THE INFLUENCE OF THE PROPORTION OF THE DISTRIBUTION OF FEED IN THE MORNING, AFTERNOON, AND NIGHT TOWARD PHYSIOLOGICAL AND PRODUCTION RESPONCE OF SIMENTAL CATTLE GRADE
#SAPI POTONG #PERANAKAN SIMENTAL # HEAT STESS #STRES PANAS #CARA MENGATASI #EKSPERIMEN #PROPORSI RANSUM #JUMLAH KONSUMSI
II. TINJAUAN
PUSTAKA
III. METODE
PENELITIAN
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Peternakan di Indonesia
saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan daging sebagai salah satu sumber
protein. Pemenuhan akan daging mempunyai
prospek usaha yang baik. Menurut
Simatupang et al. (1995), usaha
ternak sapi potong berpotensi untuk dikembangkankarena sapi potong merupakanpenyumbang
daging terbesar terhadap produksi daging nasional.
Usaha
yang dilakukan untuk menghasilkan daging adalah melalui program
penggemukan.Menurut
Parakkasi (1983), keberhasilan suatu usaha peternakan sapi
potong ditentukan oleh faktor genetik (30%) maupun lingkungan (70%).Ransum merupakan
salah satu faktor lingkungan yang penting diperhatikan, hal ini dikarenakan
biaya ransum merupakanbiaya tertinggi yaitu kurang lebih 65% total biaya
produksi (Huitema, 1986).
Salah
satu cara untuk meningkatkan pendapatan usaha penggemukan sapi adalah dengan
melakukan efisiensi ransum. Ransum yang dalam
penggunaannya efisien terhadap produksi ternak akan menurunkan nilai konversi
ransum, untuk itu manajemen ransum yang tepat perlu diperhatikan peternak.
Pemberian
ransum pada pemeliharaan sapi yang dikandangkan dapat dilakukan secaratidak
terbatas yaitu diberikan dalam jumlah yang selalu tersedia dan juga dapat
diberikan dalam bentuk dibatasi. Pemberianransumtidak
terbatassering mengakibatkankonsumsiransum menjadi berlebih.Konsumsi ransum yang
berlebih dapat mengurangi daya cerna saluran pencernaan sehingga mengakibatkan konversi
ransum meningkat, selain itu juga akan mengakibatkan kelebihan energi. Kelebihan energi yang dikonsumsi ternak
akandisimpan dalam bentuk lemak yang terakumulasi dalam lemak abdominal
(Santosa, 2002). Daging sapi yang
memiliki kandungan lemak tinggi akan menurunkan harga jual karena kurang
disukai konsumen.
Pembatasan
ransum dalam bentuk dibatasi dengan memperhatikan kebutuhan kandungan nutrisi,
dan jumlah yang memenuhi kebutuhan fisiologis, reproduksi dan produksi ternak
diharapkan akan meningkatkan efisiensi ransum.Frekuensi pemberian ransum dapat
dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pagi, siang, dan malam. Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam penentuan proporsi pemberian ransum adalah suhu lingkungan, sebagaimana
menurut National Research Council/NRC (1987), pengaruh suhu terhadap konsumsi
ransum sangatlah nyata.
Menurut Yani dan Purwanto (2005), tingginya suhu
lingkungan di daerah tropis pada siang hari mencapai 34ºC. Suhu di
Indonesia mencapai optimum 28—34 ºC
di siang hari dan suhu di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung berkisar
antara 23—33ºC (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika/BMKG, 2014).Menurut
Aksi Agraris Kanisius/AKK (1991), pada bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) keadaan
ini tidak akan menimbulkan gangguan yang berat (stres), tetapi bangsa-bangsa
sapi eropa yang dipelihara di Indonesia tentu dapat mengalami masalah
tersendiri seperti stres panas.
Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan ternak
berusaha mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan relatif konstan antara lain
melalui peningkatan frekuensi pernafasan dan jumlah konsumsi air minum serta
menurunkan konsumsi ransum. Akibatnya,
pertumbuhan ternak menjadi lambat dan produksi menjadi rendah (Miller et al., 1993).
Menurut
Dahlen dan Stoltenow (2012), proses pencernaan secara normal akan menghasilkan
panas pada tubuh sapi. Manajemen
pemberian ransum dengan jumlah sedikit di siang hari dan porsi yang lebih besar
pada sore hingga malam hari dapat menghindari potensi stres panas pada sapi,
selain itu proses fermentasi di dalam rumen berlangsung lebih baik selama suhu
dingin di malam hari. Oleh karena itu
penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh proporsi pemberian ransum yang
berbeda pada pagi, siang, dan malam hariterhadap respon fisiologis dan produksi
sapi potong.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. mengetahui
pengaruh proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam,
terhadap fisiologis yang meliputi frekuensi pernafasan, frekuensi denyut
jantung, dan suhu tubuh;
2. mengetahui
pengaruh proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam,
terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh harian, dan konversi ransumsapi
Peranakan Simental;
3. menentukan
proporsi pemberian ransum yang tepat dalam manajemen pemeliharaan sapi Peranakan
Simental.
1.3 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proporsi pemberian ransum dalam
manajemen pemeliharaan sapi potong yang memberikan respon fisiologis dan
produksi terbaik.
1.4 Kerangka Pemikiran
Sapi
potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia,akan tetapi
produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena
populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah.
Produktifitas
ternak dipengaruhi oleh faktor genetik (30%) dan lingkungan (70%) (Parakkasi, 1983).
Manajemen pemberian ransum merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting
diperhatikan, karena sebaik apapun kualitas ransum tanpa manajemen yang baik
akan menghasilkan produktifitas yang tidak optimal.
Usaha
penggemukan sapi potong biasanya menerapkan manajemen pemberian ransum secara
tidak dibatasi dan jugadibatasi (Santosa, 2002). Pemberian ransum secara tidak dibatasi akan
meningkatkan konsumsi ransum dan mempercepat masa tempo dan irama penyimpanan
rumen. Tempo dan irama penyimpanan rumen
akan mempengaruhi tingkat kemampuan penguraian ransum dalam rumen (Sampurna,
2012).
Pengaruhtempo
dan penyimpanan rumen terhadap tingkat kemampuan penguraian ransum dalam rumen
disajikan pada Gambar 1.
Gambar
1. Tempo dan irama penyimpanan rumen
terhadap tingkat kemampuan
penguraian
ransum dalam rumen(Dairy Research & Technology
Centre, University of Alabama
dalam Sampurna, 2012).
Nilai
pelepasan dari ransum tidak konstan, tetapi akan berubah-ubah seiring dengan tingkat asupan ransum.
Penguraian ransum sangat tergantung pada dua hal, yaitu sifat alamiah bahan ransum
dan lamanya bahan tersebut di dalam rumen.Ketika asupan ransumdan kecepatan perjalanan ransumdari
rumen meningkat, lama penyimpanan bahan dalam rumen dan penguraian oleh mikroba
akan berkurang (Sampurna, 2012).
Pembatasan
pemberian ransum yang sesuai jumlah kebutuhannya diharapkan dapat menghasilkan
respon yang baik terhadap produktifitas maupun fisiologis sapi potong,
sebagaimana menurut Nuswantara (2002), sapi dengan pemberian ransum konsentrat
yang dibatasi meningkatkan jumlah bakteri dan protozoa, terutama bakteri
selulolitik di dalam rumen.
Frekuensi
pemberian hijauan dan konsentratpada sapi potong minimal adalah 2 kali sehari
(Sugeng, 1996). Semakin sering frekuensi
ransum akan semakin meningkatkan konsumsi ransum (Purbowati et al., 2003). Frekuensi pemberian ransum pada umumnya dilakukan
sebanyak 3 kali yaitu pagi, siang, dan malam hari. Penentuan proporsi pemberian ransum untuk
pemeliharaan sapi di daerah tropis perlu memperhatikan kondisi lingkungan. Salah
satu faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi konsumsi ransumadalah suhu (NRC,
1987),terutama pada bangsa-bangsa sapi yang mudah stres terhadap panas dan
memerlukan penanganan yang tepat.
Sapi
peranakan Simental adalah salah satu bangsa sapi yang banyak diternakkan
di Indonesia. Sapi Simental merupakan bangsa Bos taurus (Fikar dan Ruhyadi, 2010). Menurut Huitema (1986), sapi mempunyai
kelenjar keringat yang berfungsi dan berkembang lebih baik dan lebih banyak pada
Bos indicus dari pada Bos taurus sehingga jenis Bos taurus lebih mudah stres terhadap
panas.
Konsumsi bahan kering yang optimum pada sapi
potong menurut NRC (1987) adalah pada temperatur lingkungan 15—250C,
apabila peningkatan suhu maupun pada suhu yang lebih rendah akan menyebabkan
fisiologis dan metabolisme ternak terganggu, produktifitas tidak optimum, dan konversi ransum meningkat.
Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada
siang hari mencapai 34ºC (Yani dan Purwanto, 2005),
hal ini dapat menyebabkan ternak mudah mengalamistres panas.Semakin tinggi level ransum yang
diberikan, maka energi yang dikonsumsi semakin tinggi yang berakibat pada
meningkatnya panas yang diproduksi dari dalam tubuh, akibat tingginya proses
metabolisme yang terjadi di dalam tubuh dan ditambah lagi pengaruh panas
lingkungan (Frandson, 1992).
Secara
fisiologis, suhu tubuh sapi akan meningkat hingga 1,5—2ºC pada saat setelah
makan (Kelly, 1984).
Dewell
(2010) mengatakan bahwa puncak produksi panas dari konsumsi ransum adalah 4—6
jam setelah makan. Oleh karena itu
produksi panas dari konsumsi ternak di pagi hari akan mencapai puncaknya pada
tengah hari ketika suhu lingkungan juga meningkat. Lunn (2010) mengatakan bahwa sapi yang
mengkonsumsi ransum lebih banyak di malam hari dan sedikit di siang hari dapat
membantu mengurangi produksi panas metabolik pada suhu tinggi di siang hari.
Pemberian ransum yang lebih banyak pada pagi dan
siang hari tidak efisien dilakukan karena akan memicu terjadinya stres panas (Dahlen
dan Stoltenow, 2012). Stres panas pada
ternak mengakibatkan temak mengalami gangguan fungsi fisiologis(Mader et al., 2006). Keadaan fisiologis ternak yang terganggu akan
menyebabkan produktifitas ternak juga ikut terganggu (Murtidjo, 1992), untuk
meminimalkan gangguan tersebut dapat dilakukan dengan cara menentukan proporsi
pemberian ransum.
Ransum
yang diberikan pada ternak dalam proporsi yang berbeda akan menyebabkan kondisi
fisiologis seperti suhu tubuh (panas tubuh), denyut nadi, dan frekuensi nafas
akan berbeda akibat perbedaan proses fermentasi atau metabolisme yang terjadi
dalam tubuh, perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap respon produksi suatu
ternak (McDowell, 1972).
1.5 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
proporsi pemberian
ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam akan mempengaruhi fisiologis sapi
Peranakan Simental, seperti frekuensi pernafasan, frekuensi denyut jantung, dan
suhu tubuh;
2.
proporsi pemberian
ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam akan mempengaruhi tingkat
konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh harian, dan konversi ransum sapi Peranakan
Simental;
3.
adanya proporsi pemberian ransum yang terbaik terhadap respon
fisiologis dan produksi sapi Peranakan Simental.
2.1 Sapi Potong
Sapi
potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil
daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Sapi pedaging memiliki ciri-ciri seperti
tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya maksimum,
laju pertumbuhan cepat, cepat mencapai
dewasa, dan efisiensiransumnyatinggi (Haryanti, 2009).Menurut Blakelydan
David (1992), tujuan pemeliharaan sapi potongadalah untuk digemukkan, sapi-sapi
ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, dipelihara secara intensif selama
beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk
dipotong.
Menurut
Stiadi (2011), kriteria pemilihan sapi potong yang baik adalah sapi dengan
jenis kelamin jantan karena sapi jantan akan mengalami pertumbuhan
yang
relatif cepat dibandingkan dengan sapi betina, umur sapi sebaiknya 1— 2 tahun
karena pada usia tersebut sapi mengalami laju pertumbuhan yang tinggi, mata
bersinar, kulit lentur, sehat, nafsu makan baik, bentuk badan persegi panjang,
dada lebar dan dalam, temperamen tenang, dari bangsa yang mudah beradaptasi dan
berasal dari keturunan genetik yang baik.
2.2Sapi
Peranakan Simental
Menurut
Fikar dan Ruhyadi (2010), sapi Simental adalah bangsa Bos taurus, berasal dari daerah Simme di negara Switzerland. Tubuh sapi Simental berwarna kuning sampai
merah, sedangkan bagian muka, dada, dan rambut ekor berwarna putih serta tidak
memiliki tanduk. Sapi Simental secara
genetik adalah sapi potong yang berasal dari wilayah beriklim dingin, merupakan
sapi tipe besar, mempunyai volume rumen yang besar, kemampuan menambah konsumsi
diluar kebutuhan yang sebenarnya yang tinggi, dan laju metabolisme yang cepat,
sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yang lebih teratur.
Sapi
Simental murni sulit ditemukan di Indonesia.
Kebanyakan sapi yang ada di Indonesia merupakan sapi Peranakan Simental. Menurut Haryanti (2009), sapi Peranakan
Simental merupakan bangsa sapi persilangan dengan pertambahan bobot badan berkisar
antara 0,6 sampai 1,5 kg per hari.
2.3 Suhu dan Konsumsi
Ransum
Kebutuhan
ternak akan zat gizi terdiri atas kebutuhan hidup pokok dan produksinya. Zat-zat dalam ransum hendaknya tersedia
dalam jumlah yang cukup dan seimbang karena sangat berpengaruh terhadap daya
cerna. Kebutuhan konsumsi ransum pada
sapi potong dalam bahan kering sebanyak3—4% dari bobot badannya (Tillman et al., 1991). Bahan kering (BK) adalah bahan yang
terkandung di dalam ransum setelah dihilangkan airnya. Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi BK berhubungan
erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi,
1999).
Masyurin
et al.(2013)menyatakan bahwa tingkat
konsumsi ransum pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor internal
(kondisi ternak itu sendiri) dan faktor eksternal (lingkungan) seperti palatabilitas
ransum, sistem tempat, dan pemberian ransum serta kepadatan kandang.Dahlen dan
Stoltenow (2012), mengatakan bahwa pada saat suhu lingkungan naik, maka ternak
menggunakan energi berlebih, dan menyebabkan konsumsi ransum menurun.
Muthalib
(2002) menyatakan bahwa suhu lingkungan dapat mempengaruhi suhu tubuh ternak,
kegiatan merumput (makan), selain itu ternak yang terkena suhu tinggi akan
lebih banyak minum dan mengurangi makan karena untuk mengatur suhu tubuhnya, sehingga
efisiensi ransum jadi menurun serta mengganggu aktifitas organ-organ tubuh.Webster
dan Wilson (1980) melaporkan bahwa sapi membutuhkan zona nyaman,
yaitu temperatur lingkungan yang nyaman untuk melancarkan fungsi dalam
proses fisiologis ternak yang tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa zona
nyamanuntuk sapi dari daerah tropis adalah antara
22–30oC,
sedangkan untuk sapi daerah sedang adalah 13–25oC.
Menurut
AKK (1991), daerah tropis seperti di Indonesia ini suhu udaranya relatif lebih
tinggi, sehingga sangat berpengaruh terhadap kehidupan ternak sapi. Bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) hal ini
tidak akan menimbulkan gangguan yang berat (stres), tetapi bangsa-bangsa sapi
eropa yang dipelihara di Indonesia tentu akan menimbulkan persoalan
sendiri. Murtidjo (1992) mengatakan
bahwa iklim tropis dan pengaruhnya sangatlah kompleks. Pendekatan melalui teknologi sangatlah
penting dalam usaha pengendalian,agar ternak tidak mengalami hambatan yang
kronis.
Menurut Wijayanti et
al. (2011), daerah tropis memiliki
suhu yang lebih tinggi pada siang hari dibandingkan pada malam hari, sedangkan suhu
pemeliharaan ideal untuk sapi potong berkisar antara 17—27º C dengan kelembaban
60—80%. Tingginya
suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari mencapai 34ºC yang dapat
mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh, sehingga ternak mengalami
cekaman panas. Menurut NRC (1987), pengaruh
suhu terhadap konsumsi ransumsangatlah nyata, dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar
2. Pengaruh temperatur (oC)
terhadap konsumsi ransum (%)
(NRC, 1987).
Menurut Willimsom dan Payne (1993), produksi panas
dari pencernaan yang variasinya tergantung pada sistem pencernaan ternak,
jumlah dan kualitas makanan yang dimakan.
Hasil penelitian pada kamar iklim menunjukkan bahwa suhu lingkungan tinggi
menurunkan konsumsi ransum semua jenis sapi, tetapi konsumsi ransum pada sapi
dari jenis Bos taurus turun lebih
rendah dibandingkan dengan sapi jenis Bos
indicus. Pengaruh suhu yang tinggi
sangat besar di mana pengambilan makanan dan memamah biak akan terhenti pada
sapi jenis Bos taurus begitu suhu
naik di atas 40oC.Naiknya kelembaban pada suhu lingkungan di atas
23,9oC juga menurunkan konsumsi ransumsemua jenis sapi. Sedangkan
naiknya stres akibat radiasi menurunkan konsumsi ransumpada sapi Bos taurus, tetapi tidak sapi Bos Indicus. Pengaruh naikya tingkat radiasi matahari akan
menaikan konsumsi air. Hal ini
disebabkan ternak memerlukan lebih banyak air untuk pendinginan tubuh secara
penguapan.
Stres
panas dapat menurunkan konsumsi ransum oleh sapi. Penurunan konsumsi ransummerupakan salah satu
respon ternak mengurangi stres panas (Hann, 1999) disebabkan
produksi panas metabolik sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum (Young et al., 1997). Penurunan konsumsi ransum saat stres panas
bisa juga terjadi karena efek negatif langsung kenaikan suhu tubuh oleh
kelenjar appetite di hypotalamus (Baile dan Forbes, 1974).
2.4
Produksi Panas Metabolis
Menurut
Williamson dan Payne (1993), ternak domestik harus harus mempertahankan
keseimbangan antara panas yang diprosuksi oleh tubuh atau panas yang didapat
dari lingkungannya dengan panas yang hilang ke lingkungannya. Produksi panas metabolis tergantung dari produksi
panas basal untuk mempertahankan proses-proses tubuh, produksi panas dari
pencernaan yang variasinya tergantung pada sistem pencernaan ternak, jumlah,
dan kualitas makanan yang dimakan, selain itu juga dipengaruhi oleh produksi
panas dari otot dan naiknya metabolisme untuk produksi.Menurut Huitema (1986),
terdapat perbedaan dalam metabolisme basal diantara bangsa-bangsa sapi. Sapi Bos
indicus mempunyai metabolisme basal yang lebih rendah dari pada sapi Bos taurus.
Produksi
panas metabolisme basal berkaitan erat dengan luas permukaan tubuh, yang makin besar dengan bertambah kecilnya
ukuran ternak. Pada suhu sekitar yang lebih tinggi dari suhu tubuh, melalui
permukaan tubuh ternak menerima panas lingkungan secara radiasi, konduksi dan
konveksi. Oleh karena itu, makin kecil
ukuran tubuh ternak makin besar beban panas dan cekaman panas yang diderita oleh tubuh ternak selama berada
dalam lingkungan yang panas
(Arifinet al.,2013).
Pada
daerah tropis, kebutuhan energi akan lebih tinggi dibandingkan di daerah subtropis,
karena kualitas ransum yang pada umumnya relatif lebih rendah. Ransum berkualitas rendah menyebabkan produksi
panas metabolismeyang lebih tinggi, dan mengakibatkan efisiensi ransum yang
lebih rendah. Produksi panas metabolismeadalah energi yang dikeluarkan ternak
untuk proses pencernaan ransum di dalam saluran cerna. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kebutuhan energi untuk hidup pokok ternak di daerah tropis sekitar
30% lebih tinggi dibandingkan di daerah subtropis (Haryanto, 2012).
Semakin
tinggi level ransumyang diberikan, maka energi yang dikonsumsi semakin tinggi
yang berakibat pada meningkatnya panas yang diproduksi dari dalam tubuh. Akibat tingginya proses metabolisme yang
terjadi di dalam tubuh dan ditambah lagi
pengaruh panas lingkungan, halini dapat menyebabkan ternak mudah mengalami stres.Kondisi tersebut menyebabkan
ternak akan selalu berupaya mempertahankan temperatur tubuhnya padakisaran yang
normal, dengan cara melakukan
mekanismetermoregulasi (Frandson, 1992)
2.5 Manajemen
Pemberian Ransum
2.5.1 Metode pemberian
ransum
Pemberian ransum
hendaknya mencukupi kebutuhan zat gizi bagi ternak sapi dan lebih efisien agar
tidak menimbulkan kerugian. Pemberian
ransum tidak dimaksudkan kenyang, sehingga alat pencernaan terisi penuh, tetapi
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat ransum baik untuk hidup pokok
maupun untuk produksi. Agar sapi dapat
berproduksi dengan baik, maka frekuensi, dan waktu pemberian ransum harus tepat
(Nuswantara, 2002).
Pemberian ransum pada sapi potong dapat dilakukan secara
tidak dibatasi dan dibatasi. Pemberian secara tidak dibatasi sering kali
tidak efisien karena akan menyebabkan bahan ransum banyak terbuang dan ransum
yang tersisa menjadi busuk sehingga ditumbuhi jamur yang akan membahayakan
ternak bila termakan(Santosa, 2002).Sapi dengan pemberian ransum
konsentrat yang dibatasi akan meningkatkan jumlah bakteri dan protozoa,
terutama bakteri selulolitik di dalam rumen(Nuswantara, 2002).Blakely dan Bade
(1992) menyatakan bahwa pemberian konsentrat dapat dicampur sekaligus dengan
hijauan sebagai ransum lengkap.
2.5.2 Frekuensi pemberian ransum
Pertambahan
bobot badan yang cepat dan efisien pada sapi potongdilakukan dengan
memperhatikansemua makanan yang
diberikan. Keberhasilan dalam
usaha penggemukan sapi potong perlu menjalankan panca usaha ternak, yaitu
meliputi: bibit, makanan, tata laksana, kandang, dan kesehatan(Reksodiprojo,
1984). Frekuensi pemberian ransum akan
mempengaruhi tingkat konsumsi ransum dan kualitas ransum yang dikonsumsi
ternak. Semakin sering frekuensi ransum
akan semakin meningkatkan konsumsi ransum (Purbowati et al., 2003). Frekuensi
pemberian ransum minimal adalah 2 kali sehari, yaitu pemberian hijauan dan pemberian
konsentrat 3% dari berat badan per hari (Sugeng, 1996)
2.5.3 Proporsi pemberianransum
Dewell
(2010) mengatakan bahwa puncak produksi
panas dari konsumsi ransum adalah 4—6 jam setelah makan. Oleh karena itu panas produksi ternak makan
di pagi hari akan mencapai puncaknya pada tengah hari ketika suhu lingkungan
juga meningkat.
Pengaruh
langsung dari temperatur dan kelembaban terhadap produksi disebabkan meningkatnya
kebutuhan sistem tubuh untuk menghilangkan kelebihanbeban panas, pengurangan
laju metabolik, dan menyusutnya konsumsi ransum (Rumentor, 2003). Upayapengurangan
panas yang dapat dilakukan oleh sapi antara lain berteduh, mengurangi konsumsi ransum,
memperbanyak minum, peningkatan frekuensi
respirasi, meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin(Churng,
2002).
Pengaturan
waktu pemberian ransum akan bermanfaat selama periode cuaca panas, guna
menghindari stres panas pada ternak.
Pengurangan kuantitas ransum di pagi dan siang hari dimana kondisi cuaca
panas dan ternak cendrung mengurangi konsumsi ransum dan menambah kuantitas ransum
yang diberikan di malam hari saat temperatur lingkungan turun dan ternak
cendrung mengkonsumsi banyak ransum (Gaughan dan Mader,1997).Sapi yang mengkonsumsi ransum lebih banyak di malam hari dan
sedikit di siang hari dapat membantu mengurangi produksi panas metabolik pada
suhu tinggi di siang hari (Lunn, 2010).
Menurut
Dahlen dan Stoltenow (2012), proses pencernaan secara normal akan menghasilkan
panas pada tubuh sapi. Manajemen pemberian
ransum dengan jumlah sedikit di siang hari dan porsi yang lebih besar pada sore
hingga malam hari dapat menghindari potensi stres panas pada sapi, selain itu proses
fermentasi di dalam rumen berlangsung lebih baik selama suhu dingin di malam
hari.
Menurut
Frandson (1992), pada malam hari saat suhu lingkungan rendah maka aktivitas
dari kelenjar tiroid dapat menghasilkan tiroksin secara maksimal. Fungsi utama hormon tiroksin untuk
meningkatkan metabolisme dan penyerapan zat-zat nutrisi yang akan meningkatkan
absorbsi makanan, dengan demikian laju pertumbuhan akan meningkat. Pada siang hari suhu lingkungan tinggi,
kelenjar tiroid tidak menghasilkan tiroksin secara maksimal yang akan
menurunkan laju pertumbuhan.
2.6KonversiRansum
Konversi
ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi berdasarkan
bahan kering dan pertambahan bobot tubuh dalam interval waktu yang sama (Usman et al., 2013). Menurut Maddock dan Lamb (2009), pengukuran
yang paling umum dari efisiensi ransumadalah konversi ransum (FCR). Konversi ransummerupakan ukuran kotor
efisiensi ransum dan paling sering digunakan sebagai parameter untuk
mengevaluasi biaya produksi. Nilai FCR yang lebih rendah akan memberikan
keuntungan yang lebih besar pada peternak.
Nilai konversi ransum(FCR) yang baik menurut Siregar (2001) adalah
8,56—13,29 dan efisiensi penggunaan ransum untuk sapi berkisar 7,52—11,29% .
2.7Fisiologis
Ternak
Stres
panas pada ternak mengakibatkan temak mengalami gangguan fungsi fisiologis dan penurunan imunitas (Maderet al., 2006). Menurut Murtidjo (1992), perubahan lingkungan
terutama perubahan suhu memungkinkan reaksi fisiologis ternak mengarah pada
proses penyesuaian. Pemberian ransum
yang tinggi pada siang hari dapat meningkatkan suplai produksi panas dari
pencernaan yang menyebabkan ternak mudah stres dan produksi terganggu.
Esmay
dan Dixon (1986),menyatakan bahwa ternak akan melakukan respon fisiologis terhadap lingkungan eksternal untuk
mempertahankan temperatur tubuhnya.Menurut Amakiri dan Funsho (1979),suhu tubuh
dan frekuensi pernafasan merupakan parameter dasar yang dipakai untuk menduga
daya adaptasi ternak.
Ransumyang
diberikan pada ternak dalam level yang berbeda akan menyebabkan kondisi fisiologis
seperti suhu tubuh (panas tubuh), denyut
nadi dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses fermentasi
atau metabolisme yang terjadi dalam tubuh.
Perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap respon produksi suatu ternak (McDowell,
1972).
2.7.1Frekuensi
pernafasan
Frekuensi pernafasan
merupakanupaya ternak untuk mengurangi panas tubuh yang disebabkan oleh
lingkungan (Arifin et al.,
2013). Frekuensi pernafasan setiap menit
untuk setiap ternak tidak sama. Pada sapi dewasa berkisar antara 12—16 kali
setiap menit, sedangkan pada sapi muda 27—37 kali per menit (Akoso, 1996). Kecepatan pernafasan pada ternak sapi dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Kecepatan pernafasan (per menit) pada sapi
berbagai umur.
Kriteria
|
Kecepatan
Pernafasan
(kali per
menit)
|
Pedet (umur beberapa hari)
|
56
|
Pedet (umur 2 bulan)
|
37
|
Pedet (umur 6 bulan)
|
30
|
Sapi (muda—1tahun)
|
27
|
Sapi (dewasa)
|
12—16
|
Sapi (tua)
|
12—16
|
Sumber: Akosoet
al. (1991).
Laju
respirasi yang tinggi merupakan salah satu mekanisme pelepasan beban panas yang
diproduksi tubuh dengan proses evaporasi (Yousef, 1985). Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, kegelisahan,
suhu lingkungan, kebuntingan, gangguan saluran pencernaan, kondisi kesehatan
hewan, dan posisi hewan (Kelly, 1984).
Hasil penelitian Widodo et al.
(2013)menunjukkan bahwa frekuensi pernafasan sebelum diberi konsentrat lebih rendah
dibanding dengan setelah pemberian konsentrat.
Hewan yang
menunjukkan suhu tubuh lebih tinggi dari yang normal, menyebabkan kecepatan
pernafasan yang tinggi, yang dimaksudkan untuk menjaga agar suhu tubuh tetap
rendah tetapi sesungguhnya memerlukan energi yang banyak karena hewan harus
bekerja sangat berat. Kecepatan pernafasan meningkat adalah suatu tanda cekaman
panas.Terdapat beberapa laporan yang menunjukkan bahwa sapi mempunyai kelenjar
keringat yang berfungsi dan berkembang lebih baik dan lebih banyak pada Bos indicus dari pada Bos taurus sehingga jenis Bos taurus lebih mudah stres terhadap
panas (Huitema, 1986).
2.7.2 Frekuensi denyut jantung
Menurut Churng
(2002), frekuensi jantung adalah banyaknya denyut jantung dalam satu menit. Pengamatan
terhadap frekuensi jantung pada ruminansia besar (seperti sapi) dihitung secara
auskultasi dengan menggunakan
stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah
kiri. Pulsus hewan dapat dirasakan dengan menempelkan tangan pada pembuluh
darah arteri coccygeal di bawah ekor
bagian tengah sekitar 10 cm dari anus (Kelly, 1984).Denyut nadi digunakan untuk
mengetahui ketidakteraturan denyut jantung dan untuk menentukan kuat atau
tidaknya denyut (Akosoet al., 1991).
Menurut
Kelly (1984), intensitas kinerja denyut jantung dipengaruhi oleh kebuntingan,
melahirkan, laktasi, rangsangan, aktivitas mencerna makanan, ruminasi, dan suhu
lingkungan. Menurut Rosenberger (1979),
frekuensi jantung juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktifitas fisik,
dan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara. Peningkatan frekuensi jantung disebut tachycardiadan penurunan frekuensi
jantung disebut bradycardia(Akosoet al., 1991). Peningkatan denyut jantung
merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima
ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson,
1983).Frekuensi denyut jantung pada sapi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Frekuensi denyut jantung (per menit) pada
sapi berbagai umur.
Kriteria
|
Frekuensi
Denyut Jantung
(kali per
menit)
|
Pedet
|
90—110
|
Pedet lepas sapih
|
70—90
|
Sapi bunting
|
70—90
|
Pejantan dewasa
|
60—70
|
Sumber: Akosoet
al. (1991).
2.7.3Suhu tubuh
Pengukuran
suhu tubuh pada sapi biasanya dilakukan dengan menggunakan temometer di bagian
rektum. Penggunaan termometer mempunyai
manfaat yang besar sebagai petunju hewan yang dalam keadaan sakit. Termometer biasanya
terdiri dari tabung gelas berisi air raksa atau cairan lain yang mengembang
bila dihangati atau dipanasi. Bila didekatkan pada suatu suhu tertentu akan
mengembang dan naik keatas tabung ke suatu tingkat suhu yang tertera pada skala
derajat dan sepersepuluh derajat (Akosoet
al., 1991).
Menurut
Willimsom dan Payne (1993), suhu tubuh ternak sapi 38,0—39,3oC.
Produksi panas dari pencernaan yang variasinya tergantung pada sistem
pencernaan ternak, jumlah, dan kualitas makanan yang dimakan. Kelly (1984), mengatakan bahwa secara fisiologis,
suhu tubuh akan meningkat hingga
1,5—2oC
pada saat setelah makan, saat partus, terpapar suhu lingkungan yang tinggi, dan
ketika hewan banyak beraktifitas fisik maupun psikis.
Monstma
(1984),menyatakanbahwa suhu tubuh mamalia biasanya mengalami fluktuasi harian
yaitu sekitar 1oC mencapai minimum di pagi hari dan maksimum pada
siang hari.Duke’s(1995) menyatakan bahwa temperatur rektal pada ternak dipengaruhi
beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktifitas, ransum, minuman, dan pencernaan
produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung tergantung pada makan diperolehnya
dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan.Suhu tubuh sapi dalam
keadaan normal dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel
3. Suhu rektal sapi dalam keadaan normal.
Umur Sapi
|
Suhu Rektal
|
|
Celsius (oC)
|
Fahrenheit (oF)
|
|
Pedet
|
39,5
|
103,1
|
Pedet (diatas 1 tahun)
|
38,5
|
101,3
|
Sumber:Akoso
et al. (1991).
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada 3
Desember 2014—22 Januari 2015, bertempat di kandangKoperasi PT Gunung Madu
Plantation yang berada di Gunung Batin, Lampung Tengah. Analisis sampel ransum dilakukan di
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat
Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1.
kandang sapi, lengkap
dengan tempat makan dan minumnya untuk sapi per ekor sebanyak 12buah;
2.
timbangan digitalkapasitas
2000 kg dengan merk Sonic A12E danketelitian
0,5 kg sebanyak 1 buah yang digunakan untuk
menimbangsapi;
3.
timbangan kapasitas 15
kg dengan merk Five Goatdan ketelitian 0,1 kg sebanyak 1 buah yang digunakan
untuk menimbang ransum;
4.
sekop yang digunakan
untuk pembuatan ransum, 2 buah;
5.
bak ukuran 15 kg yang
digunakan untuk mendistribusikan ransum, 2 buah;
6.
termometer dengan merk
IR thermometer dengan ketelitian ± 0,3oC atau 0,54oF yang
digunakan untuk mengukur suhu tubuh sapi;
7.
thermohigrometer
untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, 2 buah;
8.
stetoskop digunakan
untuk mengukur frekuensi denyut jantung pada sapi, 1 buah;
9.
stopwatch
digunakan untuk pengukur frekuensi pernafasan dan
denyut jantung, 2 buah;
10.
counter
numberyang digunakan sebagai alat untuk
menghitung denyut jantung dan frekuensi pernafasan, 2 buah; dan
11. alat tulis dan kertas untuk mencatat data
yang diperoleh.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sapi Peranakan Simental jantan dewasa sebanyak 12ekor
dan penggunaan ransum mengikuti ransum yang tersedia di Koperasi milik PT Gunung Madu Plantation.Kandungan nutrisi dan
komposisi ransum yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel
4. Kandungan nutrisi ransum penelitian
Nutrisi
|
Kandungan dalam Ransum
(BK)
|
||
---------------------- %
----------------------
|
|||
Bahan Kering (BK)
|
38,44
|
||
Protein Kasar (PK)
|
7,72
|
||
Lemak Kasar (LK)
|
4,53
|
||
Serat Kasar
(SK)
|
17,56
|
||
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)
|
51,59
|
||
Sumber:
Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (2015).
Tabel 5. Komposisi ransum penelitian
Bahan Pakan
|
Komposisi dalam Ransum(As Feed)
|
||
------------------
(%)-------------------
|
|||
Kulit
singkong
|
29,77
|
||
Onggok
|
29,77
|
||
Tebon
Jagung
|
14,89
|
||
Kulit kopi
|
6,73
|
||
Dedak
Padi
|
6,91
|
||
Ellot
|
4,97
|
||
Bungkil
Kelapa Sawit
|
3,54
|
||
Molases
|
2,97
|
||
Garam
|
0,19
|
||
Urea
|
0,18
|
||
Mineral
dan Vitamin
|
0,08
|
||
Jumlah
|
100
|
||
Sumber: Peternakan
sapi Koperasi PT Gunung Madu Plantation, Lampung
3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga
perlakuan dan empatkelompok, sehingga penelitian ini menggunakan 12 ekor sapi
Peranakan Simental jantan.
Perlakuan
yang diberikan dalam penelitian ini adalah:
P1: pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, dan
33,3% malamhari;
P2: pemberian ransum 50% pagi, 25% siang, dan 25%
malamhari; dan
P3: pemberian ransum 25% pagi, 25% siang, dan 50%
malamhari.
Kelompok yang diberikan dalam penelitian ini
adalah:
K1: sapi
dengan berat tubuh 400—420 kg;
K2:
sapi dengan berat tubuh 380—399
kg;
K3:
sapi dengan berat tubuh 360—379 kg; dan
K4:
sapi dengan berat tubuh 330—359 kg.
Prosedur perlakuan yang diberikan adalah dengan
frekuensi pemberian ransum tiga kali sehari, yaitu pada pagi hari pukul 07.00;
siang hari pukul 13.00; dan malam hari pukul 19.00 WIB.Proporsi pemberian
ransum mengikuti perlakuan penelitian dan pemberian air minum secara tidak
dibatasi untuk semua perlakuan.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1
Persiapan penelitian
Pada tahap
persiapan penelitian ini diawali dengan membersihkan kandang, peralatan dan
lingkungan sekitar kandang, kemudian melakukan pengelompokkan terhadap 12ekor
sapi Peranakan Simental jantan
menjadi 4 kelompok berdasarkan ketentuan bobot tubuh kelompok yang ditetapkan, sehingga
dalam setiap kelompoknya terdiri atas 3 ekor sapi. Sapi-sapi dari masing-masing
kelompok kemudian dipilih secara acak untuk memperoleh perlakuan, kemudian
dimasukkan ke dalam kandang sesuai dengan rancangan percobaan dan tata letak
yang telah ditentukan, sehingga setiap perlakuan terdiri atas 4 ekor sapi. Sebelum pelaksanaan penelitian, dilakukan
masa pra penelitian selama 3 minggu yang bertujan agar sapi yang digunakan
dalam penelitian dapat beradaptasi dengan lingkungan dan perlakuan yang
diberikan.
3.4.2
Pelaksanaan penelitian
Setelah sapi
melalui masa pra penelitian, dilakuan penimbangan bobot tubuh sebagai bobot
awal (W0) perlakuan dan penimbangan sapi selanjutnya setelah 4
minggu berikutnya sebagai bobot akhir (W1). Penimbangan ransum dilakukan setiap hari
sebelum pemberian ransum dan penimbangan ransum sisa sebelum pemberian ransum
berikutnya. Pemberian air minum secara
tidak dibatasidan dilakukan pencatatan kondisi lingkungan yaitu suhudan kelembaban
kandangsetiap harinya.
3.5 Peubah yang Diamati
Peubah
yang diamati dalam penelitian ini adalah fisiologis ternak, konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh
harian, dan konversi ransum.Pengukuran fisiologis ternak (frekuensi pernafasan,
frekuensi denyut jantung, dan suhu tubuh) dilakukan setiap minggu pada saat
suhu lingkungan kritisyaitu pada pukul 13.30—15.00
WIB.
3.5.1 Frekunsi pernafasan
Pengamatan
frekuensi pernafasan dihitung menggunakan counter
number dengan cara mengamati kembang
kempis perut atau suara dari pernafasan yang timbul pada sapi selama satu menit
(Arifin et al., 2013).
3.5.2Frekuensi denyut
jantung
Pengamatan
terhadap frekuensi jantung pada ruminansia besar (seperti sapi) hitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas
apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri (Kelly, 1984).
3.5.3 Suhu tubuh
Pengukuran suhu
tubuh dilakukan menggunakan IR thermometer dengan cara menempatkan IR sensor
sekitar ± 5cm dari dahi sapi kemudian menekan tombol pengukur dan mengamati
angka yang tertera pada layar.
3.5.4 Konsumsi
ransum
Pengukuran
konsumsi ransum (kg) dilakukan setiap hari selama perlakuan dengan cara
menimbang berat ransum yang diberikan dan sisa ransum sebelum pemberian ransum
berikutnya. Konsumsi ransum harian
dihitung berdasarkan bahan kering dengan cara mengurangi jumlah rasum yang
diberikan (awal) dengan jumlah yang tersisa (akhir) keesokan harinya (Siregar,
1994). Rumus menghitung konsumsi bahan
kering (KBK) ransum adalah sebagai berikut:
3.5.5 Pertambahan bobot tubuh harian
Pertambahan
bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan sapi digital. Penimbangan awal (W0) dilakukan
pada awal perlakuan, selanjutnya dilakukan penimbangan lagi pada akhir
penelitian (W1). Penentuan pertambahan
bobot tubuh harian diperoleh dari selisih antara bobot tubuh akhir dan bobot tubuh
awal, kemudian dibagi dengan jumlah hari pengkuran (Parakkasi, 1983). Pengukuran pertambahan bobot tubuh harian
(PBTH) adalah sebagai berikut:
3.5.6Konversi
ransum
Konversi
ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi berdasarkan
bahan kering dan pertambahan bobot tubuh dalam interval waktu yang sama (Usman et al., 2013). Rumus untuk menghitung konversi ransum adalah
sebagai berikut:
3.6 Analisis
Data
Data yang diperoleh dianalisis ragam secara
statistik dengan taraf nyata 5% dan
1%. Hasil
analisis ragamyang diperolehkemudian dilanjutkan dengan uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%
dan 1% (Steel dan Torrie, 1993).
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Temperatur
dan Kelembapan Lingkungan
Suhu lingkungan
dan kelembapan udara diukur setiap 1 jam sekali pada pukul 07.00—17.00 WIB
setiap harinya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata suhu lingkungan pada
siang hari adalah 29,0 ± 1,7oC
dengan kelembapan 73,0 ± 1,7%(Tabel 6).
Tabel
6. Rata-rata suhu dan kelembapan di kandang
Koperasi PT Gunung Madu
Plantation, Lampung Tengah (Desember 2014—Januari
2015).
Waktu
|
Suhu
|
Kelembapan
|
(pukul)
|
(oC)
|
%
|
07.00
|
25,9
|
75,8
|
08.00
|
26,8
|
75,3
|
09.00
|
27,9
|
74,6
|
10.00
|
28,6
|
73,0
|
11.00
|
29,3
|
73,1
|
12.00
|
30,2
|
71,8
|
13.00
|
31,2
|
70,8
|
14.00
|
31,1
|
71,0
|
15.00
|
30,4
|
71,3
|
16.00
|
29,1
|
72,5
|
17.00
|
28,1
|
73,9
|
Rataan
|
29,0 ± 1,7
|
73,0 ± 1,7
|
Konsumsi bahan kering yang optimum pada sapi
potong menurut NRC (1987) adalah pada temperatur lingkungan 15—25oC,
apabila peningkatan suhu maupun
pada suhu yang lebih rendah akan menyebabkan fisiologis
dan metabolisme ternak terganggu, produktifitas tidak optimum, dan konversi
ransum meningkat.
Sapi Simental merupakan bangsa Bos taurusyang berasal
dari daerah Simme di negara Switzerland yang secara genetik berasal dari wilayah beriklim dingin (Fikar dan
Ruhyadi, 2010). Daerah tropis
seperti di Indonesia memilikisuhu udara yang relatif lebih tinggi,sehingga
sangat berpengaruh terhadap kehidupan ternak sapi (AKK, 1991). Menurut
Huitema (1986), sapi mempunyai kelenjar keringat yang berfungsi dan berkembang
lebih baik dan lebih banyak pada Bos
indicus dari pada Bos taurus
sehingga jenis Bos taurus lebih mudah
stres terhadap panas.Willimsom dan Payne (1993) mengatakan bahwa suhu
lingkungan tinggi menurunkan konsumsi ransum semua jenis sapi, tetapi konsumsi
ransum pada sapi dari jenis Bos taurus
turun lebih rendah dibandingkan dengan sapi jenis Bos indicus.
Webster
dan Wilson (1980) melaporkan bahwa sapi membutuhkanzona nyaman yaitu temperatur lingkungan yang nyaman untuk
melancarkan fungsi dalam proses fisiologis ternak. Menurut Yousef (1984) zona nyamanuntuk sapi
dari daerah tropis adalah antara 22—30 ºC, sedangkanuntuk sapi daerah sub
tropis adalah 13—25 ºC, dan sebagai hasil silangan antara sapi dari daerah sub
tropis dengan sapi daerah tropis, maka diduga zona nyaman untuk sapi Peranakan
Simental adalah 17—28 ºC. Berasarkan
literatur tersebut dapat diketahui bahwa suhu lingkungan kritis pada penelitian
ini terjadi selama 7 jam yaitu pada pukul 10.00—17.00WIB dan puncak suhu kritis
terjadi pada pukul 13.00—15.00 WIB.
4.2
Pengaruh
Perlakuan terhadap Frekuensi Pernafasan
Pengamatan
frekuensi pernafasan dihitung menggunakan counter
number dengan cara mengamati kembang
kempis perut atau suara dari pernafasan yang timbul pada sapi selama satu menit
(Arifin et al., 2013).Hasil pengamatan
frekuensi pernafasan sapi Peranakan Simental jantan di saat puncak suhu
lingkungan kritis pada perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda pada
pagi, siang, dan malam menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Rata-rata frekuensi pernafasan tertinggi
terdapat pada P2 yaitu
24,89± 1,64kali/menit, kemudian pada P1 yaitu 24,81± 0,55 kali/menit, dan terendah pada
P3 yaitu21,63 ± 1,30kali/menit (Tabel
7).
Tabel 7.
Rata-rata frekuensi
pernafasan sapi Peranakan Simentaljantan selama
penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
Jumlah
|
||
P1
|
P2
|
P3
|
||
-----------------------------------(kali/menit)---------------------------------
|
||||
1
|
24,25
|
27,00
|
20,75
|
72,00
|
2
|
25,00
|
24,00
|
23,50
|
72,50
|
3
|
24,50
|
25,30
|
20,75
|
70,55
|
4
|
25,50
|
23,25
|
21,50
|
70,25
|
Jumlah
|
99,25
|
99,55
|
86,50
|
285,30
|
Rataan
|
24,81a ± 0,55
|
24,89a ± 1,64
|
21,63b ± 1,30
|
23,78
|
Keterangan:
Nilai
dengan superscriptyang berbeda pada
baris yang sama menunjukkan
perbedaan
yang nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1 :
Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
P2 : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25% siang,
25% malam
P3 : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Berdasarkan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%,
diperoleh perlakuan terbaik yaitu pada P3. Hal
ini disebabkan oleh perlakuan tersebut memiliki frekuensi pernafasan yang lebih
mendekati kisaran normal dibandingkan dengan perlakuan lainnya sebagaimana menurutEnsminger
(1971) frekuensi pernafasan sapi dalam kondisi normal yaitu berkisar 10—30
kali/menit,berdasarkan literatur tersebut maka semua perlakuan masih dalam
keadaan yang normal. Namun, Akoso (1996) menegaskan bahwa frekuensi
pernafasan akan menurun dengan meningkatnya umur ternak, yaitu pada
sapi dewasa 12—16 kali setiap menit, sedangkan pada sapi muda 27—37 kali per
menit.
Hasil
penelitian ini juga menununjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan hasil
penelitian Setiadi et al. (1999)
bahwa pada persilangan antara sapi Simental dan Bali memiliki frekuensi
pernafasan 47,42 ± 3,12 kali/menit dan menurut Irawan et al. (2012) pada sapi Peranakan Limousin yang juga merupakan
salah satu jenis sapi bangsa Bos taurus(Busono
et al., 2007)frekuensi pernafasan pada
siang hari adalah 27,4—28,2 kali/menit.Hal ini didugakarena adanya perbedaan suhu
lingkungan, dimana suhu optimum pada penelitian Irawan et al. (2012) adalah 38,67oC dengan rata-rata suhu
harian 31,9oC.
Frekuensi
pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh,
umur, aktifitas fisik,kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, gangguan
saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly, 1984). Hasil penelitian Wibowo et al. (2013)menunjukkan bahwa frekuensi pernafasan sebelum diberi
konsentrat lebih rendah dibanding dengan setelah pemberian konsentrat.Frekuensi
pernafasan merupakanupaya ternak untuk mengurangi panas tubuh yang disebabkan
oleh lingkungan (Arifin et al.,
2013).
Tingginya
frekuensi pernafasan pada P1 dan P2 dibandingkan P3 (Tabel 7) diduga disebabkan
proporsi pemberian ransum yang lebih tinggi di pagi dan siang hari dimana rata-rata
suhu lingkungan tertinggi di daerah tropis terjadi pada siang hari (Yani dan Purwanto, 2005)yaitu mencapai
rata-rata 31,2oC dengan kelembapan 70,8%(Tabel 6). Sapi yang
mengkonsumsi ransum lebih banyak di malam hari dan sedikit di siang hari dapat
membantu mengurangi produksi panas metabolik pada suhu tinggi di siang hari
(Lunn, 2010). Pemberian ransum yang lebih banyak pada pagi dan siang hari
tidak efisien dilakukan karena akan memicu terjadinya stres panas (Dahlen dan
Stoltenow, 2012). Stres panaspada ternak
mengakibatkan ternak mengalami gangguan fungsi fisiologis(Mader et al., 2006).
Menurut
Dewell (2010), puncak produksi panas dari konsumsi ransum adalah 4—6 jam
setelah makan. Oleh karena itu panas
produksi ternak makan di pagi hari akan mencapai puncak pada tengah hari ketika
suhu lingkungan meningkat. Menurut Frandson (1992), semakin tinggi level ransum
yang diberikan, maka energi yang dikonsumsi semakin tinggi yang berakibat pada
meningkatnya panas yang diproduksi dari dalam tubuh, akibat tingginya proses
metabolisme yang terjadi dalam tubuh dan ditambah lagi pengaruh panas
lingkungan, halini dapat menyebabkan ternak mudah mengalami stres.
Ternak
akanberusaha mempertahankan suhu
tubuhnya dalam keadaan relatif konstan dengan cara melakukan
mekanismetermoregulasi (Frandson, 1992)antara lain melalui peningkatan frekuensi pernafasan (Milleret al., 1993; Churng, 2002). Laju respirasi yang tinggi
merupakan salah satu mekanisme pelepasan beban panas yang diproduksi tubuh
dengan proses evaporasi (Yousef, 1985).
4.3
Pengaruh
Perlakuan terhadap Frekuensi Denyut Jantung
Pengamatan
terhadap frekuensi denyut jantung dilakukan dengan cara menghitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas
apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri (Kelly, 1984).Hasil pengamatan
frekuensidenyut jantung sapiPeranakan Simental jantan di saat puncak suhu lingkungan
kritis pada perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang,
dan malam menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Rata-rata frekuensi denyut jantung tertinggi
terdapat pada P2 yaitu 90,13±
0,85kali/menit, kemudianpadaP1 yaitu 90,00± 0,71 kali/menit, dan terendah pada P3 yaitu 84,63 ± 4,87 kali/menit (Tabel 8).
Tabel 8.
Rata-rata frekuensi
denyut jantung sapi Peranakan Simentaljantan
selama penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
Jumlah
|
||
P1
|
P2
|
P3
|
||
----------------------------------(kali/menit))---------------------------------
|
||||
1
|
90,00
|
91,00
|
78,00
|
259,00
|
2
|
91,00
|
89,00
|
86,50
|
266,50
|
3
|
89,50
|
90,50
|
89,50
|
269,50
|
4
|
89,50
|
90,00
|
84,50
|
264,00
|
Jumlah
|
360,00
|
360,50
|
338,50
|
1059,00
|
Rataan
|
90,00a ± 0,71
|
90,13a ± 0,85
|
84,63b ± 4,87
|
88,25
|
Keterangan:
Nilai
dengan superscript yang berbeda pada
baris yang sama menunjukkan
perbedaan
yang nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1 :
Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
P2 : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3 : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Berdasarkan uji lanjut
beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%, diperoleh perlakuan terbaik
yaitu pada P3. Hal ini disebabkan oleh
perlakuan tersebut memiliki frekuensi denyut jantung yang lebih mendekati
normal dibandingkan dengan perlakuan lainnya sebagaimana
menurut Kelly (1984) dan Akoso et al.
(1991) frekuensi denyut jantung normal pada sapi per menitnya adalah 55—80;
atau 86,5 ± 5,62 kali/menit pada persilangan antara sapi Simmental dan Bali
(Setiadi et al.,1999).
Menurut
Rosenberger (1979), frekuensi jantung juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
aktifitas fisik, dan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembapan udara. Kelly (1984) mengatakan bahwa kebuntingan,
rangsangan, aktivitas mencerna makanan, dan ruminasi juga mempengaruhi intensitas
kinerja denyut jantung. Peningkatan denyut
jantung merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang
diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson, 1983).
Perbedaan
yang nyata (P<0,05) pada frekuensi denyut jantung diduga disebabkan oleh perlakuan
yang dilakukan, sebagaimana menurut Dahlen
dan Stoltenow (2012), pemberian ransum yang lebih banyak pada pagi dan siang
hari tidak efisien dilakukan karena akan memicu terjadinya stres panas.
Payne
dan Cooper (1988), mengatakan bahwa stresdapat memicu pengeluaran hormon adrenalin
yang tinggi serta dapat mempercepat kekejangan arteri koroner, sehingga suplai
aliran darah ke otot jantung menjadi terganggu.
Fungsi jantung dipengaruhi oleh saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan
saraf parasimpatis. Saraf
simpatis memengaruhi fungsi jantung serta pembuluh darah dan pemacunya
menyebabkan naiknya frekuensi denyut jantung, bertambah kuatnya kontraksi otot
jantung, dan vasokonstriksi pembuluh darah persisten.
4.4
Pengaruh
Perlakuan terhadap Suhu Tubuh
Pengukuran suhu
tubuh sapi dilakukan menggunakan IR thermometer yang dilakukan dengan
menempatkan IR sensor sekitar ± 5cm dari dahi sapi.Hasil pengukuran suhu tubuh
sapi Peranakan Simental jantan di saat puncak suhu lingkungan kritis menunjukkan
bahwa rata-rata suhu tubuh sapi tertinggi terdapat pada P2 yaitu 38,78± 0,06oC, kemudian pada P1 yaitu 38,77± 0,13oC, dan terendah pada
P3 yaitu 38,65 ± 0,10oC,namun setelah
dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang
berpengaruh nyata terhadap suhu tubuh sapi (Tabel 9).
Tabel 9.
Rata-rata suhu
tubuh sapi Peranakan Simentaljantan selama
penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
Jumlah
|
||
P1
|
P2
|
P3
|
||
---------------------------------------(oC)---------------------------------------
|
||||
1
|
38,90
|
38,70
|
38,73
|
116,33
|
2
|
38,85
|
38,75
|
38,60
|
116,20
|
3
|
38,68
|
38,80
|
38,75
|
116,23
|
4
|
38,63
|
38,85
|
38,53
|
116,01
|
Jumlah
|
155,06
|
155,10
|
154,61
|
464,77
|
Rataan
|
38,77a ± 0,13
|
38,78a ± 0,06
|
38,65a ± 0,11
|
38,73
|
Keterangan:
Nilai
dengan superscript yang sama pada
baris yang sama menunjukkan
perbedaan
tidak nyata (P>0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1 :
Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
P2 : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3 : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Menurut
Setiadi et al. (1999) sapi
persilangan antara Simental dan Bali memiliki suhu tubuh 38,82 ± 0,35°C dan menurut
Williamson dan Payne (1993), suhutubuh sapinormal adalah 38,0—39,3oC. Berdasarkan literatur tersebut suhu tubuh
sapi untuk semua perlakuan masih dalam kisaran keadaan normal.
Ternak
domestik harus mempertahankan keseimbangan antara panas yang diproduksi oleh
tubuh atau panas yang didapat dari lingkungannya dengan panas yang hilang ke
lingkungannya (Williamson dan Payne, 1993).Kelly (1984), mengatakan bahwa secara
fisiologis, suhu tubuh akan meningkat hingga 1,5—2ºC pada saat setelah makan,
saat partus, terpapar suhu lingkungan yang tinggi, dan ketika hewan banyak
beraktifitas fisik maupun psikis. Duke (1995),
menyatakan bahwa temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu
temperatur lingkungan, aktifitas, ransum, minuman, dan pencernaan produksi
panas oleh tubuh secara tidak langsung tergantung pada makan diperolehnya dan
banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan.
Perlakuan
proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata (P>0,05), diduga disebabkan oleh panas
metabolisme yang diperoleh dari proporsi ransum perlakuan masih dapat diatasi
ternak, meskipun jumlah proporsi yang berbeda dapat menghasilkan respon
fisiologis berbeda (McDowell, 1972) namun ternak akanberusaha mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan relatif
konstan dengan cara melakukan mekanismetermoregulasi (Frandson, 1992)antara lain melalui peningkatan frekuensi
pernafasan (Milleret al., 1993; Churng,
2002) dan peningkatan denyut
jantung untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih
dingin (Anderson, 1983). Dugaan ini didukung
oleh hasil pengukuran frekuensi pernafasan (Tabel 7) dan frekuensi denyut
jantung (Tabel 8) yang mengalami peningkatan dengan meningkatnya proporsi
pemberian ransum di pagi dan siang hari.
4.5
Pengaruh
Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum
dihitung berdasarkan bahan kering dengan cara mengurangi jumlah ransum yang
diberikan dengan jumlah yang tersisa keesokan harinya (Siregar, 1994). Hasil
pengukuran konsumsi ransum sapi Peranakan Simental jantan menunjukkan bahwa
rata-rata konsumsi bahan kering (BK) ransum sapi tertinggi terdapat pada P1 yaitu9,04± 0,44 kg/ekor/hari, kemudianpada P3 yaitu 9,02± 0,46 kg/ekor/hari, dan terendah pada
P2 yaitu 8,81 ± 0,99
kg/ekor/hari, namun setelah dilakukan analisis ragam dapat
diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap konsumsi BK
ransum sapi (Tabel 10).
Tabel 10.
Rata-rata konsumsi
bahan kering (BK) ransumsapi
Peranakan
Simentaljantan selama penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
Jumlah
|
||
P1
|
P2
|
P3
|
||
------------------------------------(kg/ekor/hari)------------------------------
|
||||
1
|
9,37
|
9,62
|
9,59
|
28,58
|
2
|
8,69
|
9,55
|
8,95
|
27,19
|
3
|
8,63
|
8,56
|
9,05
|
26,24
|
4
|
9,45
|
7,51
|
8,48
|
25,44
|
Jumlah
|
36,14
|
35,24
|
36,07
|
107,45
|
Rataan
|
9,04a ± 0,44
|
8,81a ± 0,99
|
9,02a ± 0,46
|
8,95
|
Keterangan:
Nilai
dengan superscript yang sama pada
baris yang sama menunjukkan
perbedaan
tidak nyata (P>0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1 :
Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
P2 : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3 : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Bahan
kering (BK) adalah bahan yang terkandung di dalam ransum setelah dihilangkan
airnya. Kemampuan ternak untuk
mengkonsumsi BK berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran
pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999).Kebutuhan konsumsi ransum pada
sapi potong dalam bahan kering sebanyak3—4% dari bobot tubuhnya (Tillman et al., 1991). Hasil penelitian Antonius (2009) konsumsi BK
ransum sapi Peranakan Simental dengan bobot tubuh 378,25 ± 45 kg adalah 9,93 ±
0,31 kg BK/ekor/hari. Berdasarkan
literatur tersebut, hasil penelitian ini memiliki konsumsi BK ransum yang lebih
lebih rendah.
Dahlen
dan Stoltenow (2012), bahwa pada saat suhu lingkungan naik, maka ternak
menggunakan energi berlebih, dan menyebabkan konsumsi ransum menurun. Penurunan konsumsi ransum merupakan salah
satu respon ternak mengurangi stres panas (Hann, 1999) disebabkan oleh produksi
panas metabolik sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum (Young et al., 1997). Penurunan konsumsi ransum ternak saat stres
panasbisa juga terjadi karena efek negatif langsung kenaikan suhu tubuh oleh
kelenjar appetite di hypotalamus (Baile dan Forbes, 1974).
Perlakuan
proporsi pemberian ransum yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap
konsumsi ransumdiduga disebabkan oleh pembatasan pemberian ransum yang
diharapkan dapat menghasilkan respon yang baik terhadap produktifitas maupun fisiologis
sapi potong, sebagaimana menurut Nuswantara (2002), sapi dengan pemberian
ransum konsentrat yang dibatasi dapatmeningkatkan jumlah bakteri dan protozoa,
terutama bakteri selulolitik di dalam rumen.
4.6
Pengaruh
Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Tubuh Harian
Penentuan
pertambahan bobot tubuh harian diperoleh dari selisih antara bobot tubuh akhir
dan bobot tubuh awal, kemudian dibagi dengan jumlah hari pengukuran (Parakkasi,
1983). Hasil pengukuran pertambahan
bobot tubuh harian (PBTH) sapi Peranakan Simental jantan menunjukkan bahwa
rata-rata PBTH sapi tertinggi terdapat pada P3 yaitu 0,67± 0,16 kg/ekor/hari, kemudianpada P2 yaitu 0,58± 0,33 kg/ekor/hari, dan terendah pada P1 yaitu 0,55 ± 0,20 kg/ekor/hari, namun setelah
dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang berpengaruh
nyata terhadap PBTH sapi ( Tabel 11).
Tabel 11. Rata-rata pertambahan bobot tubuh
harian (PBTH) sapi Peranakan
Simentaljantan selama penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
Jumlah
|
||
P1
|
P2
|
P3
|
||
------------------------------------(kg/ekor/hari)------------------------------
|
||||
1
|
0,64
|
0,80
|
0,88
|
2,32
|
2
|
0,25
|
0,91
|
0,71
|
1,87
|
3
|
0,61
|
0,38
|
0,52
|
1,51
|
4
|
0,68
|
0,21
|
0,55
|
1,44
|
Jumlah
|
2,18
|
2,30
|
2,66
|
7,14
|
Rataan
|
0,55a ± 0,20
|
0,58a ± 0,33
|
0,67a ± 0,16
|
0,60
|
Keterangan:
Nilai
dengan superscript yang sama pada
baris yang sama menunjukkan
perbedaan
tidak nyata (P>0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1 :
Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
P2 : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3 : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Menurut Haryanti
(2009), sapi Peranakan Simental merupakan bangsa sapi persilangan dengan
pertambahan bobot tubuh 0,6—1,5 kg per hari.
Berdasarkan literatur tersebut, P3 mencapai kisaran PBTH pada umumnya
dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Hasil ini juga didukung menurut Frandson (1992),
bahwa pada malam hari saat suhu lingkungan rendah maka aktivitas dari kelenjar
tiroid dapat menghasilkan tiroksin secara maksimal. Fungsi utama hormon tiroksin untuk
meningkatkan metabolisme dan penyerapan zat-zat nutrisi yang akan meningkatkan
absorbsi makanan, dengan demikian laju pertumbuhan akan meningkat. Pada siang hari suhu lingkungan tinggi,
kelenjar tiroid tidak menghasilkan tiroksin secara maksimal yang akan
menurunkan laju pertumbuhan.
Perlakuan
proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05), diduga disebabkan pengaruh
perlakuan yang juga tidak berbeda nyata terhadap jumlah konsumsi bahan kering
ransum (Tabel 10), sehingga terdapat persamaan jumlah nutrisi yang masuk
kedalam tubuh.
4.7
Pengaruh
Perlakuan terhadap Konversi Ransum
Konversi
ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi berdasarkan
bahan kering dan pertambahan bobot tubuh dalam interval waktu yang sama (Usman et al., 2013). Hasil pengukuranmenunjukkan
bahwa konversi ransumtertinggi terdapat pada P2 yaitu 20,09± 11,40, kemudianpada P1 yaitu 19,37± 10,26, dan terendah pada P3 yaitu 14,07 ± 2,90, namun setelah
dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang
berpengaruh nyata terhadap konversi ransumsapi Peranakan Simental jantan (Tabel
12).
Tabel 12.
Rata-rata konversi
ransumsapi Peranakan Simentaljantan selama
penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
Jumlah
|
||
P1
|
P2
|
P3
|
||
1
|
14,58
|
11,97
|
10,96
|
37,51
|
2
|
34,75
|
10,48
|
12,52
|
57,75
|
3
|
14,21
|
22,83
|
17,49
|
54,53
|
4
|
13,92
|
35,07
|
15,31
|
64,30
|
Jumlah
|
77,46
|
80,35
|
56,28
|
214,09
|
Rataan
|
19,37a ± 10,26
|
20,09a ± 11,40
|
14,07a ± 2,90
|
17,84
|
Keterangan:
Nilai
dengan superscript yang sama pada
baris yang sama menunjukkan
perbedaan
tidak nyata (P>0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1 :
Proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3% siang, 33,3% malam
P2 : Proporsi pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3 : Proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Nilai
konversi ransum (FCR)yang baik untuk sapi potong menurut Siregar (2001) adalah 8,56—13,29. Hasil penelitian Haryanti (2009) nilai
konversi ransum sapi Peranakan Simental adalah 11,25—12,99. Berdasarkan literatur tersebut nilai FCR yang
paling mendekati kisaran normal adalah pada P3 yaitu 14,07 ± 2,90 dibandingkan dengan perlakuan
lainnya.
Menurut
Maddock dan Lamb (2009), pengukuran yang paling umum dari efisiensi ransumadalah
konversi ransum. Konversi
ransummerupakan ukuran kotor efisiensi ransum dan paling sering digunakan sebagai
parameter untuk mengevaluasi biaya produksi.
Perlakuan proporsi pemberian ransum yang
berbeda pada pagi, siang, dan malam tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05) disebabkan oleh jumlah konsumsi bahan kering
(BK) ransum (Tabel 10) dan juga pertambahan bobot tubuh harian (Tabel 11) yang
juga tidak memberikan hasil yang berbeda nyata.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1.
proporsi pemberian
ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap frekuensi pernafasan dan frekuensi denyut jantung, namun tidak berpengaruhnyata
(P>0,05) terhadap suhu tubuh sapi Peranakan Simental;
2.
proporsi pemberian
ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan malam tidak berpengaruh nyata(P>0,05)
terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh harian, dan konversi ransum
sapi Peranakan Simental;
3.
proporsi pemberian ransum yang terbaik terhadap respon fisiologis sapi adalah
proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% siang dan 50% malam (P3) dan tidak ada
perlakuan yang memberikan respon produksi terbaik.
B. Saran
Saran
yang diajukan penulis berdasarkan penelitian ini adalah:
1.
manajemen
pemberian ransum pada usaha penggemukan sapi Peranakan Simental jantan
sebaiknya menggunakan proporsi pemberian ransum 25% pagi, 25% malam, dan 50%
malam atau dapat menggunakan proporsi yang lebih tinggi pada siang hari apabila
menggunakan teknologi manipulasi iklim;
2.
penelitian
selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan waktu yang lebih panjang.
DAFTAR
PUSTAKA
Aksi
Agraris Kanisius. 1991. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius. Yogyakarta.
Akoso,
B.T., G.Tjahyowati, dan S. Pangastoeti.
1991. Manual untuk Paramedis Kesehatan
Hewan. Food and Agriculture Organizatio of The United Nations Rome. Edisi kedua. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.
Akoso,
B.T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta.
Amakiri,
S.P., dan O.N. Funsho. 1979. Studies of rectal temperature, respiratory rates
and heat tolerance in cattle in humit
tropics. Journal Animal Production. Departement of Veterinary Anatomy. Nigeria.
No. 3, vol. 1, pp. 329—335.
Anderson,
B.E. 1983. Temperature Regulation and Environmental Physiology. In: Duke’s Physiology of Domestic Animal 10th Ed.
Swenson, Comstock Publishing, Association and Division of Cornell University
Press. London.
Antonius. 2009. Potensi jerami padi hasil fermentasi
probion sebagai bahan pakan dalam ransum sapi Simental. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Sumatra Utara.
Arifin.
S., H. Nugroho, dan W. Busono. 2013.
Nilai HTC (heat tolerance coefficient) pada sapi Peranakan Ongole (PO) betina
dara sebelum dan sesudah pemberian konsentrat di daerah dataran rendah. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Malang.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
2014. Prakiraan
cuaca Provinsi Lampung.http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/propinsi/10. (1 Oktober 2014).
Baile,
C.A., dan Forbes,J.M. 1974. Control of feed intake and regulation of
energi balance in ruminants.Physiology Review. No. 2, vol. 54, pp. 150—214.
Blakely,
J.,dan D.H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Penerjemah B.Srigandono. Penyunting
Sudarsono. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Busono,
W. 2007.
Keseimbangan Fisiologis untuk Optimasi Produksi Ternak.Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang.
Churng,
F.L. 2002. Feeding Management and Strategies for Lactating
Dairy Cows Under Heat
Stress. International Training on
Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research.
Hsinchu. Taiwan.
Dahlen,
C.R., dan C.L. Stoltenow. 2012. Dealing
with Heat Stress in Beef Cattle Operation.
North Dakota State University Fargo. North Dakota.
Dewell,
G. 2010. Heat stress in beef cattle. http://vetmed.iastate.edu/vdpam/extension/beef/current-events/heat-stress-beef-cattle.
(1 Oktober 2014).
Duke’s.
1995. Physiology of Domestic Animal. Comstock
publishing. New Work University Collage. Amerika.
Ensminger, M.E.
1991. Animal Science. 9th
Edition. The Interstate Printers And Publisher.
Inc. Deville, Illionis. USA.
Esmay,
M.L. dan J.E. Dixon. 1986. Environmental Control for Agricultural Buildings. The AVI Publishing Company, Inc. Westport,
Connecticut.
Fikar,
S., dan D. Ruhyadi. 2010. Beternak dan Bisnis Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta Selatan.
Frandson, R.D.
1992. Anatomi dan Fisiologi
Ternak. Diterjemahkan oleh: Srigandono, B., dan
K. Praseno. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Gaughan.
J.B., dan T.L. Mader. 1997. Managing
Heat Stress on Feedlot Cattle Throught Nutrition. Armidale NSW. Australia.
Hann,
G.L. 1999. Dynamic responses of cattle
to thermal heat loads. Journal of Animal
Science. No. 2, vol. 77, pp 10—20.
Haryanti, N.W.
2009. Kualitas pakan dan
kecukupan nutrisi sapi Simental di peternakan Mitra Tani Andini, Kelurahan
Gunung Pati, Kota Semarang. Fakultas Peternakan. Universitas Diponogoro.
Haryanto,
B. 2012. Perkembangan Penelitian Nutrisi
Ruminansia. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Huitema,
H. 1986. Peternakan di Daerah Tropis,
Arti Ekonomi dan Kemampuannya.
Gramedia. Jakarta.
Irawan,
A.,H. Nugroho, dan W. Busono 2012. Nilai HTC (heat tolerance coefficient)pada
sapi Peranakan Limousin (LIMPO) betina dara sebelum dan sesudah diberi
konsentrat di daerah dataran rendah. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya. Malang.
Kelly, W.R.
1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London:
BailliereTindall.
Lunn, D.
2010. Managing heat stress in beeff
cattle. Journal. Nutreco Canada Inc.www.nutrecocanada.com/docs/shur-gain-beef/managing-heat-stres-in-beef-cattle.pdf. (1
Oktober 2014).
Maddock,
T.D., dan G.C. Lamb. 2009. The Economic Impact of Feed Efisiensi in Beef
Cattle. University of Florida.
Mader, T.L.,
M.S. Davis,dan B. Brandl, 2006.Environmental factors influencing heat stress in
feedlot cattle. Journal of Animal
Science. No. 1, vol. 84. pp. 712.
Masyhurin,
A., H. Nugroho, dan M. Nasich.
2013. Pertambahan bobot badan,
konsumsi dan konversi pakan induk sapi Brahman Cross denganpakan basal jerami
padi dan suplementasi yang berbeda. Skripsi.
Fakultas Peternakan.Universitas Brawijaya. Malang.
McDowell,
R.E. 1972. Improvement
of Livestock Production in Warm Climates. W.H. Freeman. San Francisco.
USA.
Miller,
J.K., E.B. Slebodzinska, dan F.C. Madsen.
1993. Oxidative stress, Antioxidant,
and Animal function. J. Dairy. No. 9, vol. 19, pp. 23.
Monstma,
G. 1984. Tropical Animal Production I (Climats and Housing). T20 D Lecture
Notes. XE 400—103.
Murtidjo,
B.A. 1992. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.
Muthalib,
R.A. 2002. Kajian beberapa faktor genetik dan non genetik
terhadap produktifitas kambing PE di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. No. 3, vol.
5, pp.112–-119.
National
Research Council. 1987. Predicting Feed Intake of Food-Producing
Animals. National Academies Press.
Nuswantara,
L.K. 2002. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan. Universitas Diponogoro. Semarang.
Parakkasi,
A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak. Angkasa. Bandung.
-----------------------.
1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak
Ruminansia. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Payne,
R. dan C.L. Cooper. 1988. Causes, Coping, and Consequences of Stress at
Work. Wiley. New York.
Purbowati, E., R.T. Mulatsih, dan Surahmanto. 2003.
Pemberdayaan Masyarakat Petani dengan Penerapan Teknologi Penggemukan Berbasis
Pakan Lokal di Kelurahan Podorejo Kecamatan Ngaliyan. Universitas Diponogoro.
Semarang.
Reksodiprojo,
S. 1984. Pengembangan Peternakan di
Daerah Transmigrasi. BPFE. Yogyakarta.
Rumentor,
S.D. 2003. Stres
Panas Pada Sapi
Perah Laktasi. Makalah Falsafah
Sains. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rosenberger, G. 1979. Clinical Examination of
Cattle. Berlin & Hamburg: Verlag Paul Parley.
Sampurna, I.P. 2012. Pakan dan Nutrisi. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Bali.
Santosa, U. 2002. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Setiadi, B., A. Thahar., J.
Juarni., dan P. Sitorus. 1999. Analisis
sumber daya genotipik dan fenotipik sapi
persilangan (impor x Bali). Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Balai
Penelitian Ternak. Bogor.
Simatupang, P., E.Jamal, dan Togatorop.
1995. Analisis ekonomi perusahaan
inti rakyat (PIR) sapi potong di Bali. Jurnal
Penelitian Peternakan Indonesia. No. 2, vol. 2,pp. 12—17.
Siregar,
S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.
----------------------. 2001.
Penggemukan Sapi. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Stell, R.G.D.,
dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan
Biometrik . Terjemahan. Penerjamah. B. Sumantri. Gramedia. Jakarta.
Stiadi,
D.S. 2011. PKP ( Penyuluh Pertanian BPP Sukra ) Memilih
Bakalan Sapi Untuk digemukan. Balai
Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sukra.
Cirebon.
Sugeng,
B. 1996. Sapi Potong. Edisi 5. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tillman, A.D., S, Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, H. Hartadi,dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Usman,
Y., E.M. Sari, dan N. Fadilla. 2013.
Evaluasi pertambahan bobot badan sapi aceh jantan yang diberi imbangan
antara hijauan dan konsentrat di Balai Pembibitan Ternak Unggul Indrapuri. Skripsi.
Fakultas Pertanian. Universitas Syiah Kuala. Aceh.
Webster,
C.C., dan P.N. Wilson. 1980. Agriculture in Tropics. The English Language
Book Society and Longman Group. London.
Widodo,
W. Busono, dan H. Nugraha. 2013. Nilai HTC (heat tolerance coefficient)pada
sapi Peranakan Limousin (LIMPO) betina dara sebelum dan sesudah diberi
konsentat di daerah dataran tinggi. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Willimsom,
G., dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropis. Cetakan pertama.
Edisi ketiga. Universitas Gajah
Mada Press. Yogyakarta.
Yani,
A., dan B.P. Purwanto. 2005. Pengaruh
iklim mikro terhadap respon fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan
modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. Jurnal. Fakultas
Peternakan. IPB.Bogor. No. 1, vol. 20, pp. 35—44.
Young,
B.A., A.B. Hall., P.J. Goodwin, dan J.B. Gaughan. 1997. Identifyng excessive heat load,
livestock environment. No. 5, vol. 1, pp. 572.
Yousef,
M.K. 1985. Stress physiology in livestock basic principles.CRC Press Inc. Boca
Raton. Florida. No. 4, vol. 2, pp. 357—358.
Comments
Post a Comment