PROPORSI PEMBERIAN RANSUM SAPI YANG TEPAT
PROPORSI PEMBERIAN RANSUM YANG BERBEDA PADA PAGI, SIANG, DAN MALAM TERHADAP
RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SAPI PERANAKAN SIMENTAL
THE INFLUENCE OF THE PROPORTION OF THE DISTRIBUTION OF FEED IN THE MORNING,
AFTERNOON, AND NIGHT TOWARD PHYSIOLOGICAL AND PRODUCTION RESPONCE OF SIMENTAL
CATTLE GRADE
Nia Yuliyanti1),
Erwanto2), Siswanto2)
1) Mahasiswa Jurusan Peternakan,
Fakultas Pertanian, Universitas lampung
2) Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas
Pertanian, Universitas lampung
Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro
No. 1, Gedung Meneng, Bandar Lampung 35145
ABSTRACT
The objective of this research is to know the influence
of the proportion of the distribution of feed in the morning, afternoon, and
night toward physiological and production response of Simental Cattle Grade. The
parameters measured is respiration rate, heart rate, body temperature, dry
matter intake, average daily gain, and feed convertion ratio. This research is
implemented by using Randomized Block Design (RBD) with three treatment and
four group. Beef cattle used is bull of Simental Cattle Grade with body weights
330—420 kg. The treatment that used is
proportion of the distribution of feed 33,3% morning, 33,3% afternoon, 33,3%
night (P1); 50% morning, 25% afternoon,
25% night (P2); and 25% morning, 25% afternoon, 50% night (P3). The data from
this research is tested by using analyzed of variance and continued with Least
Significance Difference (LSD). The
result of this research shows that by the proportion of the distribution of feedin different in the morning, afternoon, and night have positive
influence (P<0,05) toward physiological response on the respiration rate, and
heart rate, but have not positive influential (P>0,05) toward body
temperature and response of production on the dry matter intake, average daily
gain, and feed conversion ratio. The proportion of feed (P3) is the best
treatment to the physiological response of cattle and no treatment that gives
the best production response.
Keywords:(Simental Cattle Grade, Proportion of feed, Physiological response, Production
response).
PENDAHULUAN
Peternakan di Indonesia saat ini mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Perkembangan tersebut
diiringi pula dengan meningkatnya kebutuhan daging untuk masyarakat sebagai
salah satu sumber protein hewani.
Menurut Simatupang et al.
(1995), usaha ternak sapi potong berpotensi untuk dikembangkan karena sapi
potong merupakan penyumbang daging terbesar produksi daging nasional.
Menurut Yani dan Purwanto
(2005), tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari mencapai
34ºC. Menurut Aksi Agraris Kanisius/AKK (1991), pada bangsa-bangsa sapi lokal
(tropis) hal ini tidak akan menimbulkan gangguan yang berat (stres), tetapi
bangsa-bangsa sapi eropa yang dipelihara di Indonesia tentu dapat mengalami
masalah tersendiri seperti stres panas.
Menurut Dahlen dan Stoltenow (2012), proses pencernaan
secara normal akan menghasilkan panas pada tubuh sapi. Manajemen pemberian ransum dengan jumlah
sedikit di siang hari dan porsi yang lebih besar pada sore hingga malam hari
dapat menghindari potensi stres panaspada sapi, selain itu proses fermentasi di
dalam rumen berlangsung lebih baik selama suhu dingin di malam hari. Oleh karena itu penelitian ini dirancang
untuk mengetahui pengaruh proporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi,
siang, dan malam hari terhadap respon fisiologis dan produksi sapi potong.
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Desember
2014—Januari 2015, di Peternakan Koperasi PT Gunung Madu Plantation yang berada di
Gunung Batin, Kabupaten Lampung Tengah.
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kandang sapi, timbangan sapi, timbangan
ransum, termometer infrared, stetoskop, stopwatch,counter
number, dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah sapi Peranakan
Simental jantan sebanyak 12 ekor dengan bobot tubuh 330—420 kg dan ransum. Kandungan nutrisi ransum yang digunakan tertera
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrisi ransum penelitian
Nutrisi
|
Kandungan
|
---------(%)-------
|
|
Bahan Kering (BK)
|
38,44
|
Protein Kasar (PK)
|
7,72
|
Lemak Kasar (LK)
|
4,53
|
Serat Kasar (SK)
|
17,56
|
Bahan Ekstrak Tanpa
Nitrogen (BETN)
|
51,59
|
Sumber: Hasil analisis proksimat
Laboratorium Nutrisi
dan Makanan Ternak,Fakultas Pertanian,
UniversitasLampung(2015).
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan
dan empat kelompok. Perlakuan yang
diberikan dalam penelitian ini adalah proporsi pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3%
siang, dan 33,3% malam (P1);50% pagi, 25% siang, dan 25% malam (P2);danproporsi
pemberian ransum 25% pagi, 25% siang, dan 50% malam (P3).Kelompok dalam penelitian ini adalah sapi dengan berat
tubuh 400—420 kg (K1); 380—399 kg (K2); 360—379 kg (K3); dan330—359 kg (K4).Pemberian
ransum dilakukan pada pagi hari pukul 07.00; siang hari pukul 13.00; dan malam
hari pukul 19.00 WIB.
D. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis ragam secara statistik dengan taraf nyata 5%
dan 1% kemudian dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5% dan 1% (Stell dan Torrie, 1993).
F. Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah frekuensi pernafasan,
frekuensi denyut jantung, suhu tubuh, konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh
harian, dan konversi ransum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Suhu dan Kelembaban Lingkungan
Suhu
lingkungan dan kelembapan udara diukur setiap 1 jam sekali pada pukul 07.00—17.00 WIB setiap harinya.Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata suhu lingkungan pada siang hari adalah
29,0± 1,7oC dengan kelembapan 73,0 ± 1,7% (Tabel 2).
Tabel 2. Suhu dan kelembapan
di kandangKoperasi
PT
Gunung MaduPlantation, Lampung Tengah
(Desember 2014—Januari 2015).
Waktu
|
Suhu
|
Kelembapan
|
(pukul)
|
(oC)
|
%
|
07.00
|
25,9
|
75,8
|
08.00
|
26,8
|
75,3
|
09.00
|
27,9
|
74,6
|
10.00
|
28,6
|
73,0
|
11.00
|
29,3
|
73,1
|
12.00
|
30,2
|
71,8
|
13.00
|
31,2
|
70,8
|
14.00
|
31,1
|
71,0
|
15.00
|
30,4
|
71,3
|
16.00
|
29,1
|
72,5
|
17.00
|
28,1
|
73,9
|
Rataan
|
29,0 ± 1,7
|
73,0 ± 1,7
|
Konsumsi bahan kering yang optimum pada sapi
potong menurut National Research Council/NRC (1987) adalah pada temperatur lingkungan 15—25oC,
apabila peningkatan suhu maupun pada suhu yang lebih rendah akan menyebabkan
fisiologis dan metabolisme ternak terganggu, produktifitas tidak optimum dan
konversi ransum meningkat.
Webster dan
Wilson (1980) melaporkan bahwa sapi membutuhkan comfort zone, yaitu
temperatur lingkungan yang nyaman untuk melancarkan fungsi dalam proses fisiologi
ternak. Menurut Yousef (1985) comfort zone
untuk sapi dari daerah tropis adalah antara 22—30 ºC, sedangkan untuk sapi
daerah sub tropis adalah13—25 ºC, dan sebagai hasil silangan antara sapi dari
daerah sub tropis dengan sapi daerah tropis, maka diduga comfort zone untuk sapi Peranakan Simental adalah 17—28 ºC. Berasarkan literatur tersebut dapat diketahui
bahwa suhu lingkungan kritis pada penelitian ini terjadi selama 7 jam yaitu
pada pukul 10.00—17.00 WIB dan puncak suhu kritis terjadi pada pukul
13.00—15.00 WIB.
B.
Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Pernafasan
Hasil
pengamatan frekuensi pernafasan sapi Peranakan Simental jantan menunjukkan
hasil yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap perlakuan. Rata-rata frekuensi pernafasan tertinggi
terdapat pada P2 yaitu24,89± 1,64kali/menit, kemudian pada P1 yaitu 24,81± 0,55 kali/menit,dan terendah pada
P3 yaitu 21,63 ± 1,30 kali/menit (Tabel 3).
Tabel
3. Rata-rata frekuensi pernafasan sapi Peranakan
Simental jantan selama penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
|||
P1
|
P2
|
P3
|
||
--------------------(kali/menit)-------------------
|
||||
1
|
24,25
|
27,00
|
20,75
|
|
2
|
25,00
|
24,00
|
23,50
|
|
3
|
24,50
|
25,30
|
20,75
|
|
4
|
25,50
|
23,25
|
21,50
|
|
Jumlah
|
99,25
|
99,55
|
86,50
|
|
Rataan
|
24,81a
± 0,55
|
24,89a
±1,64
|
21,63b
±1,30
|
|
Keterangan:
Nilai dengan superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1: pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3%
siang, 33,3% malam
P2: pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3: pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Berdasarkan uji lanjut
menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%, diperoleh
perlakuan terbaik yaitu pada P3.
Hal ini dikarenakan pada perlakuan tersebut memiliki frekuensi
pernafasan yang lebih mendekati normal dibandingkan dengan perlakuan lainnya
sebagaimana menurut menurut Ensminger
(1971) frekuensi pernafasan sapi dalam kondisi normal yaitu berkisar 10—30
kali/menit, berdasarkan literatur tersebut maka semua perlakuan masih dalam
keadaan yang normal. Namun, Akoso (1996) menegaskan bahwa frekuensi pernafasan akan
menurun dengan meningkatnya umur ternak, yaitu pada sapi dewasa berkisar antara
12—16 kali/menit.
Hasil
penelitian ini juga menununjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan hasil
penelitian Setiadi et al. (1999) bahwa pada
persilangan antara sapi Simental dan Bali memiliki frekuensi pernafasan 47,42 ±
3,12 kali/menit dan menurut Irawan et al.
(2012) pada sapi Peranakan Limousin yang juga merupakan salah satu jenis sapi
bangsa Bos taurus (Busono, 2007) frekuensi
pernafasan pada siang hari adalah 27,4—28,2 kali/menit. Hal ini diduga karena adanya perbedaan suhu
lingkungan, dimana suhu optimum pada penelitian Irawan et al. (2012) adalah 38,67oC dengan rata-rata suhu
harian 31,9 oC.
Frekuensi pernafasan merupakan upaya ternak untuk
mengurangi panas tubuh yang disebabkan oleh lingkungan (Arifin et al., 2013). Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, suhu
lingkungan, gangguan saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi
hewan (Kelly, 1984).
Tingginya frekuensi pernafasan pada P1 dan P2
dibandingkan P3 (Tabel 3) diduga disebabkan proporsi pemberian ransum yang
lebih tinggi di pagi dan siang hari dimana rata-rata suhu lingkungan tertinggi
di daerah tropis terjadi pada siang hari (Yani dan Purwanto, 2005) yaitu mencapai rata-rata 31,2oC
dengan kelembaban 70,8% (Tabel 1). Pemberian ransum yang lebih banyak pada
pagi dan siang hari tidak efisien dilakukan karena akan memicu terjadinya stres
panas(Dahlen dan Stoltenow,
2012). Stres panaspada ternak mengakibatkan temak mengalami
gangguan fungsi fisiologis (Mader et al.,
2006).
Semakintinggi level ransum yang diberikan, maka energi
yang dikonsumsi semakin tinggi yang berakibat pada meningkatnya panas yang
diproduksi dari dalam tubuh, akibat tingginya proses metabolisme yang terjadi
dalam tubuh dan ditambah lagi pengaruh panas lingkungan, hal ini dapat
menyebabkan ternak mudah mengalami stres.
Ternak akan berusaha
mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan relatif konstan dengan cara
melakukan mekanisme termoregulasi (Frandson, 1992) antara lain melalui peningkatan frekuensi pernafasan (Miller et al., 1993; Churng, 2002). Laju respirasi yang tinggi merupakan salah
satu mekanisme pelepasan beban panas yang diproduksi tubuh dengan proses
evaporasi (Yousef, 1985).
C.
Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Denyut Jantung
Hasilpengukuranfrekuensi denyut jantung menunjukkan
hasil yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap
perlakuan(Tabel 4).
Tabel
4. Rata-rata frekuensi denyut jantung sapi Peranakan
Simental
jantan selama penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
|||
P1
|
P2
|
P3
|
||
-------------------(kali/menit)-----------------
|
||||
1
|
90,00
|
91,00
|
78,00
|
|
2
|
91,00
|
89,00
|
86,50
|
|
3
|
89,50
|
90,50
|
89,50
|
|
4
|
89,50
|
90,00
|
84,50
|
|
Jumlah
|
360,00
|
360,50
|
338,50
|
|
Rataan
|
90,00a
± 0,71
|
90,13a
±0,85
|
84,63b
±4,87
|
|
Keterangan:
Nilai dengan superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1: pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3%
siang, 33,3% malam
P2: pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3: pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Rata-rata
frekuensi denyut jantung tertinggi terdapat pada P2yaitu 90,13± 0,85kali/menit, kemudianpadaP1 yaitu 90,00± 0,71 kali/menit, dan terendah pada P3 yaitu 84,63 ± 4,87 kali/menit. Berdasarkan uji lanjut
menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%, diperoleh
perlakuan terbaik yaitu pada P3. Hal ini
dikarenakan pada perlakuan tersebut memiliki frekuensi denyut jantung yang
lebih mendekati normal dibandingkan dengan perlakuan lainnya sebagaimana
menurut menurut
Kelly (1984) dan Akoso et al. (1991)
frekuensi denyut jantung normal pada sapi per menitnya adalah 55—80; atau 86,5
± 5,62 kali/menit pada persilangan antara sapi Simmental dan Bali (Setiadiet al., 1999).
Menurut Kelly (1984) frekuensi denyut jantung dipengaruhi
oleh, aktivitas mencerna makanan,kebuntingan, rangsangan dan ruminasi. Peningkatan denyut jantung merupakan respon ternak
untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin
(Anderson, 1983).
Perbedaan yang nyata (P<0,05) pada frekuensi denyut
jantung diduga disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan, sebagaimana menurut Dahlen dan Stoltenow (2012), pemberian
ransum yang lebih banyak pada pagi dan siang hari tidak efisien dilakukan
karena akan memicu terjadinya stres panas.
Menurut Payne dan Cooper (1988), stres dapat memicu pengeluaran
hormon adrenalin yang tinggi serta dapat mempercepat kekejangan arteri koroner,
sehingga suplai aliran darah ke otot jantung menjadi terganggu. Fungsi jantung dipengaruhi oleh saraf otonom,
yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
Saraf simpatis memengaruhi fungsi jantung serta pembuluh darah dan
pemacunya menyebabkan naiknya frekuensi denyut jantung, bertambah kuatnya
kontraksi otot jantung, dan vasokonstriksi pembuluh darah persisten.
D.
Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Tubuh
Hasil pengukuran suhu tubuh menunjukkan
bahwa rata-rata tertinggi terdapat pada P2 yaitu38,78± 0,06oC, kemudian pada P1 yaitu 38,77± 0,13oC, dan terendah pada P3 yaitu
38,65 ± 0,10oC, namun setelah
dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang
berpengaruh nyata terhadap suhu tubuh sapi(Tabel 5).
Tabel
5. Rata-rata suhu tubuh sapi Peranakan Simental
jantan selama penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
|||
P1
|
P2
|
P3
|
||
------------------------(oC)-----------------------
|
||||
1
|
38,90
|
38,70
|
38,73
|
|
2
|
38,85
|
38,75
|
38,60
|
|
3
|
38,68
|
38,80
|
38,75
|
|
4
|
38,63
|
38,85
|
38,53
|
|
Jumlah
|
155,06
|
155,10
|
154,61
|
|
Rataan
|
38,77a
± 0,13
|
38,78a
±0,06
|
38,65a
±0,11
|
|
Keterangan:
Nilai
dengan superscript yangsama pada
baris yang sama
menunjukkan perbedaan tidak nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil
(BNT).
P1: pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3%
siang, 33,3% malam
P2: pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3: pemberian ransum 25% pagi, 25% siang,
50% malam
Menurut Setiadi et al.
(1999) sapi persilangan antara Simental dan Bali memiliki suhu
tubuh 38,82 ± 0,35°C dan menurut
Williamson dan Payne (1993), suhu tubuh sapi normal adalah 38,0—39,3oC.Berdasarkan
literatur tersebut suhu tubuh sapi untuk semua perlakuan masih dalam kisaran
keadaan normal.
Ternak domestik
harus mempertahankan keseimbangan antara panas yang diproduksi oleh tubuh atau
panas yang didapat dari lingkungannya dengan panas yang hilang ke lingkungannya
(Williamson dan Payne, 1993).Kelly (1984),
mengatakan bahwa secara fisiologis, suhu tubuh akan meningkat hingga 1,5—2ºC
pada saat setelah makan, saat partus, terpapar suhu lingkungan yang tinggi, dan
ketika hewan banyak beraktifitas fisik maupun psikis.
Perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda pada
pagi, siang, dan malam menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05),
diduga karena panas metabolisme yang diperoleh dari proporsi ransum perlakuan
masih dapat diatasi ternak, meskipun jumlah proporsi yang berbeda dapat menghasilkan
respon fisiologis berbeda (McDowell, 1972) namun ternak akan berusaha mempertahankan suhu tubuhnya
dalam keadaan relatif konstan dengan cara melakukan mekanisme
termoregulasi (Frandson, 1992) antara
lain melalui peningkatan frekuensi pernafasan (Miller et al., 1993; Churng, 2002) dan peningkatan denyut untuk menyebarkan panas yang
diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson, 1983). Dugaan ini didikung oleh hasil pengukuran
frekuensi pernafasan (Tabel 3) dan frekuensi denyut jantung (Tabel 4) yang
mengalami peningkatan dengan meningkatnya proporsi pemberian ransum di pagi dan
siang hari.
E.
Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum
Hasil pengukuran konsumsi bahan kering (BK) ransum sapi rata-rata tertinggi terdapat pada P1yaitu 9,04± 0,44 kg/ekor/hari, kemudianpada
P3 yaitu 9,02±
0,46 kg/ekor/hari, dan terendah pada
P2 yaitu 8,81 ± 0,99 kg/ekor/hari, namun setelah
dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang
berpengaruh nyata terhadap konsumsi BK ransum sapi(Tabel 6).
Tabel 6. Rata-rata konsumsi bahan kering (BK) ransum
sapi Peranakan Simental jantan selama penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
|||
P1
|
P2
|
P3
|
||
-----------------(kg/ekor/hari)------------------
|
||||
1
|
9,37
|
9,62
|
9,59
|
|
2
|
8,69
|
9,55
|
8,95
|
|
3
|
8,63
|
8,56
|
9,05
|
|
4
|
9,45
|
7,51
|
8,48
|
|
Jumlah
|
36,14
|
35,24
|
36,07
|
|
Rataan
|
9,04a
± 0,44
|
8,81a
±0,99
|
9,02a
±0,46
|
|
Keterangan:
Nilai dengan superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan
tidak nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1: pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3%
siang, 33,3% malam
P2: pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3: pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Kebutuhan konsumsi ransum pada sapi potong dalam bahan
kering (BK) sebanyak 3—4% dari bobot tubuhnya (Tillman et al., 1991). Hasil
penelitian Antonius (2009) konsumsi BK ransum sapi Peranakan Simental dengan
bobot tubuh 378,25 ± 45 kg adalah 9,93 ± 0,31 kg/ekor/hari. Berdasarkan literatur tersebut, hasil
penelitian ini memiliki konsumsi BK ransum yang lebihrendah.
Penurunan konsumsi ransum merupakan salah satu respon
ternak mengurangi stres panas (Hann, 1999) dikarenakan produksi panas metabolik
sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum (Young et al., 1997). Penurunan
konsumsi ransum saat stres panasbisa juga terjadi karena efek negatif langsung
kenaikan suhu tubuh oleh kelenjar appetite
di hypotalamus (Baile dan Forbes,
1974).
Perlakuan proporsi pemberian ransum yang tidak berbeda nyata
(P>0,05) terhadap konsumsi ransum diduga disebabkan oleh pembatasan
pemberian ransum yang diharapkan dapat menghasilkan respon yang baik terhadap
produktifitas maupun fisiologis, sebagaimana menurut Nuswantara (2002), sapi
dengan pemberian ransum konsentrat yang dibatasi dapat meningkatkan jumlah
bakteri dan protozoa, terutama bakteri selulolitik di dalam rumen.
F.
Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Tubuh
Harian
Hasil pengukuran PBTH sapi menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi
terdapat pada P3 yaitu 0,67± 0,16 kg/ekor/hari, kemudianpada P2 yaitu 0,58± 0,33 kg/ekor/hari, dan terendah pada P1 yaitu 0,55 ± 0,20kg/ekor/hari, namun setelah
dilakukan analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang
berpengaruh nyata terhadap PBTH sapi (Tabel 7).
Tabel 7. Rata-rata pertambahan bobot tubuh harian
(PBTH)
sapi Peranakan Simental jantan selama
penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
|||
P1
|
P2
|
P3
|
||
-----------------(kg/ekor/hari)------------------
|
||||
1
|
0,64
|
0,80
|
0,88
|
|
2
|
0,25
|
0,91
|
0,71
|
|
3
|
0,61
|
0,38
|
0,52
|
|
4
|
0,68
|
0,21
|
0,55
|
|
Jumlah
|
2,18
|
2,30
|
2,66
|
|
Rataan
|
0,55a
± 0,20
|
0,58a
±0,33
|
0,67a
±0,16
|
|
Keterangan:
Nilai dengan superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan
tidak nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1: pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3%
siang, 33,3% malam
P2: pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3: pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Menurut
Haryanti (2009), sapi Peranakan Simental merupakan bangsa sapi persilangan
dengan pertambahan bobot tubuh 0,6—1,5 kg per hari. Berdasarkan literatur tersebut, P3 mencapai kisaran PBTH pada umumnya dibandingkandengan
perlakuan lainnya.Hasil ini
juga didukung menurut Frandson (1992), bahwa pada
malam hari saat suhu lingkungan rendah maka aktivitas dari kelenjar tiroid
dapat menghasilkan tiroksin secara maksimal.
Fungsi utama hormon tiroksin untuk meningkatkan metabolisme dan
penyerapan zat-zat nutrisi yang akan meningkatkan absorbsi makanan, dengan
demikian laju pertumbuhan akan meningkat.
Pada siang hari suhu lingkungan tinggi, kelenjar tiroid tidak
menghasilkan tiroksin secara maksimal yang akan menurunkan laju pertumbuhan.
Perlakuan proporsi pemberian ransum yang berbeda pada
pagi, siang, dan malam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05),
diduga disebabkan pengaruh perlakuan yang juga tidak berbeda nyata terhadap
jumlah konsumsi bahan kering ransum, sehingga terdapat persamaan jumlah nutrisi
yang masuk kedalam tubuh.
G.
Pengaruh Perlakuan
terhadap Konversi Ransum
Hasil
pengukuran konversi ransum menunjukkan bahwa
rata-rata tertinggi
terdapat pada P2 yaitu 20,09± 11,40, kemudianpada P1 yaitu 19,37± 10,26, dan terendah pada P3 yaitu
14,07 ± 2,90, namun setelah dilakukan analisis ragam dapat
diketahui bahwa tidak ada perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap konversi
ransum (Tabel 8).
Tabel
8. Rata-rata konversi ransum sapi Peranakan Simental
jantan selama penelitian.
Kelompok
|
Perlakuan
|
|||
P1
|
P2
|
P3
|
||
1
|
14,58
|
11,97
|
10,96
|
|
2
|
34,75
|
10,48
|
12,52
|
|
3
|
14,21
|
22,83
|
17,49
|
|
4
|
13,92
|
35,07
|
15,31
|
|
Jumlah
|
77,46
|
80,35
|
56,28
|
|
Rataan
|
19,37a
± 10,26
|
20,09a
±11,40
|
14,07a
±2,90
|
|
Keterangan:
Nilai dengan superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan
tidak nyata (P<0,05) pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
P1: pemberian ransum 33,3% pagi, 33,3%
siang, 33,3% malam
P2: pemberian ransum 50% pagi, 25%
siang, 25% malam
P3: pemberian ransum 25% pagi, 25%
siang, 50% malam
Nilai
FCR yang baik untuk sapi potong menurut Siregar (2001) adalah 8,56—13,29. Hasil penelitian Haryanti (2009) nilai
konversi sapi Peranakan Simental adalah 11,25—12,99. Berdasarkan literatur tersebut nilai FCR yang
paling mendekati kisaran
normal adalah pada P3, yaitu 14,07 ± 2,90 dibandingkan dengan
perlakuan lainnya.
Menurut Maddock dan Lamb (2009), pengukuran yang paling
umum dari efisiensi ransum adalah konversi ransum (FCR). Konversi ransum merupakan ukuran kotor
efisiensi ransum dan paling sering digunakan sebagai parameter untuk
mengevaluasi biaya produksi.
Perlakuan proporsi pemberian ransum
yang berbeda pada pagi, siang, dan malam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05) dikarenakan jumlah konsumsi bahan kering (BK) ransum (Tabel 6) dan juga
pertambahan bobot tubuh harian (Tabel 7) yang juga tidak memberikan hasil yang
berbeda nyata.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwaproporsi pemberian ransum yang berbeda pada pagi, siang, dan
malam berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap frekuensi pernafasan dan frekuensi
denyut jantung, namun tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap suhu tubuh, konsumsi
ransum, pertambahan bobot badan harian, dan konversi ransum sapi Peranakan
Simental.
DAFTAR PUSTAKA
Aksi
Agraris Kanisius. 1991. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja.Kanisius.Yogyakarta.
Akoso,
B.T., G. Tjahyowati, dan S. Pangastoeti.
1991. Manual untuk Paramedis Kesehatan
Hewan. Food and Agriculture Organizatio of The United Nations Rome. Edisi kedua.Tiara Wacana Yogya.Yogyakarta.
Akoso,
B.T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius.Yogyakarta.
Anderson,
B.E. 1983. Temperature regulation and environmental physiology. In: Duke’s Physiology of Domestic Animal 10th Ed.
Swenson, Comstock Publishing, Association and Division of Cornell University
Press. London.
Antonius. 2009. Potensi jerami padi hasil fermentasi
probion sebagai bahan pakan dalam ransum sapi Simental. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner.Sumatra Utara.
Arifin.S.,
H. Nugroho, dan W. Busono.2013. Nilai HTC (heat
tolerance coefficient) pada sapi Peranakan Ongole (PO) betina
dara sebelum dan sesudah pemberian konsentrat di daerah dataran rendah.Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Baile,
C.A., dan Forbes, J.M. 1974. Control of feed intake and regulation of
energi balance in ruminants. Physiology Review.No. 1,vol.54,
pp.150-214.
Busono,
W. 2007.
Keseimbangan Fisiologis untuk Optimasi Produksi Ternak.Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang.
Churng,
F.L. 2002. Feeding Management
and Strategies for Lactating Dairy Cows under Heat Stress. International
Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan.
Dahlen,
C.R., dan C.L. Stoltenow. 2012. Dealing
with Heat Stress in Beef
Cattle operation.
North Dakota State University Fargo. North Dakota.
Ensminger, M.E.
1971. Dairy Cattle Science. The Interstate Printersand Publisher.Inc.
Danville,Illinois.
Frandson, R.D.
1992. Anatomi dan Fisiologi
Ternak. Diterjemahkan oleh: Srigandono, B. dan
K. Praseno. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Hann, G.L.
1999. Dynamic responses of cattle
to thermal heat loads. Journal of Animal
Science. No. 2,vol.77, pp. 10—20.
Haryanti, N.W.
2009. Kualitas pakan dan kecukupan
nutrisi sapi Simental di peternakan Mitra Tani Andini, Kelurahan Gunung Pati,
Semarang. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Universitas Diponogoro.
Irawan,
A., H. Nugroho, dan W. Busono 2012. Nilai HTC (heat
tolerance coefficient) pada sapi Peranakan Limousin (LIMPO) betina dara sebelum dan sesudah diberi konsentrat. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Kelly,
W.R. 1984. Veterinary Clinical
Diagnosis. London: BailliereTindall.
Maddock,
T.D., dan G.C. Lamb. 2009. The Economic Impact of Feed Efisiensi in Beef
Cattle. University of Florida.
Mader,
T.L., M.S. Davis,, dan B. Brandl, 2006.
Environmental factors influencing heat stress in feedlot cattle. Journal of Animal Science.No. 1,vol.84, pp.712.
McDowell, R.E. 1972.
Improvement of Livestock
Production in Warm Climates. W.H. Freeman. San Francisco. USA.
Miller,
J.K., E.B. Slebodzinska, dan F.C.
Madsen. 1993. Oxidative stress, Antioxidant, and Animal function. J.
Dairy. No. 9, vol. 79,pp. 23.
National
Research Council. 1987. Predicting Feed
Intake of Food-Producing Animals. National Academies Press.
Nuswantara,
L.K. 2002. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan. Universitas Diponogoro. Semarang.
Payne,
R. dan Cooper, C.L. 1988. Causes, Coping, and Consequences of Stress at
Work. Wiley. New York.
Setiadi, B., A. Thahar., J.
Juarni., dan P. Sitorus. 1999. Analisis
sumber daya genotipik dan fenotipik sapi
persilangan (impor x Bali). Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Balai
Penelitian Ternak. Bogor.
Simatupang, P., E.
Jamal, dan Togatorop. 1995.
Analisis ekonomi perusahaan inti rakyat (PIR) sapi potong di Bali. Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia. No. 2,vol. 2, pp. 12-17.
Siregar,
S.B. 2001. Penggemukan Sapi. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Stell,
R.G.D., dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip
dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik .Terjemahan.Penerjamah.B.
Sumantri. Gramedia. Jakarta.
Tillman,A.D.,
S, Reksohadiprodjo,S. Prawirokusumo,
H. Hartadi danS. Lebdosoekojo. 1991.
Ilmu Makanan Ternak Dasar.
Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Webster,
C.C. dan P.N. Wilson. 1980. Agriculture in Tropics. The English Language
Book Society and Longman Group. London.
Williamson, G. dan W.J.A. Payne.1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.Cetakan
pertama.Edisi ketiga. Universitas Gajah
Mada Press. Yogyakarta.
Yani,
A., dan B.P. Purwanto. 2005. Pengaruh
iklim mikro terhadap respon fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi
lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. Fakultas Peternakan. IPB.
Bogor.Jurnal. No.1, vol. 20, pp. 35-44
Young,
B.A., A.B. Hall., P.J. Goodwin, dan J.B. Gaughan. 1997.
Identifyng excessive heat load, livestock environment. No.5, vol.1, pp. 572.
Yousef,
M.K. 1985. Stress physiology in livestock basic principles. CRC Press Inc. Boca
Raton. Florida. No. 4, vol. 2,pp. 357-358.
Comments
Post a Comment