PERMASALAHAN DAN PENANGANAN INFEKSI ORGAN REPRODUKSI
A. Latar Belakang
Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak
kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah.Salah satu
kendala tersebut adalah masih banyaknya gangguan reproduksi menuju kemajiran pada
ternak betina. Akibatnya, efisiensi reproduksi akan menjadi rendah dan
kelambanan perkembangan populasi ternak. Dengan demikian perlu adanya
pengelolaan ternak yang baik agar daya tahan reproduksi meningkat sehingga
menghasilkan efisiensi reproduksi tinggi yang diikuti dengan produktivitas
ternak yang tinggi pula.
Infeksi Organ
Reproduksi pada ternak sapi
telah diidentifikasi sebagai penyebab utama rendahnya efisiensi reproduksi
(Kumar dan Kumar, 2006).Infeksi saluran reproduksi menyebabkan terjadinya gangguan
terhadap aktivitas reproduksi ternak dan menyebabkan menurunnya efisiensi
reproduksi.
Infeksi ini dapat berupa infeksi secara non
spesifik maupun spesifk yakni yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun jamur.
Oleh karena banyaknya kejadian gangguan reproduksi yang disebabkan karena
infeksi organ reproduksi inilah yang melatarbelakangi penulisan makalah ini
untuk mengetahui apa saja jenis infeksi yang dapat terjadi pada organ
reproduksi dan penanganannya.
B.
Tujuan
Tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah agar
mahasiswa mengetahui:
1. Apa
yang dimaksud dengan infeksi organ reproduksi,
2. Jenis-jenis infeksi yang dapat terjadi
pada organ reproduksi, dan
3. Penanggulangan dan pencegahan terjadinya Infeksi organ reproduksi.
3. Penanggulangan dan pencegahan terjadinya Infeksi organ reproduksi.
BAB II ISI
DAN
PEMBAHASAN
Infeksi Organ
Reproduksi
Jenis
Infeksi organ reproduksi ada yang bersifat spesifik dan ada pula yan non
spesifik. Yakni diantaranya:
A. Infeksi non spesifik
Yang
termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya:
a) Metritis
Septica Puerperalis
·
Etiologi
Puerperal metritis terjadi dalam beberapa hari postcalving,
radang akut terjadi perubahan pada endometrial, myometrial
dan lapisan peritoneal dari uterus dalam 10 hari setelah partus (Andrew, 2004).
Kasus ini terjadi mengikuti fase abnormal pada saat
partus, khususnya pada kasus distokia, uterine inertia, twin births, dan
kerusakan dari vulva dan atau birth canal.. Organism yang paling sering
menginfeksi adalah Actinomyces
pyogenes, group C streptococci, haemolytic
staphylococci, coliforms, and Gram-negative anaerobes,terutama Bacteroides spp (Arthur, 2001).
·
Patogenesis
Bakteri kolonisasi pada non-involuted uterus, menghasilkan
toxins yang akan diserap oleh kapiler dan akan mengakibatkan gejala yang parah.
Arcanobacterium pyogenes menghasilkan haemolytic
exotoxin yang mempunyai dermonecrotizing activity. Bakteri ini juga
menghasilkan protease dan neuraminidase, sebagi salah satu faktor virulence.
Reaksi purulent typical dari infeksi A. pyogenes pathogenic. Arcanobacterium pyogenes umumnya
menyebabkan suppurative lesions pada banyak hewan domestik (Arthur, 2001).
Khususnya sapi, kambing, domba. Beberapa organ dapat terinfeksi, lymphadenitis,
osteomyelitis, peritonitis , pyometra, metritis and mastitis.
·
Gejala Klinis
Pengejanan
dari abdominal dan keluar leleran berwarna kemerahan sampai cokelat berbau
busuk dari vulva. Sangat umum terjadi toksemia, septicaemia, pyrexia
(40–41°C), tachypnoea, tachycardia(100/menit),
anorexia, rumen stasis and dehydration, toxaemia
menginduksi diarrhoea dan shock. Infeksi juga dapat menyebar dari dinding
uterus kedalam peritoneum, yang akan menyebabkan peritonitis. Uterus berisi
toksin, eksudat busuk, kemerahan dan serous. Eksplorasi rectum meyebabkan
rasa tidak nyaman dan disertai usaha expulsive persistent. Sering juga diikuti
dengan mastitis, terutama pada saat rebah dan juga sering dibarengi dengan
hipokalsemia. Vulva dan vagina membengkak. (Arthur, 2001).
·
Diagnosa
Dilihat dari gejala klinis
1)
Pengambilan
sampel dari exudates, aspirates dan jaringan samples
untuk culture danhistopathology.
2)
Blood dan MacConkey
agars diinokulasi dengan specimen dan diinkubasi 37OC untuk 5 hari.
·
Terapi dan Penanganan
Pemberian 50 i.u. of oxytocin secara IV akan menyebabkan
kontraksi uterus dan expulsive dari cairan dan debris sisa partus. Penyakit ini
paling baik dengan pemberian systemic broad-spectrum antibiotics dan terapi
supportive. Intrauterine antibiotics tidak dapat menghilangkan infeksi kecuali
apabila hewan sudah menunjukakan peningkatan kesahatan dan temperature yang
normal dan beberapa antibiotic seperti nitrofurazone, neomycin dan beberapa
sulphonamides, akan menyebabkan kerusakan pada endometrium. Demikian juga
dengan pemberian infuse dari iodine cair akan berbahaya pada endometrium.
Infuse intrauterine dari tetracyclines mungkin efektif untuk kasus ringan dari
endometritis, tapi tidak dapat penetrasi jauh ke dalam dinding uterus, harus
diberikan pda dosis 10 - 15mg/kg.
b)Pyometra
Pyometra
berasal dari dua kata, yaitu pyo yang artinya nanah dan metra yang artinya
uterus. Pyometra merupakan penyakit dimana terjadi penimbunan nanah pada uterus
akibat terjadinya endometritis kronis (M. Arifin Basyir, 2007).
·
Patogenesis
Bakteri yang
menyebabkab pyometra adalah Escherichia
coli, Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas, dan Proteus spp.
Selain itu, Penyakit kelamin menular seperti brucellosis, trichomoniasis dan
vibrosis juga menyebabkan pyometra. Kista hiperplasia endometrium dan akumulasi
sekresi uterus mendukung perkembangan dan menyediakan tempat yang sesuai untuk
pertumbuhan bakteri. Progesteron juga menghambat respon sel darah putih
terhadap infeksi bakteri (Kusuma, 2010).
Pyometra
adalah hasil dari pengaruh hormonal yang menurunkan ketahanan tubuh normal
terhadap infeksi.Dan hal ini sudah dibuktikan bahwa uterus sapi lebih peka
terhadap infeksi sewakyu metestrus dibanding dengan estrus. Kadar estrogen
berlebih dalam darah (hyper estrogenism) menyebabkan hanya sedikit
leukosit-leukosit yang tiba di dalam mucossa saluran genital dan menyebabkan
infeksi uterus mudah terjadi. Bakteri yang secara normal ada dalam uterus
maupun yang berasal dari luar tubuh kemudian pindah dari vagina ke uterus
melalui aliran darah berkembang biak diantara glandula uterina dan lumen. Jika
bakteri tersebut sangat virulent, sel darah putih (leukosit) tidak bisa
membunuhnya. Leukosit akan mati dan terakumulasi sebagai nanah / pus. Nanah dan
sekresi kelenjar uterin yang tertimbun di dalam uterus tidak dapat dikeluarkan
karena kadar progesteron yang tinggi mengakibatkan negatif feedback (efek
negatif) pada kelenjar pituitaria anterior sehingga kadar esterogen rendah dan
kontraksi uterus berkurang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya korpus
luteum dan kista-kista folikel pada ovarium hewan yang menderita pyometra
(Kusuma, 2010).
·
Gejala
Klinis
Pada sapi betina
penderita pyometra adalah tidak munculnya birahi dalam waktu yang lama atau
anestrus, siklus birahi hilang karena adanya korpus luteumpersisten. Terdapat
timbunan nanah dari 200- 20.000 ml di dalam rongga uterus dan hanya keluar dari
vagina pada waktu sapi berbaring dan sapi akan merasakan sakit didaerah abdomen
(Toleihere, 1985).
Suatu
pengeluaran cairan seperti nanah yang terjadi 2 – 3 minggu setelah portus yang
disebabkan metritis paerpularis adalah bukan pyometra sejati. Pyometra yang
sejati adalah bila nanah yang tertimbun dan tidak dikeluarkan selama lebih dari
60 pasca melahirkan dan selama itu birahi tidak pernah muncul. Pengeluaran
nanah ditandai adanya kotoran yang melekat pada alat kelamin luar maupun pada
ekor, kaki belakang dan kandang. Abdomen terlihat membesar karena uterus
membesar sesuai dengan volume nanah yang tertimbun.hal ini dikarenakan servik
uterus menutup sehingga terjadi retensi exudat purulent dalam kornu uteri.
Tubuh sapi penderita pyometra terlihat kurus, bulu suram, temperatur tubuh
naik,respirasi cepat pulsus naik dan turgor kulit. Sapi tidak mau makan tetapi
banyak minum dan urinasi.
Perubahan
makroskopis yang terlihat adalah :
1) Uterus mengalami penebalan dinding,
atonis dan menggantung.
2) Sewaktu rongga perut dibuka kedua
kornu uteri terlihat sangat mencolok karena berisi
nanah,sedangkan mukosa
terlihat licin (Kormu uteri membesar dan melebar)
3) Teridentifikasi adanya corpus loteum
di ovarium kanan
4) Terlihat adanya sulaman fibrin di
dorsal uterus
5) Tidak adanya kotiledon fetus dan
korunkula atau plasentom pada dinding uterus maupun fetus
yang tidak teraba
pada palpasi rektal.
6) Nanah cenderung untuk bergrafitasi
dan berkumpul diapek atau ujung kornu dan tyidak ada
penonjolan dorsal pada
kornu uterus sepertiyang lazim ditemukan pada kebuntingan muda .
7) Selaput lendir yang biasanya sangat
kasar karena hiperplasia mukosa,disamping kerusakan atau
erosi mukosa menjadi
sangat jelas terlihat.
8) Nanah biasanya tipis, kelabu
kekuningan,sepertiair, sering mengandung bongkah-bongkah nanah
dan utas-utas
selaput dan tenunan fetal.konsistensi dan warna seperti subkentang ,nanah tidak
berbau, atau agak manis tapi tidak membusuk
(Arthur, 2001).
·
Diagnosa
Pada pemeriksaan fisik,
sapi yang mengalami pyometra akan menunjukkan pembesaran perut yang simetris.
Hal ini terjadi karena nanah yang tertimbun dalam uterus akan mengisi kedua
kornu. Badan kelihatan kurus dengan bulu yang kusam. Pada saat sapi berbaring,
akan keluar kotoran berupa nanah dari lubang vagina. Hasil eksplorasi rektal
menunjukkan bahwa penyebab pembesaran perut yang simetris pada pyometra adalah
karena nanah mengisi kedua kornu uterus. Mukosa uterus terasa lebih tebal dari
normal, dan jika uterus ditekan akan berfluktuasi karena ada tekanan balik dari
cairan dalam uterus. Tidak ditemukannya karunkula, arteri uterina mediana tidak
teraba dan tidak ditemukannya fetus dalam uterus (M. Arifin Basyir, 2007).
Beda halnya jika sapi
tersebut bunting, melalui eksplorasi rektal akan ditemukan fetus yang hanya
tumbuh pada salah satu koruna, dan koruna lainnya tetap kecil. Dinding uterus
menipis, mengikuti pertumbuhan fetus. Arteri uterina mediana teraba dan
karunkulapun teraba pada dinding uterus (M. Arifin Basyir, 2007).
·
Terapi
Pemberian
Oxytocin bertujuan untuk menimbulkan kontraksi uterus sehingga cairan di uterus
bergerak keluar. Lalu Prostaglandin menyebabkan luteolisis, kontraksi
miometrium, relaksasi servix, dan pengeluaran eksudat uterus. Setelah itu baru
dberikan antibiotik (Anonim a, 2010).
Pada
kasus pyometra
harus diusahakan nanah dikeluarkan dari uterus, dengan cara irigasi, yaitu
memasukkan cairan antiseptik kedalam uterus dan dialirkan keluar membawa nanah
tersebut. Pada kasus pyometra pada prinsipnya semua jenis antiseptik dapat
digunakan untuk irigasi. Tetapi dianjurkan adalah antiseptik yang paling ringan
dalam menimbulkan iritasi pada selaput lendir endometrium atau selaput mukosa
uterus. Selama ini dianjurkan adalah Povidon Iodin 2%. Contoh lain ada Permanganas Kalium (PK, KMnO4). Kelebihan PK
murah, tetapi tingkat iritasi sangat tinggi, bahkan bersifat korosif. Selain
itu PK harus dipakai segera setelah dibuat larutan segar. Antiseptik lain
dalam OGB adalah hidrogen peroksida (H2O2) 1,5-6%, Klorheksidin Glukonat 5% (M.
Arifin Basyir, 2007).
Pengobatan
awal ditujukan pada upaya membuka cerviks dan kontraksi uterus sehingga nanah
dapat dipaksa mengalir keluar, diikuti dengan mengadakan irigasi dengan obat
antiseptik dengan maksud untuk membersihkan sisa-sisa dalam uterus, kemudian
diobati dengan antibiotika untuk membunuh mikroorganisme penyebabnya. Pemberian
preparat estrogen atau sintesisnya bertujuan untuk mendorong terjadinya
kontraksi uterus dan pembukaan cerviks. Untuk itu diberikan Dietil stilbestrol
(larutan dalam minyak mengandung 10 mg/ml). Pada hewan besar seperti sapi
diberikan 50-100mg secara intramuskuler diulang 4 hari sekali. Obat lain yang
dapat dipakai adalah Hypophysin yang didalamnya mengandung oksitosin, diberikan
sebanyak 60-100 IU atau 3-5 ml secara intramuskuler atau subcutan. Pengobatan
ini mengakibatkan kontraksi dinding uterus dan membuka cerviks diikuti
keluarnya nanah dan terjadi involusi uterus (Kusuma, 2010).
Irigasi
ke dalam saluran uterus dapat dilakukan dengan larutan yodium 1-2%,
kadang-kadang dapat memberikan hasil yang cukup baik dalam usaha mengeluarkan
nanah dari uterus. Stimulasi pada uterus dapat dilakukan dengan cairan
antiseptik seperti larutan lugol sebanyak 2,5 ml yang dicampur ke dalam 250 ml
aquades. Larutan ini diberikan untuk irigasi dalam uterus. Irigasi dilakukan
dengan kateter dan larutan dikeluarkan kembali setelah uterus dipijat. Dengan
irigasi ini, sisa nanah yang terkumpul dapat dikeluarkan walaupun tidak
keseluruhan nanah dapat habis (Kusuma, 2010).
Beberapa
macam antibiotika dapat dipakai sebagai obat pilihan untuk membunuh bakteri
penyebab endometritis kronis disertai pyometra. Pemberian setiap hari secara
intrauterin penisilin bersama streptomisin, dengan dosis Penisilin G 1000 000 IU dan Dehidrostreptomisin 1000 mg dilarutkan
dalm 40 ml aquades, diulangi selama beberapa hari, atau Oksitetrasiklin
(teramisin) dengan dosis 100 mg dilarutkan ke dalam 50-100 ml NaCl fisiologis,
dapat dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam uterus melalui kateter. Obat
yang lain adalah Nitrofurosone atau Furosin dapat diberikan larutan 0,2 %
sebanyak 20-60 ml ke dalam rongga uterus (Kusuma, 2010).
c) Metritis
Metritis adalah
peradangan yang terjadi pada beberapa lapisan uterus yang biasanya menyerang
endometrium hingga miometrium. Metritis dapat disebabkan oleh infeksi peripartus
atau post partus yang biasanya disertai septicemia sehingga disebut juga
sebagai metritis septika puerpuralis. Metritis juga dapat bersifat akut yang
biasanya menimbulkan berbagai gejala klinis yang jelas atau disebut juga
sebagai metritis klinis. Metritis yang bersifat kronis biasanya disertai dengan
pembentukan jaringan ikat pada endometrium sehingga tidak fungsional lagi
metritis ini sering disebut dengan metritis sklerotik (Colin , 2003).
· Etiologi
Metritis dapat terjadi
karena penanganan kelahiran yang tidak steril, laserasi akibat distokia,
kurangnya nutrisi sehingga terjadi gangguan hormonal yang menyebabkan system
kekebalan pada uterus terganggu. Dapat juga disebabkan oleh kontaminasi bakteri
pada saat proses perkawinan alami maupun IB.
·
Patogenesis
dan Gejala klinis
Pada
kasus metritis puerpurium biasanya didahului terjadinya inersia uterine dan
retensi plasenta hal ini dapat memicu perkembangan mikroorganisme infeksius
seperti C. pyogenes, Stapilococcus hemolitik dan Streptococcus grup C yang akan
berkolonisasi pada dinding uterus sehingga terjadi infiltrasi sel radang yang
dapat mengakibatkan kerusakan jaringan pada dinding uterus. Beberapa bakteri
tersebut dapat menghasilkan toksin yang sebagian dari itu akan terserap tubuh
dan sebagian yang lain akan keluar bersama lochia.
Bila
bakteri memasuki aliran darah akan menimbulkan septicemia yang
dimanisfestasikan dalam gejala berupa demam, gejala lain yang dapat timbul
diantaranya depresi, anoreksia, penurunan produksi susu, diare yang disebabkan
toksin dari bakteri tersebut, vulva vaguna biasa tampak bengkak dan kongesti,
peritonitis, pneumonia, poliartritis (radang sendi) (Colin, 2003).
·
Perubahan
Patologi
Pada metritis sklerotik
lapisan endometrium biasanya akan berubah menjadi jaringan ikat tebal
berlapisan padat, yang disertai foci dari infeksi, dan eksudat purulen, terjadi
nekrosis pada karunkula.
·
Diagnosa
Dilihat
dari gejala klinis dan palpasi perektal. Pada kasus metritis sklerotis biasanya
uterus akan teraba tebal dan keras mirip kartilago atau jaringan fibrosa padat.
· Terapi
Pada metritis puerpuralis sebelum
dilakukan terapi, terlebih dahulu dilakukan pengeluaran plasenta yang masih
retensi. Pemberian injeksi intravena hormone oksitosin 10 ml. dan untuk
mensesitifsasi uterus terlebih dahulu diberi hormone esterogen dalam bentuk
stilbestrol sebanyak 10-15 mg, pemberian kedua hormone ini bertujuan untuk
memicu involusi uterus. Untuk mengatasi bakteri yang tersisa dilakukan
pemberian infuse 1 juta penicillin dan 1 gram streptomycin dalam 40 ml larutan
fisiologis secara intra uterine terapi ini dilakukan 7-14 hari post partus
hingga leleran lochia kembali normal (Arthur, 2001).
d)
Endometritis
Endometritis
adalah radang pada lapisan endometrium di uterus. Endometritis ada 2, yaitu :
1) Endometritis
Subklinis
Merupakan endometris yang tidak
nampak gejala klinisnya. Biasanya disebabkan karena IB yang tidak steril dan
legeartis. Akibatnya bisa menyebabkan kegagalan fertilisasi, kegagalan
implantasi embrio, dan terjadinya kematian embrio dini.
2) Endometritis
Klinis
Merupakan
radang pada endometrium, dan merupakan peradangan uterus yang paling ringan.
Endometritis dapat merupakan lesi primer atau kondisinya berkembang secara
cepat menjadi peradangan uterus yang lebih berat. Uterus sapi biasanya terkontaminasi
dengan berbagai mikroorganisme selama masa puerpurium. Bakteri disingkirkan
dari lumen uterus selama minggu-minggu pertama setelah partus oleh proses
fagositosis yang prosesnya dipacu oleh estrogen dan dihambat oleh progesterone
(Prihatno, 2004).
·
Predisposisi/
Etiologi
Pada banyak kasus
endometritis, disebabkan oleh oportunistik patogen yang menginfeksi setelah
partus, selain itu bakteri yang dapat menyebabkan infertil seperti Campylobacter fetus and Trichomonas fetus juga dapat menyebabkan endometritis. Faktor
predisposisi terjadinya endometritis adalah distokia, retensi plasenta, musim,
kelahiran kembar, invasi bakteri serta
penyakit metabolit (Arhur, 2001).
·
Patogenesis
Agen infeksi biasanya
masuk ke dalam uterus melalui vagina pada saat coitus, inseminasi buatan,
partus, dan atau postpartus, walaupun memugkinkan juga pada suatu keadaan agen
infeksi berasal dari sirkulasi. Pada kebanyakan kasus, agen infeksi tersebut
berasal dari kontaminasi uterus postpartus tetapi biasanya flora tersebut akan
segera dihilangkan.
Flora tersebut akan
tetap tinggal di uterus, sehingga menyebabkan peradangan pada endometrium.
Tingkat kontaminasi bakteri pada uterus sangat menentukan terjadi endometritis
atau tidak. Patogenesis penyakit ini sangat berhubungan dengan faktor-faktor
yang berkaitan dengan kemampuan tubuh hospes untuk mengeliminasi flora
tersebut, daripada faktor dari bakteri-bakteri sendiri (Arthur, 2001).
·
Gejala
Klinis
Gejala pertama
endometritis adalah adanya leleran dengan lender jernih atau keputihan yang
berlebihan. Adanya infeksi Actinomyces
pyogenes mengakibatkan leleran menjadi purulen dan berbau busuk yang khas.
Evaluasi klinis keadaan uterus dapat dilakukan dengan pemeriksaan lewat rektum.
Ukuran uterus, ketebalan dinding uterus dan isi lumen uterus merupakan
pertimbangan dalam hubungannya dengan jumlah hari pasca beranak.
Gejala klinis
endometritis bervariasi dari kekeruhan ringan dari lendir birahi sampai
pembesaran uterus yang mungkin terlihat pada vagina bagian depan dan saluran serviks
dengan pemeriksaan menggunakan spikulum.
Riwayat pengawinan
mungkin menunjukkan adanya kegagalan konsepsi setelah beberapa kali inseminasi.
Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam
uterusnya teraba timbunan cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilitas
adalah dalam jangka pendek, meurunkan kesuburan, calving interval dan S/C naik, sedangkan dalam jangka panjang,
menyebabkan sterilitas karena terjadi perubahan traktus reproduksi, sehingga
meningkatkan pemotongan (Prihatno, 2004).
·
Prognosa
Kesembuhan endometritis
biasanya baik, kecuali kalau terjadi pengembangan proses peradangan menjadi
lebih parah.
·
Diagnosis
Diagnosis
dapat dilakukan dengan mengetahui gejala klinis dan riwayat hewan sebelumnya.
Diagnosis juga dapat dilakukan dengan biopsy uterus. Walaupun interpretasi
material biopsy memerlukan pengalaman dari perubahan siklus normal dari
endometrium. Pada endometrial biopsy bisa diketahui adanya endometrial
subklinis yang gejalanya tidak nampak (Arthur, 2001).
·
Terapi
Terapi
yang biasa digunakan adalah dengan injeksi antibiotik dan hormon
(Prostalglandin F-2α) atau melakukan dengan antiseptik (yodium povidon) secara
intra uterine (Prihatno, 2004).
·
Akibat
Infeksi
Endometritis menurunkan
fertilitas, memperpanjang interval calving per konsepsi, meningkatkan angka
servis per kebuntingan. Selain itu endometritis bisa terjadi secara jangka
panjang, dan saluran reproduksi tidak bisa kembali seperti sebelum terinfeksi. Endometritis
juga bisa menurunkan keuntungan dari peternakan sapi perah (Arthur, 2001).
B. Infeksi Spesifik
Infeksi
yang bersifat spesifik dapat disebabkan oleg bakteri, virus maupun jamur. Yakni
diantaranya :
a). Bakterial
·
Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang
secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak
lainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai
penyakit Kluron atau penyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam
yang bersifat undulans dan disebut Demam Malta. Jasad renik penyebabnya Micrococcus melitensis yang selanjutnya
disebut pula Brucella melitensis.
Bakteri Brucella untuk pertama kalinya ditemukan
oleh Bruce (1887) pada manusia dan dikenal sebagai Micrococcus miletensi. Kemudian Bang dan Stribolt (1897)
mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang menderita kluron menular.
Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus bovis. Bakteri Brucella bersifat gram negatif,
berbentuk batang halus, mempunyai ukuran 0,2 - 0,5 mikron dan lebar 0,4 - 0,8
mikron, tidak bergerak, tidak berspora dan aerobik. Brucella merupakan parasit
intraseluler dan dapat diwarnai dengan metode Stamp Brucella abortus, atau Koster. Brucellosis yang menimbulkan masalah
pada ternak terutama disebabkan oleh 3 spesies, yaitu Brucella melitensis, yang menyerang pada
kambing, yang menyerang pada sapi dan Brucella suis, yang menyerang
pada babi dan sapi.
Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan
antigen A. Brucella melitensis memiliki
lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A, sedangkan Brucella abortus dan Brucella
suis sebaliknya. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah karena antibodi tidak begitu berperan.
Kerugian ekonomi yang
diakubatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada
ternak kerugian dapat berupa:
1)
Kluron, anak ternak
yang dilahirkan lemah, kemudian mati, terjadi gangguan alat-alat reproduksi
yang mengakibatkan kemajiran temporee atau permanen
2)
Kerugian pada sapi
perah berupa turunnya produksi air susu.
Brucellosis merupakan penyakit beresiko sangat
tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan
langsung dengan manusia. Sebab penyakit ini dapat menular dari ternak ke manusia
dan sulit diobati, sehingga brucellosis merupakan zoonosis yang penting. Tetapi
manusia dapat mengkonsumsi daging dari ternak-ternak yang
tertular sebab tidak berbahaya apabila tindakan sanitasi minimum dipatuhi
dan dagingnya dimasak. Demikian pula dengan air susu dapat pula
dikonsumsi tetapi harus dimasak atau dipasteurisasi terlebih dahulu.
Pada kambing Brucellosis hanya memperlihatkan gejala
yang samar-samar. Kambing kadang-kadang mengalami keguguran dalam 4 - 6
minggu terakhir dari kebuntingan. Kambing jantan dapat memperlihatkan
kebengkakan pada persendian atau testes.
Pada sapi gejala
penyakit brucellosis yang dapat diamati adalah keguguran, biasanya terjadi
pada kebuntingan 5 - 8 bulan, kadang diikuti dengan kemajiran, Cairan
janin berwarna keruh pada waktu terjadi keguguran, kelenjar air susu tidak
menunjukkan gejala-gejala klinik, walaupun di dalam air susu terdapat bakteri
Brucella, tetapi hal ini merupakan sumber penularan terhadap manusia. Pada
ternak jantan terjadi kebengkakan pada testes dan persendian lutut.
Selain gejala utama
berupa abortus dengan atau tanpa retensio secundinae (tertahannya plasenta),
pada sapi betina dapat mempperlihatkan gejala umum berupa lesu, napsu
makan menurun dan kurus. Disamping itu terdapat pengeluaran cairan bernanah
dari vagina.
Pada sapi perah,
brucellosis dapat menyebabkan penurunan produksi susu. Seekor sapi betina
setelah keguguran tersebut masih mungkin bunting kembali, tetapi Tingkat
kelahirannya akan rendah dan tidak teratur. Kadang-kadang fetus yang dikandung
dapat mencapai tingkatan atau bentuk yang sempurna tetapi pedet tersebut
biasanya labir mati dan plasentanya tetap tertahan (tidak keluar) serta
disertai keadaan metritis (peradangan uterus). Brucellosis penyakit dapat
menulari semua betina yang telah dewasa kelamin dan dapat menyebabkan abortus.
Pada sapi betina
bakteri Bang terdapat pada uterus, terutama pada endometrium dan padaruang
diantara kotiledon. Pada plasenta, bakteri dapat ditemukan pada vili, ruang
diantara vili dan membran plasenta yang memperlihatkan warna gelap atau merah
tua. Pada fetus, bakteri Brucella dapat ditemukan dalam paru-paru dan dalam
cairan lambung. Pada pejantan bakteri brucella dapat ditemukan dalam
epydidymis, vas deferens dan dalam kelenjar vesicularis, prostata dan
bulbourethralis. pada infeksi berat bakteri dapat berkembang dalam testes,
khususnya dalam tubuli seminiferi.
Perubahan pasca mati
yang terlihat adalah penebalan pada plasenta dengan bercak-bercak pada
permukaan lapisan chorion. cairan janin terlihat keruh berwarna kuning coklat
dan kadang-kadang bercampur nanah. Pada ternak jantan ditemukan proses
pernanahan pada testikelnya yang dapat diikuti dengan nekrose.
Usaha-usaha pencegahan
terutama ditujukan kepada vaksinasi dan tindakan sanitasi dan tata laksana.
Tindakan sanitasi yang bisa dilakukan yaitu
1)
Sisa-sisa abortusan
yang bersifat infeksius dihapushamakan. Fetus dan plasenta harus dibakar dan
vagina apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu
2)
Bahan-bahan yang biasa
dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol,amonium
kwarterner, biocid dan lisol
3)
Hindarkan perkawinan
antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila seekor
ternak
pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis dan preputium dicuci
dengan cairan
pencuci hama
4)
Anak-anak ternak yang
lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari
ternak
lain yang bebas brucellosis
5)
Kandang-kandang ternak
penderita dan peralatannya harus dicuci dan dihapushamakan serta
ternak
pengganti jangan segera dimasukkan.
Pengobatan : Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.Penanggulangan
dan pencegahan brucellosis diataranya dengan :
1) Sanitasi
dan kebersihan harus terpelihara
2) Vaksinasi
strain 19 usia 3 – 7 bulan
3) Pemberian
antiseptik dan antibiotika pada hewan yang sakit
4) Penyingkiran
reaktor (sapi terinfeksi sebagai sumber infeksi)
5) Sapi
yang terinfeksi diisolasi/ dijual/ dipotong.
6) Fetus
dan plasenta yang digugurkan dibakar kemudian dikubur.
7) Hewan
baru dikarantina, diperiksa dan diuji.
·
Leptospirosis
Leptospirosis pada
sapi disebabkan oleh beberapa serovar kuman Leptospira
mengakibatkan gangguan proses reproduksi berupa abortus pada akhir
trimester dari kebuntingan, kemajiran, serta kelemahan pada anak yang
dilahirkan. Pada sapi yang terinfeksi akut, selain terjadi abortus, gejala yang
terlihat berupa turunnya nafsu makan, kehilangan berat badan, mastitis (dengan
air susu yang sangat kental dan berwarna kuning tua), demam, cairan urin
berdarah .
Gangguan reproduksi
dapat berlangsung sampai setahun dalam bentuk meningkatnya S/C, tertahannya
plasenta, serta anak yang dilahirkan lemah dan biasanya mati. Cara penularan
penyakit ini melalui pakan, air dan lingkungan yang tercemar oleh urin hewan
yang mengandung kuman Leptospira. Kuman masuk melalui hidung (aerosol) atau
mulut (rumput, air) terus ke saluran pencernaan dan akhirnya ke ginjal . Sapi
yang sembuh dari penyakit ini masih mengeluarkan kuman Leptospira sampai 2-3
bulan atau lebih dalam urinnya. Penularan juga dapat melalui semen pejantan
yang terinfeksi.
Diagnosa penyakit
dipaparkan pada peningkatan titer antibodi dalam serum (serum yang dikoleksi
pada dua waktu berbeda) yang diperiksa secara uji serologis. Isolasi agen
penyakit dari cairan urin atau darah merupakan diagnosa definitif. Pencegahan
penyakit melalui upaya perbaikan sanitasi/manajemen sangat sulit mengingat
banyak spesies hewan (liar atau domestik) juga dapat terserang oleh kuman
Leptospira. Hewan-hewan tersebut yang sering berkeliaran di lokasi peternakan
akan selalu menjadi ancaman. Oleh karena itu pencegahan yang paling tepat
adalah melalui vaksinasi secara rutin setiap tahunnya.
Pengendalian
kejadian leptospirosis meliputi sanitasi yang baik, isolasi hewan yang sakit
serta hindari pakan dan minuman dari pencemaran, vaksinasi dengan serotipe
(jenis) leptospira yang ada di daerah tersebut. Pengobatan dengan antibiotika
dosis tinggi, 3 juta IU penicillin dan 5 gr streptomycin (2x sehari).
·
Vibriosis
Vibriosis pada sapi
disebabkan oleh kuman Campylobacter fetus veneralis yang mengakibatkan gangguan
proses reproduksi. Sapi yang terserang penyakit ini umumnya memperlihatkan
rata-rata kawin berulang sebanyak 5 kali kawin alam (antara 5-25 kali), siklus
birahi menjadi lama dan tidak teratur (25-55 hari), lendir pada saat birahi
terlihat keruh karena pernanahan. Abortus terjadi pada umur 2-3 bulan
kebuntingan. Penyakit ini menular hanya melalui semen, yaitu melalui perkawinan
alam atau inseminasi buatan (IB) dengan semen tercemar.
Penularan dari betina
terinfeksi ke betina sehat tidak pernah dilaporkan. Diagnosa penyakit
berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan, tetapi adanya perpanjangan masa
kawin dan jarak beranak patut dicurigai adanya Vibriosis . Diagnosa penyakit
dengan tepat dapat dicapai melalui prosedur diagnostik, yaitu isolasi agen
penyakit . Secara serologi penyakit juga dapat didiagnosis melalui pendeteksian
antigen dari cairan lendir saluran reproduksi 60 hari setelah perkawinan.
Pencegahan penyakit dilakukan dengan
menggunakan IB, atau pejantan yang bebas Vibriosis,
istirahat kelamin selama 3 bulan pada hewan yang terinfeksi, vaksinasi dengan
bakterin 30-90 hari sebelum dikawinkan atau setiap tahun.. Vaksinasi dapat mencegah infeksi penyakit. Ternak jantan yang sakit dapat
diobati dan sembuh dengan menggunakan antibiotik seperti streptomisin dosis
tinggi secara subkutan disertai pemberian secara lokal pada sarung dan glands
penis (pejantan), atau 1 gram streptomisin secara intrauterin setelah
inseminasi untuk mencegah infeksi pada hewan betina
·
Tuberkulosis
Penyebabnya
adalah Mycobacterium bovis. Dapat menular melalui ekskresi, sputum (riak),
feses, susu, urin, semen, traktus genitalis (saluran kelamin), pernafasan, ingesti
dan perkawinan dengan hewan yang sakit. Gejala yang nampak diataranya :
abortus, retensi plasenta, lesi uterus
bilateral, salpingitis dan adhesi (perlekatan) antara uterus. Penanganan dan
pencegahan diantaranya dengan sanitasi kandang dan lingkungan, pengobatan
dengan antibiotika, isolasi hewan yang terinfeksi dan vaksinasi.
·
Bovine viral diarrhea (BVD)
Pada sapi, penyakit BVD disebabkan oleh virus bovine diarrhea . Penyakit
ini menimbulkan 4 bentuk gejala klinis, yaitu:
1)
Subklinis, tidak
terlihat gejala;
2)
Kronis, ada gejala
tapi tidak jelas seperti berkurangnya nafsu makan, kelesuan, diare ringan,
pertumbuhan yang lamban;
3)
Akut, memperlihatkan
diare profusa, demam, erosi pada saluran gastrointestinal ;
4)
bentuk mukosa, paling
berat, ditandai dengan gejala akut disertai adanya perlukaan pada selaput
lendir ruang mulut dan saluran pencernaan. Pada bentuk ini hewan akan mati pada
sekitar hari ke-
14 setelah infeksi. Bentuk ini sangat sering terjadi pada sapi
umur mulai 8 sampai 18 bulan.
Pada sapi bunting,
infeksi virus mengakibatkan kematian fetus dan abortus . Kebanyakan abortus
terjadi pada umur kebuntingan 3 sampai 4 bulan. Infeksi virus BVD pada umur
kebuntingan pertengahan trimester mengakibatkan cacat pada otak, mata dan bulu.
Cacat otak dan mata lebih sering terjadi daripada terjadinya kelainan bulu.
Diagnosa penyakit
dilakukan dengan mengisolasi agen penyakit atau pemeriksaan antibodi setelah
terjadi abortus . Penularan penyakit terjadi karena kontak dengan cairan lendir
mukosa hewan terinfeksi atau lingkungan tercemar. Penularan dapat terjadi
melalui semen pejantan, baik melalui kontak seksual atau melalui IB.
Pencegahan penyakit
dilakukan melalui mencegah kontak dengan hewan sakit (memperlihatkan gejala
klinis), lingkungan tercemar (terkena lendir hewan sakit), menggunakan pejantan
bebas BVD pada kawin alam, atau penggunaan semen bebas BVD pada IB. Alternatif
pencegahan penyakit adalah melakukan vaksinasi hewan terhadap virus BVD.
Infectious bovine rhinotracheitis (IBR) Jika virus IBR menyerang sistem
reproduksi sapi betina, maka akan terlihat gejala klinis pustular
vulvovaginitis profusa . Lendir bernanah dapat terlihat keluar dari liang
vulva. Sapi betina memperlihatkan kemajiran temporer.
Sapi betina yang
terinfeksi virusn IBR, baik tipe pernafasan maupun vulvovaginitis, dapat
berakibat pada abortus fetus mulai 3 minggu sampai 3 bulan setelah mengalami
infeksi. Tanda lainnya yang umum adalah tertahannya plasenta. Pada sapi jantan,
gejala klinis yang tampak adalah perlukaan bernanah pada glands penis.Adanya
rasa sakit pada alat kelamin ini dapat menghambat aktivitas kontak seksual
pejantan dengan sapi betina.
Diagnosis penyakit
disamping dengan memperhatikan gejala klinis, juga dilakukan dengan mengisolasi
agen penyakitnya. Penularan penyakit dapat terjadi melalui semen terinfeksi,
kontak dengan cairan lendir mukosa hewan terinfeksi, atau dengan lingkungan
tercemar.
Pencegahan penyakit
pada sapi betina dilakukan dengan mencegah kontak seksual dengan pejantan
terinfeksi, tidak menggunakan semen terinfeksi pada program IB, serta mencegah
kontak dengan hewan sakit IBR (lendir mukosa atau lingkungan tercemar virus
IBR). Vaksinasi cukup efektif untuk mencegah terjadinya penularan penyakit.
·
EBA
(Epizootik Bovine Abortion)
Penyebabnya
Chlamydia atau Megawanella. Gejala yang nampak :abortus pada 4-9 bulan
kebuntingan, stillbirth (lahir kemudian mati), jika fetus lahir maka lemah,
retensi plasenta. Pengobatan dapat
dilakukan dengan pemberian antibiotika. Sedangkan pengendaliannya dapat
dilakukan dengan isolasi/ karantina hewan yang sakit, vaksinasi, sanitasi dan
desinfeksi kandang.
b) Protozoa
·
Trikomoniasis
Penyebabnya Trichomonas fetus, merupakan penyakit kelamin
menular pada sapi yang ditandai dengan penurunan kesuburan (S/C tinggi),
abortus dini (4 bulan kebuntingan/trisemester pertama kebuntingan). Penularan
dengan kawin alam maupun dengan IB.
Pengendaliannya dengan:
1) IB
dengan pejantan sehat
2) Istirahat
kelamin
3) Pemberian
antibiotik intra uterin pada betina terinfeksi.
4) Pemberian
estrogen/ PGF2α
5) Pejantan
kronis diberi bovoflavin/ metronidazole atau dieliminasi.
·
Toxoplasmosis
Penyebabnya Toxoplasma gondii, bersifat zoonosis sehingga
dapat menyerang manusia. Gejala yang nampak diataranya: demam, gangguan nafas
dan syaraf, abortus, prematur maupun lahir lemah. Penularan melalui pakan/
minum yang tercemar dengan ookista. Pengobatan dengan antibiotika, kombinasi
antara preparat sulfa (sulfadiazin) dan pyrimethamine. Pencegahan dengan
menjaga sanitasi dan desinfeksi kandang serta lingkungannya.
c). Jamur
Penyebab
utama abortus adalah Aspergillus fumigatus. Selain itu juga bisa disebabkan
oleh Mucorales. Terdapat dua jalur utama penularan,
1) Melalui
inhalasi, masuk paru dan mengikuti aliran darah sampai ke plasenta dan
menyebabkan
abortus.
2) Melalui
ingesti, menyebabkan radang pada rumen, mengikuti aliran darah menuju plasenta
dan
menimbulkan keradangan sehingga
terjadilah abortus. Gejala yang nampak diantaranya : abortus
pada 5-7
bulan kebuntingan, fetus mengalami autolisis/ lahir lemah, membran fetus
(bengkak
nekrotik, lesi plasentoma, kotiledon dan karuncula bengkak, oedem dan
nekrotik). Penanganan
yang dapat
dilakukan yaitu dengan menggunakan preparat antijamur dan perbaikan
manajemen
secara keseluruhan meliputi perbaikan pakan dan manajemen kesehatan
yang baik meliputi sapi,
kandang dan lingkungannya. Selain gangguan reproduksi
yang disebabkan oleh keempat faktor
tersebut, berikut kondisi patologis yang
berhubungan dengan masalah reproduksi
·
Mikosis
Gangguan reproduksi
ternak sapi yang diakibatkan oleh infeksi kapang, utamanya adalah Aspergillus
fumigatus, A. absidia dan A. mucor. Hal ini terbukti dengan adanya kapang
tersebut pada fetus yang diaborsikan (membran fetus atau isi perut fetus)
Abortus akibat infeksi
kapang terjadi pada pertengahan atau akhir umur kebuntingan. Infeksi pada
ternak sapi terjadi karena temak menelan/menghirup spora dari pakan yang
berjamur.
Cara pencegahannya
adalah dengan menghindarkan sapi dari pakan berjamur. Cara penyimpanan pakan
yang baik merupakan hal yang sangat penting dalam pencegahan penyakit ini.
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan isi
dan pembahasan dari beberapa sumber, dapat disimpulkan bahwa:
11. Infeksi
organ reproduksi merupakan gangguan
reproduksi yang disebabkan adanya infeksi atau gangguan pada salah satu atau
lebih organ reroduksi
22. Infeksi
organ reproduksi terdiri dari infeksi
non spesifik dan infeksi spesifik.
3. Infeksi organ
reproduksi yang termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya: Endometritis
(radang uterus), Piometra (radang uterus bernanah), dan Vaginitis. Sedangkan yang termasuk
infeksi spesifik adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti
Brucellosis, Leptospirosis dan Vibriosis, disebabkan oleh virus seperti Bovine viral
diarrhea (BVD)serta disebabkan oleh jamur seperti Mikosis.
B.
Saran
Gangguan
reproduksi dapat diantisipasi dengan memperhatikan beberapa faktor diantaranya
:
1. Seleksi
genetik, dan manajemen pakan yang baik sehingga mendukung kesuburan saluran
reproduksi.
2. Manajemen
kesehatan yang baik meliputi kesehatan sapi (program pengobatan dan vaksinasi)
, kebersihan kandang dan lingkungan (sanitasi dan desinfeksi) sehingga dapat
meminimalisasi agen patogen (bakteri, virus, jamur, protozoa) yang dapat
mengganggu kesehatan sapi.
3.
Penanganan masalah
reproduksi dengan prosedur yang baik dan benar sehingga mengurangi kejadian
trauma fisik yang akan menjadi faktor predisposisi gangguan reproduksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Arman, Sayuti. 2006. Gambaran Klinis Sapi Piometra Sebelum dan
Setelah terapi dengan Antibiotik dan Prostaglandin secara Intrauterine.
Skripsi. Fak. Kedokteran Hewan IPB: Bogor
Colin, Pamer. 2003. Post Partum Metritis in Cattle. A review
ofthe condition and the treatmen large Animal Veterinary
Rouns Volum 3 issue 8 Saakatchewan.
Dian, R. 2007. Penanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Balai Penelitian
Penembangan Pertanian: Dapartemen Pertanian
Ratih, R. 2008. Explorasi Bakteri dari Uterus Sapi Infertil
di Kotamadya Surabaya. Fakultas Kedokteran Hewan USU: Sumatra Utara.
Rompis, A. 2002. Epidemiologi Bovine Brucellosis dengan
Penekanan Kejadian di Indonesia. Balai Besar Veteriner: Wates Yogyakarta.
Sri, Gatha. 2008. Penyakit Bakterial pada Ruminasia.
Fakultas Kedokteran Hewan Univ. Syah Kuala: Banda Aceh.
Prihatno, S.A. 2004. Infertilitas dan Sterilitas. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Comments
Post a Comment