebut akan tetap tinggal di uterus, sehingga menyebabkan peradangan pada endometrium. Tingkat kontaminasi bakteri pada uterus sangat menentukan terjadi endometritis atau tidak. Patogenesis penyakit ini sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan tubuh hospes untuk mengeliminasi flora tersebut, daripada faktor dari bakteri-bakteri sendiri (Arthur, 2001).

·         Gejala Klinis
Gejala pertama endometritis adalah adanya leleran dengan lender jernih atau keputihan yang berlebihan. Adanya infeksi Actinomyces pyogenes mengakibatkan leleran menjadi purulen dan berbau busuk yang khas. Evaluasi klinis keadaan uterus dapat dilakukan dengan pemeriksaan lewat rektum. Ukuran uterus, ketebalan dinding uterus dan isi lumen uterus merupakan pertimbangan dalam hubungannya dengan jumlah hari pasca beranak.

Gejala klinis endometritis bervariasi dari kekeruhan ringan dari lendir birahi sampai pembesaran uterus yang mungkin terlihat pada vagina bagian depan dan saluran serviks dengan pemeriksaan menggunakan spikulum.

Riwayat pengawinan mungkin menunjukkan adanya kegagalan konsepsi setelah beberapa kali inseminasi. Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam uterusnya teraba timbunan cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilitas adalah dalam jangka pendek, meurunkan kesuburan, calving interval dan S/C naik, sedangkan dalam jangka panjang, menyebabkan sterilitas karena terjadi perubahan traktus reproduksi, sehingga meningkatkan pemotongan (Prihatno, 2004).

·         Prognosa
Kesembuhan endometritis biasanya baik, kecuali kalau terjadi pengembangan proses peradangan menjadi lebih parah.

·         Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan mengetahui gejala klinis dan riwayat hewan sebelumnya. Diagnosis juga dapat dilakukan dengan biopsy uterus. Walaupun interpretasi material biopsy memerlukan pengalaman dari perubahan siklus normal dari endometrium. Pada endometrial biopsy bisa diketahui adanya endometrial subklinis yang gejalanya tidak nampak (Arthur, 2001).

·         Terapi
Terapi yang biasa digunakan adalah dengan injeksi antibiotik dan hormon (Prostalglandin F-2α) atau melakukan dengan antiseptik (yodium povidon) secara intra uterine (Prihatno, 2004).

·         Akibat Infeksi
Endometritis menurunkan fertilitas, memperpanjang interval calving per konsepsi, meningkatkan angka servis per kebuntingan. Selain itu endometritis bisa terjadi secara jangka panjang, dan saluran reproduksi tidak bisa kembali seperti sebelum terinfeksi. Endometritis juga bisa menurunkan keuntungan dari peternakan sapi perah (Arthur, 2001).

B.  Infeksi Spesifik
Infeksi yang bersifat spesifik dapat disebabkan oleg bakteri, virus maupun jamur. Yakni diantaranya :
a). Bakterial
·         Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau penyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disebut Demam Malta. Jasad renik penyebabnya Micrococcus melitensis yang selanjutnya disebut pula Brucella melitensis

Bakteri Brucella untuk pertama kalinya ditemukan oleh Bruce (1887) pada manusia dan dikenal sebagai Micrococcus miletensi. Kemudian Bang dan Stribolt (1897) mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang menderita kluron menular. Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus bovis. Bakteri Brucella bersifat gram negatif, berbentuk batang halus, mempunyai ukuran 0,2 - 0,5 mikron dan lebar 0,4 - 0,8 mikron, tidak bergerak, tidak berspora dan aerobik. Brucella merupakan parasit intraseluler dan  dapat diwarnai dengan metode Stamp Brucella abortus,  atau Koster Brucellosis yang menimbulkan masalah pada ternak terutama disebabkan oleh 3  spesies, yaitu Brucella melitensis, yang menyerang pada kambing,  yang menyerang pada sapi dan Brucella suis, yang menyerang pada babi dan sapi. 

Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan antigen A. Brucella melitensis memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A, sedangkan Brucella abortus dan Brucella suis sebaliknya. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah karena antibodi tidak begitu berperan.

Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa:

1)   Kluron, anak ternak yang dilahirkan lemah, kemudian mati, terjadi gangguan alat-alat reproduksi 
    yang mengakibatkan kemajiran temporee atau permanen
2)   Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu.

Brucellosis merupakan penyakit beresiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan manusia. Sebab penyakit ini dapat menular dari ternak ke manusia dan sulit diobati, sehingga brucellosis merupakan zoonosis yang penting. Tetapi manusia dapat mengkonsumsi daging dari ternak-ternak yang tertular sebab tidak berbahaya apabila tindakan sanitasi minimum dipatuhi dan dagingnya dimasak. Demikian pula dengan air susu dapat pula dikonsumsi tetapi harus dimasak atau dipasteurisasi terlebih dahulu.

Pada kambing Brucellosis hanya memperlihatkan gejala yang samar-samar. Kambing kadang-kadang mengalami keguguran dalam 4 - 6 minggu terakhir dari kebuntingan. Kambing jantan dapat memperlihatkan kebengkakan pada persendian atau testes.

Pada sapi gejala penyakit brucellosis yang dapat diamati adalah keguguran, biasanya terjadi pada kebuntingan 5 - 8 bulan, kadang diikuti dengan kemajiran, Cairan janin berwarna keruh pada waktu terjadi keguguran, kelenjar air susu tidak menunjukkan gejala-gejala klinik, walaupun di dalam air susu terdapat bakteri Brucella, tetapi hal ini merupakan sumber penularan terhadap manusia. Pada ternak jantan terjadi kebengkakan pada testes dan persendian lutut.

Selain gejala utama berupa abortus dengan atau tanpa retensio secundinae (tertahannya plasenta), pada sapi betina dapat mempperlihatkan gejala umum berupa lesu, napsu makan menurun dan kurus. Disamping itu terdapat pengeluaran cairan bernanah dari vagina. 

Pada sapi perah, brucellosis dapat menyebabkan penurunan produksi susu. Seekor sapi betina setelah keguguran tersebut masih mungkin bunting kembali, tetapi Tingkat kelahirannya akan rendah dan tidak teratur. Kadang-kadang fetus yang dikandung dapat mencapai tingkatan atau bentuk yang sempurna tetapi pedet tersebut biasanya labir mati dan plasentanya tetap tertahan (tidak keluar) serta disertai keadaan metritis (peradangan uterus). Brucellosis penyakit dapat menulari semua betina yang telah dewasa kelamin dan dapat menyebabkan abortus.

Pada sapi betina bakteri Bang terdapat pada uterus, terutama pada endometrium dan padaruang diantara kotiledon. Pada plasenta, bakteri dapat ditemukan pada vili, ruang diantara vili dan membran plasenta yang memperlihatkan warna gelap atau merah tua. Pada fetus, bakteri Brucella dapat ditemukan dalam paru-paru dan dalam cairan lambung. Pada pejantan bakteri brucella dapat ditemukan dalam epydidymis, vas deferens dan dalam kelenjar vesicularis, prostata dan bulbourethralis. pada infeksi berat bakteri dapat berkembang dalam testes, khususnya dalam tubuli seminiferi.

Perubahan pasca mati yang terlihat adalah penebalan pada plasenta dengan bercak-bercak pada permukaan lapisan chorion. cairan janin terlihat keruh berwarna kuning coklat dan kadang-kadang bercampur nanah. Pada ternak jantan ditemukan proses pernanahan pada testikelnya yang dapat diikuti dengan nekrose.

Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada vaksinasi dan tindakan sanitasi dan tata laksana. Tindakan sanitasi yang bisa dilakukan yaitu
1)   Sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapushamakan. Fetus dan plasenta harus dibakar dan 
    vagina apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu
2)   Bahan-bahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol,amonium 
     kwarterner, biocid dan lisol
3)   Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila seekor 
   ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis dan preputium dicuci dengan cairan 
   pencuci hama
4)   Anak-anak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari 
    ternak lain yang bebas brucellosis
5)   Kandang-kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicuci dan dihapushamakan serta 
     ternak pengganti jangan segera dimasukkan.

Pengobatan : Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.Penanggulangan dan pencegahan brucellosis diataranya dengan :
1)      Sanitasi dan kebersihan harus terpelihara
2)      Vaksinasi strain 19 usia 3 – 7 bulan
3)      Pemberian antiseptik dan antibiotika pada hewan yang sakit
4)      Penyingkiran reaktor (sapi terinfeksi sebagai sumber infeksi)
5)      Sapi yang terinfeksi diisolasi/ dijual/ dipotong.
6)      Fetus dan plasenta yang digugurkan dibakar kemudian dikubur.
7)      Hewan baru dikarantina, diperiksa dan diuji.

·         Leptospirosis
Leptospirosis pada sapi disebabkan oleh beberapa serovar kuman Leptospira mengakibatkan  gangguan proses reproduksi berupa abortus pada akhir trimester dari kebuntingan, kemajiran, serta kelemahan pada anak yang dilahirkan. Pada sapi yang terinfeksi akut, selain terjadi abortus, gejala yang terlihat berupa turunnya nafsu makan, kehilangan berat badan, mastitis (dengan air susu yang sangat kental dan berwarna kuning tua), demam, cairan urin berdarah .

Gangguan reproduksi dapat berlangsung sampai setahun dalam bentuk meningkatnya S/C, tertahannya plasenta, serta anak yang dilahirkan lemah dan biasanya mati. Cara penularan penyakit ini melalui pakan, air dan lingkungan yang tercemar oleh urin hewan yang mengandung kuman Leptospira. Kuman masuk melalui hidung (aerosol) atau mulut (rumput, air) terus ke saluran pencernaan dan akhirnya ke ginjal . Sapi yang sembuh dari penyakit ini masih mengeluarkan kuman Leptospira sampai 2-3 bulan atau lebih dalam urinnya. Penularan juga dapat melalui semen pejantan yang terinfeksi.

Diagnosa penyakit dipaparkan pada peningkatan titer antibodi dalam serum (serum yang dikoleksi pada dua waktu berbeda) yang diperiksa secara uji serologis. Isolasi agen penyakit dari cairan urin atau darah merupakan diagnosa definitif. Pencegahan penyakit melalui upaya perbaikan sanitasi/manajemen sangat sulit mengingat banyak spesies hewan (liar atau domestik) juga dapat terserang oleh kuman Leptospira. Hewan-hewan tersebut yang sering berkeliaran di lokasi peternakan akan selalu menjadi ancaman. Oleh karena itu pencegahan yang paling tepat adalah melalui vaksinasi secara rutin setiap tahunnya.

Pengendalian kejadian leptospirosis meliputi sanitasi yang baik, isolasi hewan yang sakit serta hindari pakan dan minuman dari pencemaran, vaksinasi dengan serotipe (jenis) leptospira yang ada di daerah tersebut. Pengobatan dengan antibiotika dosis tinggi, 3 juta IU penicillin dan 5 gr streptomycin (2x sehari).

·         Vibriosis
Vibriosis pada sapi disebabkan oleh kuman Campylobacter fetus veneralis yang mengakibatkan gangguan proses reproduksi. Sapi yang terserang penyakit ini umumnya memperlihatkan rata-rata kawin berulang sebanyak 5 kali kawin alam (antara 5-25 kali), siklus birahi menjadi lama dan tidak teratur (25-55 hari), lendir pada saat birahi terlihat keruh karena pernanahan. Abortus terjadi pada umur 2-3 bulan kebuntingan. Penyakit ini menular hanya melalui semen, yaitu melalui perkawinan alam atau inseminasi buatan (IB) dengan semen tercemar.

Penularan dari betina terinfeksi ke betina sehat tidak pernah dilaporkan. Diagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan, tetapi adanya perpanjangan masa kawin dan jarak beranak patut dicurigai adanya Vibriosis . Diagnosa penyakit dengan tepat dapat dicapai melalui prosedur diagnostik, yaitu isolasi agen penyakit . Secara serologi penyakit juga dapat didiagnosis melalui pendeteksian antigen dari cairan lendir saluran reproduksi 60 hari setelah perkawinan.

Pencegahan penyakit dilakukan dengan menggunakan IB, atau pejantan yang bebas Vibriosis, istirahat kelamin selama 3 bulan pada hewan yang terinfeksi, vaksinasi dengan bakterin 30-90 hari sebelum dikawinkan atau setiap tahun.. Vaksinasi dapat mencegah infeksi penyakit. Ternak jantan yang sakit dapat diobati dan sembuh dengan menggunakan antibiotik seperti streptomisin dosis tinggi secara subkutan disertai pemberian secara lokal pada sarung dan glands penis (pejantan), atau 1 gram streptomisin secara intrauterin setelah inseminasi untuk mencegah infeksi pada hewan betina 

·         Tuberkulosis
Penyebabnya adalah Mycobacterium bovis. Dapat menular melalui ekskresi, sputum (riak), feses, susu, urin, semen, traktus genitalis (saluran kelamin), pernafasan, ingesti dan perkawinan dengan hewan yang sakit. Gejala yang nampak diataranya : abortus,  retensi plasenta, lesi uterus bilateral, salpingitis dan adhesi (perlekatan) antara uterus. Penanganan dan pencegahan diantaranya dengan sanitasi kandang dan lingkungan, pengobatan dengan antibiotika, isolasi hewan yang terinfeksi dan vaksinasi.

·         Bovine viral diarrhea (BVD)
Pada sapi, penyakit BVD disebabkan oleh virus bovine diarrhea . Penyakit ini menimbulkan 4 bentuk gejala klinis, yaitu:

1)   Subklinis, tidak terlihat gejala;
2)   Kronis, ada gejala tapi tidak jelas seperti berkurangnya nafsu makan, kelesuan, diare ringan, 
     pertumbuhan yang lamban;
3)   Akut, memperlihatkan diare profusa, demam, erosi pada saluran gastrointestinal ;
4)   bentuk mukosa, paling berat, ditandai dengan gejala akut disertai adanya perlukaan pada selaput 
    lendir ruang mulut dan saluran pencernaan. Pada bentuk ini hewan akan mati pada sekitar hari ke- 
    14 setelah infeksi. Bentuk ini sangat sering terjadi pada sapi umur mulai 8 sampai 18 bulan.

Pada sapi bunting, infeksi virus mengakibatkan kematian fetus dan abortus . Kebanyakan abortus terjadi pada umur kebuntingan 3 sampai 4 bulan. Infeksi virus BVD pada umur kebuntingan pertengahan trimester mengakibatkan cacat pada otak, mata dan bulu. Cacat otak dan mata lebih sering terjadi daripada terjadinya kelainan bulu.

Diagnosa penyakit dilakukan dengan mengisolasi agen penyakit atau pemeriksaan antibodi setelah terjadi abortus . Penularan penyakit terjadi karena kontak dengan cairan lendir mukosa hewan terinfeksi atau lingkungan tercemar. Penularan dapat terjadi melalui semen pejantan, baik melalui kontak seksual atau melalui IB.

Pencegahan penyakit dilakukan melalui mencegah kontak dengan hewan sakit (memperlihatkan gejala klinis), lingkungan tercemar (terkena lendir hewan sakit), menggunakan pejantan bebas BVD pada kawin alam, atau penggunaan semen bebas BVD pada IB. Alternatif pencegahan penyakit adalah melakukan vaksinasi hewan terhadap virus BVD. Infectious bovine rhinotracheitis (IBR) Jika virus IBR menyerang sistem reproduksi sapi betina, maka akan terlihat gejala klinis pustular vulvovaginitis profusa . Lendir bernanah dapat terlihat keluar dari liang vulva. Sapi betina memperlihatkan kemajiran temporer.

Sapi betina yang terinfeksi virusn IBR, baik tipe pernafasan maupun vulvovaginitis, dapat berakibat pada abortus fetus mulai 3 minggu sampai 3 bulan setelah mengalami infeksi. Tanda lainnya yang umum adalah tertahannya plasenta. Pada sapi jantan, gejala klinis yang tampak adalah perlukaan bernanah pada glands penis.Adanya rasa sakit pada alat kelamin ini dapat menghambat aktivitas kontak seksual pejantan dengan sapi betina.

Diagnosis penyakit disamping dengan memperhatikan gejala klinis, juga dilakukan dengan mengisolasi agen penyakitnya. Penularan penyakit dapat terjadi melalui semen terinfeksi, kontak dengan cairan lendir mukosa hewan terinfeksi, atau dengan lingkungan tercemar.

Pencegahan penyakit pada sapi betina dilakukan dengan mencegah kontak seksual dengan pejantan terinfeksi, tidak menggunakan semen terinfeksi pada program IB, serta mencegah kontak dengan hewan sakit IBR (lendir mukosa atau lingkungan tercemar virus IBR). Vaksinasi cukup efektif untuk mencegah terjadinya penularan penyakit.

·         EBA (Epizootik Bovine Abortion)
Penyebabnya Chlamydia atau Megawanella. Gejala yang nampak :abortus pada 4-9 bulan kebuntingan, stillbirth (lahir kemudian mati), jika fetus lahir maka lemah, retensi plasenta.  Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika. Sedangkan pengendaliannya dapat dilakukan dengan isolasi/ karantina hewan yang sakit, vaksinasi, sanitasi dan desinfeksi kandang.

b)  Protozoa
·         Trikomoniasis
Penyebabnya  Trichomonas fetus, merupakan penyakit kelamin menular pada sapi yang ditandai dengan penurunan kesuburan (S/C tinggi), abortus dini (4 bulan kebuntingan/trisemester pertama kebuntingan). Penularan dengan kawin alam maupun dengan IB.  Pengendaliannya dengan:
1)   IB dengan pejantan sehat
2)   Istirahat kelamin
3)   Pemberian antibiotik intra uterin pada betina terinfeksi.
4)   Pemberian estrogen/ PGF2α
5)   Pejantan kronis diberi bovoflavin/ metronidazole atau dieliminasi.

·         Toxoplasmosis
Penyebabnya  Toxoplasma gondii, bersifat zoonosis sehingga dapat menyerang manusia. Gejala yang nampak diataranya: demam, gangguan nafas dan syaraf, abortus, prematur maupun lahir lemah. Penularan melalui pakan/ minum yang tercemar dengan ookista. Pengobatan dengan antibiotika, kombinasi antara preparat sulfa (sulfadiazin) dan pyrimethamine. Pencegahan dengan menjaga sanitasi dan desinfeksi kandang serta lingkungannya.

c). Jamur
Penyebab utama abortus adalah Aspergillus fumigatus. Selain itu juga bisa disebabkan oleh Mucorales. Terdapat dua jalur utama penularan,
1)      Melalui inhalasi, masuk paru dan mengikuti aliran darah sampai ke plasenta dan menyebabkan 
      abortus.
2)      Melalui ingesti, menyebabkan radang pada rumen, mengikuti aliran darah menuju plasenta dan 
      menimbulkan keradangan sehingga  terjadilah abortus. Gejala yang nampak diantaranya : abortus 
      pada 5-7 bulan kebuntingan, fetus mengalami autolisis/ lahir lemah, membran fetus (bengkak
      nekrotik, lesi plasentoma, kotiledon dan karuncula bengkak, oedem dan nekrotik). Penanganan     
      yang dapat  dilakukan yaitu dengan menggunakan preparat antijamur dan perbaikan manajemen 
      secara keseluruhan meliputi perbaikan pakan dan manajemen kesehatan yang baik meliputi sapi, 
     kandang dan lingkungannya. Selain gangguan reproduksi yang disebabkan oleh keempat faktor 
      tersebut, berikut kondisi patologis yang berhubungan dengan masalah reproduksi

·         Mikosis
Gangguan reproduksi ternak sapi yang diakibatkan oleh infeksi kapang, utamanya adalah Aspergillus fumigatus, A. absidia dan A. mucor. Hal ini terbukti dengan adanya kapang tersebut pada fetus yang diaborsikan (membran fetus atau isi perut fetus)

Abortus akibat infeksi kapang terjadi pada pertengahan atau akhir umur kebuntingan. Infeksi pada ternak sapi terjadi karena temak menelan/menghirup spora dari pakan yang berjamur.

Cara pencegahannya adalah dengan menghindarkan sapi dari pakan berjamur. Cara penyimpanan pakan yang baik merupakan hal yang sangat penting dalam pencegahan penyakit ini.


BAB III KESIMPULAN

A.    Kesimpulan

Berdasarkan isi dan pembahasan dari beberapa sumber, dapat disimpulkan bahwa:
11. Infeksi organ reproduksi  merupakan gangguan reproduksi yang disebabkan adanya infeksi atau gangguan pada salah satu atau lebih organ reroduksi
22.  Infeksi organ reproduksi  terdiri dari infeksi non spesifik  dan infeksi spesifik.
   3. Infeksi organ reproduksi yang termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya: Endometritis (radang uterus), Piometra (radang uterus bernanah),  dan Vaginitis. Sedangkan yang termasuk infeksi spesifik adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Brucellosis, Leptospirosis dan Vibriosis, disebabkan oleh virus seperti Bovine viral diarrhea (BVD)serta disebabkan oleh jamur seperti Mikosis.

B.     Saran
Gangguan reproduksi dapat diantisipasi dengan memperhatikan beberapa faktor diantaranya :
1.      Seleksi genetik, dan manajemen pakan yang baik sehingga mendukung kesuburan saluran reproduksi.
2.      Manajemen kesehatan yang baik meliputi kesehatan sapi (program pengobatan dan vaksinasi) , kebersihan kandang dan lingkungan (sanitasi dan desinfeksi) sehingga dapat meminimalisasi agen patogen (bakteri, virus, jamur, protozoa) yang dapat mengganggu kesehatan sapi.
3.      Penanganan masalah reproduksi dengan prosedur yang baik dan benar sehingga mengurangi kejadian trauma fisik yang akan menjadi faktor predisposisi gangguan reproduksi. 

DAFTAR PUSTAKA

Arman, Sayuti. 2006. Gambaran Klinis Sapi Piometra Sebelum dan Setelah terapi dengan Antibiotik dan Prostaglandin secara Intrauterine. Skripsi. Fak. Kedokteran Hewan IPB: Bogor
Colin, Pamer. 2003. Post Partum Metritis in Cattle. A review ofthe condition and the treatmen large Animal Veterinary Rouns Volum 3 issue 8 Saakatchewan.
 Dian, R. 2007. Penanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Balai Penelitian Penembangan Pertanian: Dapartemen Pertanian
Ratih, R. 2008. Explorasi Bakteri dari Uterus Sapi Infertil di Kotamadya Surabaya. Fakultas Kedokteran Hewan USU: Sumatra Utara.
Rompis, A. 2002. Epidemiologi Bovine Brucellosis dengan Penekanan Kejadian di Indonesia. Balai Besar Veteriner: Wates Yogyakarta.
Sri, Gatha. 2008. Penyakit Bakterial pada Ruminasia. Fakultas Kedokteran Hewan Univ. Syah Kuala: Banda Aceh.
Prihatno,  S.A. 2004. Infertilitas dan Sterilitas. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



Comments

Popular posts from this blog

KANDUNGAN NUTRISI BAHAN PAKAN UNGGAS

PROSES PEMBUATAN SUSU KENTAL MANIS

PENGOLAHAN HASIL IKUTAN TERNAK