PENGARUH PENCAHAYAAN (LIGHTING)TERHADAP PERFORMANS DAN KONSUMSI PROTEIN PADA AYAM
PENGARUH
PENCAHAYAAN (LIGHTING)TERHADAP
Dra.
Mei Sulistyoningsih, M.Si
Pendidikan
Biologi IKIP PGRI Semarang
Email
: meisulis@yahoo.co.id
(Disajikan
Dalam : Prosiding Seminar Nasional ISBN 978-602-95207-0-5, 15-16 Juli
2009,
UPI Bandung)
ABSTRAK
Pencahayaan
adalah parameter penting dari produksi unggas. Pencahayaan merupakan faktor
eksogen yang kuat dalam mengontrol banyak proses fisiologis dan perilaku.
Pencahayaan mungkin merupakan faktor yang paling kritis dari semua faktor
lingkungan bagi unggas. Pencahayaan merupakan keterpaduan dengan penglihatan,
termasuk ketajaman visual dan pembedaan warna. Pencahayaan memungkinkan unggas
untuk menetapkan keserasian dan mensinkronkan / menyamakan banyak fungsi
esensial, termasuk temperatur tubuh dan berbagai langkah metabolis yang
mempermudah kegiatan makan dan pencernaan. Pencahayaan juga menstimulasi pola
sekresi beberapa hormon yang mengontrol sebagian besar pertumbuhan, kematangan
/ kedewasaan dan reproduksi. Jelaslah pencahayaan menjadi penting karena
berhubungan dengan produksi dan kesejahteraan unggas. Pencahayaan terdiri dari
tiga aspek yaitu : intensitas, durasi dan panjang gelombang. Intensitas cahaya,
warna dan aturan photoperiod (waktu penyinaran) mempengaruhi aktivitas fisik
unggas. Hipotalamus akan berkembang dengan rangsangan cahaya. Cahaya merupakan
stimulan positif bagi hipotalamus.
Cahaya
yang memancar membawa gelombang elektromagnetik yang menggertak ayam merangsang
aktivitas hipotalamus. Cahaya secara tidak langsung akan meningkatkan konsumsi
ransum, dalam hal ini termasuk konsumsi protein, dan dapat disamakan sebagai
metode pemberian ransum. Unggas lebih atraktif pada perlakuan cahaya dibanding
perlakuan panas.
Kata
Kunci : Ayam, pencahayaan, performans, konsumsi protein
A. Pencahayaan
Pada Ayam
Ilmuwan menemukan kurang lebih 60 % gen ayam
serupa dengan gen manusia. Gen ayam yang terlibat dalam struktur dasar sel dan
fungsi menunjukkan kesamaan sekuens dengan gen manusia dibandingkan gen yang
bertanggung jawab dalam reproduksi, reaksi imunitas, dan adaptasi terhadap
lingkungan. Ayam adalah unggas pertama, juga binatang ternak pertama yang
dianalisis genomnya. Ada sekelompok gen
yang bertugas mengkode protein penerima bau-bauan berkembang sedemikian baik
pada genome ayam. Temuan ini berlawanan dengan pandangan bahwa jenis burung
memiliki penciuman yang buruk. Jika dibandingkan dengan mamalia, burung
memiliki lebih sedikit keluarga gen yang bertanggung jawab untuk penerima rasa pengecap,
terutama pengecap rasa pahit. Ayam
memiliki gen yang mengkode enzim tertentu terkait dengan cahaya, sedangkan
mamalia tidak memiliki gen itu. Ayam memiliki gen-gen yang mengkode enzim untuk
membentuk pigmen berwarna biru, mamalia tidak meiliki gen seperti itu
(Biogen,
2006). Lingkup cahaya yang berpengaruh
terhadap fisiologis unggas ada empat macam, yaitu photoperiod, intensitas,
warna dan sumber cahaya. Photoperiod adalah lama waktu terang dari pencahayaan
alami, untuk aktifasi hormon yang ideal 11 – 12 jam. Intensitas adalah kekuatan
cahaya yang diberikan pada unggas, umumnya berkisar 5 – 20 lux.
Pada saat embrio berumur 17 hari di dalam
inkubator, embrio unggas telah merespon cahaya. Unggas tidak dapat memutar mata
secara bebas tapi mereka mampu melihat pada jarak pandang 300 derajat dengan
suatu lapang binokuler sebesar 26 derajat. Unggas mengikuti obyek dengan
menggunakan mobilitas kepalanya. Ketajaman penglihatannya bagus pada jarak
pandang cukup jauh. Unggas mampu membedakan bentuk segi empat dan segitiga,
juga titik titik merah dan hitam.
Pentingnya
indera penglihatan bagi unggas ditunjukkan oleh ukuran mata yang amat besar
dibandingkan dengan ukuran kepala dan otak. Rasio berat dari dua mata dibanding
otak adalah nyaris 1 : 1 (Bell dan Freeman, 1971), sedangkan pada manusia rasio
sekitar 1 : 25. Selanjutnya ditunjukkan oleh Appleby (1992) bahwa mata
spesies-spesies herbivora dan omnivora yang terletak secara lateral sepertiunggas
memperluas bidang pandang lebih dari 300.
Pencahayaan
adalah parameter penting dari produksi unggas. Pencahayaan merupakan faktor
eksogen yang kuat dalam mengontrol banyak proses fisiologis dan perilaku.
Pencahayaan mungkin merupakan faktor yang paling kritis dari semua faktor
lingkungan bagi unggas. Pencahayaan merupakan keterpaduan dengan penglihatan,
termasuk ketajaman visual dan pembedaan warna ( Manser dalam Olanrewaju, 2006).
Pencahayaan
memungkinkan unggas untuk menetapkan keserasian dan mensinkronkan / menyamakan
banyak fungsi esensial, termasuk temperatur tubuh dan berbagai langkah
metabolis yang mempermudah kegiatan makan dan pencernaan. Pencahayaan juga
menstimulasi pola sekresi beberapa hormon yang mengontrol sebagian besar
pertumbuhan, kematangan / kedewasaan dan reproduksi. Jelaslah pencahayaan menjadi penting karena
berhubungan dengan produksi dan kesejahteraan unggas. Pencahayaan terdiri dari
tiga aspek yaitu : intensitas, durasi
dan
panjang gelombang. Intensitas cahaya, warna dan aturan photoperiod (waktu penyinaran)
mempengaruhi aktivitas fisik unggas. Peningkatan aktivitas fisik dapat menstimulir
perkembangan tulang, sehingga memperbaiki kesehatan kaki.
Nalbandov
(1990) dalam Sunarti (2004), menjelaskan bahwa cahaya melalui retina mata akan
diteruskan melalui saraf mata menuju hipotalamus anterior, kemudian merespon
dengan melepaskan substansi yang menstimulir kelenjar hipofise untuk
memproduksi hormon gonadotropin. Hormon ini akan bersama aliran darah merangsang
ovarium serta organ reproduksi lain. Di samping itu juga akan membantu proses
pematangan folikel telur di gonad, perkembangan bulu dan jengger pada ayam petelur.
Di sisi lain cahaya juga akan menggertak kelenjar tiroid untuk menghasilka hormon
pertumbuhan untuk mengatur proses metabolisme. Selain itu cahaya gelapakan
menggertak dilepaskannya hormon androgen. Hormon androgen ikut serta dalam
proses pembentukan tulang (Byuse, 1996 dalam Sunarti, 2004), lebih lanjut dinyatakan
bahwa selama periode gelap ternyata level hormon kortikosteroid menjadi rendah.
Level hormon kortikosteroid berbanding lurus dengan level stres. Unggas adalah
hewan yang mudah stres, sehingga pemberian cahaya gelap akan menghambat pelepasan
hormon kortikosteroid dan memberikan kesempatan labih banyak pada unggas untuk
beristirahat, sehingga stres dapat berkurang.
Efek
cahaya setelah diterima hipotalamus juga akan mensekresikan STH-RH (somatotropik
releasing hormon) dan dan TRH
(tirotropik releasing hormon). Releasing itu akan merangsang glandula pituitary
anterior untuk mensekresikan STH dan TSH, TSH akan menstimulir kelenjar tiroid
untuk melepaskan tiroksin.
Somatotropik
hormon dan tiroksin akan menstimulir tubuh meningkatkan aktivitas pertumbuhan
(Bell dan Freeman, 1971 dan Card, 1961). Isroli (1996) menyatakan, bahwa hormon
pertumbuhan dari kelenjar pituitary anterior dan tiroksin dari kelenjar tiroid
bekerja secara simultan dalam kontrol terhadap pertumbuhan ternak menjelang pubertas.
Somatotropik hormon dalam tubuh berfungsi memacu aktifitas metabolisme,
meningkatkan cadangan nitrogen, meningkatkan penyediaan energi dan merangsang
pembentukan somatotropik hormon.
Untuk
memulai proses pembentukan telur setiap harinya, puyuh memerlukan rangsangan
cahaya. Peran cahaya lebih penting daripada temperatur dalam hal kemampuannya
bertelur. Puyuh masih dapat bertelur pada suhu 0 ºC pada cahaya lebih dari 14
jam. Cahaya terang tidak diperlukan. Cahaya cukup untuk membuat puyuh terjaga
aktivitas sosialnya. Bola lampu 40-60 watt cukup untuk kandang koloni.
1.Intensitas
pencahayaan
Perilaku
unggas sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Secara umum, cahaya yang
lebih terang akan mendorong peningkatan aktivitas, sedangkan intensitas yang
lebih rendah efektif dalam mengontrol tindakan-tindakan agresif yang dapat mengakibatkan
kanibalisme. Charles et al (1992) dalam Olanrewaju (2006),
mengamati
peningkatan bobot badan ketika broiler ditumbuhkan di bawah intensitas cahaya 5
lx. Intensitas cahaya yang lebih tinggi mengurangi bobot badan karena aktivitas
meningkat. Riset menunjukkan intensitas cahaya yang amat sangat rendah (kurang
dari 5 lx) dapat menyebabkan degenerasi retina, bupthalmuos, miopÃa, glaucoma
dan kerusakan pada lensa mata yang mengarah pada kebutaan. Anak unggas (umur 1
– 28 hari) secara umum lebih menyukai pencahayaan yang lebih terang.
2.Durasi
Pencahayaan
Durasi
pencahayaan, yaitu photoperiod (waktu pencahayaan di siang hari), adalah aspek
utama kedua dari pencahayaan yang mengubah performans unggas. Diduga
photoperiod singkat di awal kehidupan akan mengurangi intake pakan dan membatasi
pertumbuhan. Periode kegelapan yang lebih panjang menghalangi akses reguler
pada pakan dan konsekuensinya mengurangi intake pakan dan membatasi pertumbuhan.
Penelitian menunjukkan bahwa kecepatan awal pertumbuhan secara signifikan
berkurang dengan periode kegelapan yang lebih panjang, Namun
bertambah
dari 14 sampai 35 hari, seperti halnya bobot tubuh akhir yang tidak terpengaruh
oleh program pencahayaan. Konversi pakan lebih tinggi selama periode 12 L : 12
D dan periode 6 L : 6 D per periode 24 jam daripada 12 ( 1 L : 1 D) per periode
24 jam. Perlakuan 12 L : 12 D menghasilkan mortalitas lebih rendah daripada perlakuan
12 (1L : 1 D) dan 2 ( (6L : 6D) adalah intermediet. Secara
umum, periode gelap yang lebih panjang berhubungan dengan mortalitas yang lebih
rendah dan perbaikan cara berjalan. Broiler yang dipelihara di bawah periode
gelap yang lebih panjang dilaporkan mengalami kesehatan lebih baik daripada
broiler lain yang diletakkan dalam kondisi penyinaran siang hari yang panjang.
Penjelasan fisiologisnya, melatonin adalah hormon yang dilepaskan dari kelenjar
pineal yang terlibat dalam penetapan irama circadian temperatur tubuh, beberapa
fungsi metabolis esensial yang mempengaruhi pola intake pakan / air dan pencernaan,
serta sekresi beberapa lymphokines yang terpadu dengan fungsi kekebalan normal
(Apeldoorn et al, 1999 dalam Olanrewaju 2006).
Periode
gelap harian diperlukan untuk menetapkan pola sekresi normal melatonin.
Melatonin, yang dikumpulkan dalam kelenjar pineal dan retina mata unggas,
dilepaskan selama waktu gelap sebagai respon pada aktivitas
serotonin-Nacetyltransferase, enzim yang mengkatalisasi sÃntesis melatonin di
retina maupun kelenjar pineal (Binkley et al, 1973). Unggas yang diberi periode
gelap secara memadai memiliki lebih sedikit masalah yang terkait dengan
kesehatan, termasuk sindrom kematian tiba-tiba, kematian kaku (SMS) dan masalah
kaki daripada ayam yang dipelihara dalam pencahayaan yang terus menerus atau
nyaris terus menerus (Apeldoorn et al, 1999; Moore dan Sipes, 2000 dalam Olanrewaju
2006).
Penting
diketahui, walaupun dalam keadaan gelap melatonin akan terus mengatur proses
metabolisme dan proses retensi nitrogen secara maksimal, sehingga
proses pertumbuhan unggas akan terus berlangsung semaksimal mungkin sesuai dengan potensi genetiknya. Kemampuan hidup
(livability), BW rata-rata, tingkat konversi pakan dan presentase apkiran
diperbaiki pada broiler yang terekspos photoperiod terbatas, jika dibandingkan
dengan broiler yang diletakkan pada pencahayaan terus menerus.
Broiler
pada photoperiod intermittent menunjukkan lebih sedikit stres,
sebagaimana diukur
dengan corticosterone plasma. Corticosterone plasma diketahui naik pada broiler
stres. Peningkatan ratio heterophil : limphosit adalah statu indikator stres
yang dapat
diterima pada ayam. Broiler yang dipelihara dalam cahaya berkelanjutan memiliki
rasio heterofil : limphosit lebih tinggi dan mengalami respon ketakutan lebih
besar, ditunjukkan dengan peningkatan waktu immobilitas (tidak bergerak), dibandingkan
unggas yang dipelihara di bawah photoperiod 12 L : 12 D (Zulkifli et al,
1998 dalam Olanrewaju 2006).
3.Pencahayaan
Konstan
Kecepatan
pertumbuhan yang lebih lambat merupakan refleksi dari pengurangan
intake pakan yang berhubungan dengan siang yang lebih pendek dan pengurangan
abnormalitas kaki. Penggunaan pencahayaan berkelanjutan atau nyaris terus
menerus terbukti menyebabkan stres dan
mengakibatkan kematian lebih besar (Freeman et al, 1981).
4.Pencahayaan
Intermittent / berselang
Program
pencahayaan intermittent seringkali menghasilkan produktivitas broiler
yang unggul dibandingkan dengan pencahayaan konstan. Ritme / irama circadian
(harian) dalam aktivitas dan metabolismo dikenal baik dalam spesies unggas
diurnal (Classen, 2004 dalam Olanrewaju 2006).
Menaikkan ritme circadian endogen dapat dikerjakan dengan sejumlah
faktor seperti pembuatan kandang, namun pencahayaan adalah faktor yang paling
penting. Program pencahayaan dalam
Olanrewaju (2006) menyatakan, alternatifpencahayan intermittent dapat dikelompokkan menjadi :
a. intermittent
/sebentar-sebentar , misal 1 L : 3 D berulang.
b. terbatas,
missal 16 L : 8 D.
c. kombinasi
intermittent dan terbatas, misal 12 L diikuti 15 menit L : 2 D berulang
selama 12 jam.
Hasil
pengamatan menunjukkan ayam broiler jantan yang dipelihara dalam pencahayaan
intermittent ( (1L : 3 D) dan nyaris berkelanjutan ( 23 L : 1 D)
memiliki kecepatan
pertumbuhan lebih tinggi, level hormon pertumbuhan plasma dan konsentrasi testosteron lebih tinggi daripada dalam
pencahayaan terus menerus ( 24L :
0 D).
Menurut
Morris (1988) dalam Sunarti (2004), Program pencahayaan berselang ada
2 kategori, yaitu program ‘symetrical’ dengan pola 6L:6D:6L:6D dan
program‘asymetrical’
dengan pola 10L:4D:2L:8D. Program ‘symetrical’ akan berpengaruh pada
lamanya interval ovulasi, rata-rata peneluran berkurang dan menambah ukuran telur, sedang
program ‘asymetrical’ akan berpengaruh pada lambatnya dewasa kelamin
dan menambah ukuran telur, tetapi mengurangi rata-rata peneluran.
Charles
( 1992) dalam Olanrewaju (2006), melaporkan broiler jantan memiliki testis
lebih besar dan konsentrasi androgen plasma lebih tinggi 7 minggu daripada unggas
di bawah cahaya berkelanjutan, namun intensitas cahaya tidak berpengaruh. Ohtani
dan Lesson (2000) dalam Olanrewaju (2006), melaporkan bahwa performa ayam
broiler diperbaiki dengan pencahayaan intermittent dari siklus jadwal
berulang 1L
: 2 D). Hasil percobaan pengaruh sumber cahaya menunjukkan broiler yang dipelihara
di bawah bola lampu mini flouresen lebih berat daripada yang dipelihara di bawah
tabung fluorasen ataupun bola lampu pijar pada umur 49 hari. Broiler yang dipelihara
di bawah aturan 16 L : 8 D lebih berat daripada di bawah aturan 23 L : 1 D pada
umur 49 hari. Mortalitas lebih tinggi pada kelompok 23 L : 1 D daripada kelompok
16 L : 8 D.
Produksi
telur sedikit berkurang dalam siklus pencahayaan singkat, namun terdapat
performans lebih baik dalam hal bobot telur dan kualitas cangkang (Sauveur dan
Mongin, 1983, dalam Sunarti 2004). Lewis
dan Perry (1989) dalam Sunarti (2004), menyatakan bahwa ayam betina yang
dipertahankan selama setahun di bawah 2L:4D:8L:10D secara signifikan memiliki
lemak karkas lebih sedikit dibanding ayam betina yang ada di bawah 17L : 7D.
Penelitian oleh Lewis dan Perry (Olanrewaju, 2006) menunjukkan bahwa pengaturan
pencahayaan intermittent memajukan kelompok unggas yang lebih sehat dengan
memproduksi unggas dengan kandungan lemak tubuh lebih rendah, yang pada
gilirannya dapat mengurangi terjadinya pecahnya liver yang berlemak dan peritonitis.
Selanjutnya, penerapan yang tepat dari pencahayaan intermittent dapat
untuk
mengurangi biaya listrik dan konsumsi pakan sebanyak kira-kira 41 % dan 19 %
secara berurutan tanpa menimbulkan pengaruh pada pencapaian bobot tubuh, produksi
telur, dan ukuran telur.
Penelitian
tentang pemberian cahaya menunjukkan bahwa pencahayaan intermittent
meningkatkan produktivitas unggas broiler dan mengurangi kejadian leg disorder.
Ahli unggas dari Canada, Dr. Classen (1994) dalam Poultry Indonesia (2002),
mengemukakan bahwa konversi pakan, daya hidup, pertumbuhan dan nafsu makan
(appetite) yang lebih baik serta menurunnya angka kematian akibat
serangan jantung,
karena pemberian cahaya yang tepat. Program ini bertujuan memperlambat pertumbuhan
broiler pada masa starter, kemudian diikuti dengan compensatory growth
pada masa berikutnya. Pencahayaan intermittent akan mengurangi kebutuhan energi
dengan berkurangnya aktivitas harian sehingga juga mengurangi pengeluaran energi.
Pengamatan terhadap tingkah laku ayam ternyata konsumsi air dan pakan meningkat
50 % lebih tinggi dalam waktu dua jam setelah lampu dinyalakan. Kamyab
(2000), dalam Poultry Indonesia (2002), menyatakan bahwa pencahayaan intermittent
mengurangi kematian dan leg disorder.
5.
Warna Cahaya
Warna
adalah aspek utama ketiga dari cahaya. Warna ditentukan oleh panjang gelombang
dan mendorong pengaruh-pengaruh variabel pada performa broiler. Siang hari
memiliki distribusi panjang gelombang secara relatif antara 400 dan 700 nm. Unggas
menerima cahaya malalui retina mata mereka (retinal photoreceptor) dan melalui
sel-sel photosensitive di otak (extra retinal photoreceptor). Cahaya biru memiliki
efek menenangkan pada unggas, sedangkan merah akan meningkatkan patukan
ke bulu dan kanibalisme. Cahaya biru-hijau menstimulasi pertumbuhan anak ayam,
sedangkan orange-merah menstimulasi reproduksi (Rozenboim et al, 2004). Cahaya
dari panjang gelombang yang berbeda memiliki efek stimulasi yang berbeda pada
retina dan dapat menghasilkan perubahan perilaku yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan (Lewis dan Morris, 2000).
Terdapat
empat jenis lampu untuk unggas : pijar, fluoresen, halide logam, dan sodium
tekanan tinggi. Keempat lampu itu digunakan dalam fasilitas unggas untuk menetaskan
telur, berkumpulnya turunan broiler dan kalkun. Bola lampu pijar adalah stándar
saat ini untuk broiler.
Bola
lampu pijar memberi energi cahaya Namun sebagian besar merupakan energi
listrik dengan efisiensi cahaya sekitar 8 – 24 lumen per watt dan tingkat keawetannya
sekitar 750 – 2000 jam ( Dare dan Rock, 1995). Lampu fluoresen dapat bertahan
lebih dari 20.000 jam dalam kondisi kandang unggas dan dapat mengeluarkan
output cahaya mereka sekitar 20-30 %. Lampu sodium tekanan tinggi menghasilkan
energi, namun intensitas tertinggi adalah bagian kuning, orange, dan merah
dengan umur paling panjang dari semua lampu adalah 24.000 jam. Lampu halide
logam memiliki daya 32 – 1.500 watt dengan tiga lapisan luar yang berbeda : bening,
fosfor, dan menyebar. Lampu tersebut dianggap sebagai cahaya dingin, memiliki
banyak warna biru. Lampu ini memiliki 80 – 100 lumens per watt dan masa pakai
sekitar 10.000 – 20.500 jam.
Unggas
domestik memiliki sejumlah adaptasi pada perangkat warna mereka yang
tidak dimiliki manusia. Unggas memiliki tiga fotoreseptor dibanding manusia hanya
memiliki dua (batang dan kerucut) reseptor (King Smith, 1971). Unggas
memiliki empat pigmen fotoreaktif yang berhubungan dengan sel kerucut
yang bertanggungjawab terhadap fotopic, sedang manusia hanya punya tiga pigmen
(Yoshizawa, 1992). Pigmen kerucut unggas secara maksimal sensitif pada panjang
gelombang 415, 455, 508 dan 571 nm, sedangkan
pigmen manusia maksimal
sensitif pada panjang gelombang 419, 531, dan 558 nm. Unggas memiliki droplet
(kantung air mata) warna berminyak dalam sel-sel kerucut mereka sehingga cahaya
disaring dulu sebelum mencapai pigmen fotoreaktif. Droplet berhubungan dengan
sel kerucut. Kemampuan ayam untuik memvisualisasi warna sama dengan manusia,
namun mereka tidak mampu melihat dengan baik ketika terekspos dengan panjang
gelombang yang pendek (biru-hijau).
North
dan Bell (1990) menyatakan bahwa terdapat efek warna cahaya terhadap beberapa
hal seperti pertumbuhan, tingkat dewasa kelamin, produksi, berat telur dan lain-lain.
B.
Efek Cahaya Terhadap Pertumbuhan
Hipotalamus
akan berkembang dengan rangsangan cahaya. Cahaya merupakan stimulan
positif bagi hipotalamus. Cahaya yang memancar membawa gelombang elektromagnetik
yang menggertak ayam merangsang aktivitas hipotalamus. Cahaya
melalui retina mata akan diteruskan melalui syaraf mata menuju hipotalamus
anterior, sehingga disekresikan somatotropik hormon releasing faktor (STH-RH)
dan tirotropik releasing hormon (TRH). Releasing faktor tersebut akan merangsang
glandula pituitary anterior mensekresikan STH dan TSH, TSH akan merangsang
kelenjar tiroid untuk melepaskan tiroksin. STH dan tiroksin akan merangsang
tubuh meningkatkan aktivitas pertumbuhannya ( Bell dan Freeman, 1971).
Unggas lebih atraktif pada perlakuan cahaya dibanding perlakuan panas (Alsam
dan Wathes, 1991, dalam Sunarti, 2004).
Tiroksin
di dalam tubuh ayam pertama-tama secara langsung mempengaruhi enzim-enzim
yang brehubungan dengan proses metabolisme,
memacu aktifitas peningkatan
konsumsi oksigen, mempercepat denyut nadi, meningkatkan aktifitas metabolisme,
meningkatkan cadangan nitrogen, meningkatkan penyediaan energi dan
secara
tidak langsung merangsang pengeluaran somatotropik hormon. Pada
tingkat seluler, hormon tiroid meningkatkan absorpsi dan pemanfaatan glukosa. Hormon ini meningkatkan glikogenolisis.
Hormon ini juga meningkatkan sÃntesis
protein di dalam semua sel bersama-sama dengan aktivtas yang lebih besar dari
RNA ribosom dan nukleus ( Frandson, 1992).
Aktivitas kalorigenik (menghasilkan panas) dari hormon tiroid merupakan
Kirakira setengah dari keseluruhan laja metabolik basal (BMR) dari seekor hewan
yang normal, karena hormon ini meningkatkan konsumsi oksigen dalam semua metabolisme
sel serta merangsang sÃntesis protein sitoplasma.Stres secara fisik dan emocional
cenderung menghambat sekresi hormon.
Tiroksin penting untuk pertumbuhan
normal dan diferensiasi jeringan. Kurangnya hormon ini pada hewan muda
menyebabkan kekerdilan. Defisiensi hormon triroksin mempengaruhi sebagian besar
sistem-sistem dalam tubuh, serta mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak,
protein dan elektrolit.
Unggas
di bawah cahaya putih lebih cepat dirangsang dibanding di bawah cahaya
biru, sedang warna merah membuat unggas lebih atraktif dalam makan, sehingga
pemberian perlakuan dengan cahaya merah dapat mencegah dischondroplasia
(kerapuhan tulang). Cahaya merah
mencapai otak lebih efisien dibanding
yang lain. Cahaya secara tidak langsung akan meningkatkan konsumsi ransum,
dan dapat disamakan sebagai metode pemberian ransum ( Mc Ardle, 1972 dalam
Sunarti 2004).
Darre
(2001), menyatakan cahaya yang mempengaruhi otak besar ayam ada tiga faktor
yaitu panjang gelombang, intensitas dan durasi atau lamanya cahaya yang terpancar.
Terkait panjang gelombang, ayam di bawah umur 8 minggu dapat distimulasi
cahaya biru, sementara cahaya merah dapat menstimulasi perkembangan organ-organ
reproduksi pada ayam masa grower atau
masa produksi. Cahaya merah memberi
kematangan seksual lebih cepat dan lebih seragam dibanding cahaya lampu
TL biasa. Berdasar recording di farm layer di Yogyakarta, penggunaan lampu khusus
peternakan ayam menghasilkan HDP (Hen Day Production) cenderung lebih tinggi
daripada lampu biasa. Pada minggu ke 26 flock yang menggunakan lampu khusus
menghasilkan HDP 92,8 % sedangkan lampu ruang biasa memiliki HDP 83,7%
( Trobos, 2007).
Selain
berpengaruh terhadap sekresi hormon pertumbuhan, cahaya juga akan merangsang
hipotalamus untuk mensekresikan hormon gonadotropin (Card dan Nesheim,
1972), sehingga hipofise anterior akan melepaskan FSH dan LH yang akan memacu
ovulasi. Hormon yang dihasilkan ovarium adalah estrogen, progesteron dan androgen.
Estrogen
akan meningkatkan kadar Ca, protein, lemak, vitamin dan substansi lain
di dalam darah untuk pembentukan telur. Selain itu menyiapkan ayam betina untuk
bertelur, secara anatomis dengan peregangan tulang pubis dan perkembangan oviduk.
Hormon ini juga mempengaruhi perkembangan karakter seksual sekunder ayam
betina, untuk pigmentasi bulu spesifik ayam betina Progesteron berperan
terhadap produksi LH dari pituitari anterior, sehingga ada pelepasan yolk masak
dari ovarium ke infundibulum, akibat peningkatan metabolismo lemak. Hormon ini
juga mempengaruhi tingkah laku perkawinan.
Hormon
androgen berfungsi untuk pertumbuhan jengger, bersama-sama dengan progesteron
berperan dalam formasi albumen di mágnum. Badan
Pineal terletak di atas talamus dan melekat pada atap ventrikel ketiga. Badan
– badan ini mengandung banyak serotonin dan suatu enzim yang mengkonversinya
menjadi melatonin. Glandula pineal ( glandula epifise) menghasilkan
hormon melatonin (enzim epifise atau N-asetil transferase) yang disekresikan
di malam hari dan mempunyai peran dalam memperbaiki respon kekebalan
pada ayam broiler. Ada peningkatan sÃntesis dan pelepasan melatonin tiap hari,
yang tergantung pada jumlah sinar, konsentrasi yang tertinggi di dalam darah tercapai
pada saat gelap. Hormon melatonin merupakan mata ketiga bagi ayam berfungsi
mengatur ritme harian dan fungÃs fisiologi bagian-bagian tubuh ayam.
Meskipun
tidak ada cahaya, reseptor cahaya di kulit khususnya di daerah kepala mampu
memanipulasi cahaya tersebut untuk dikirim ke hipotalamus yang akhirnya memacu
semua organ untuk beraktivitas. Penggunaan sistem pencahayaan gelap terang
pada broiler dapat menekan kasus kasus “spiking mortality sÃndrome” dan hipoglisemia.
Melatonin mampu bekerja sebagai antioksidan, sehingga bekerja sama dengan
vitamin E dapat mengikat unsur radikal bebas yang merugikan.
C.
Pengaruh Cahaya terhadap Performans, Konsumsi Protein dan Kadar Asam Urat
Darah Ayam
Deposisi
(pengendapan) adalah akibat dari intake energi di satu sisi dan pengeluaran
energi di sisi yang lain dan dikontrol oleh berbagai macam mekanisme. Di
samping faktor genetis, juga faktor eksogen seperti kondisi lingkungan dan
faktor nutrisi
(kualitas diet dan komposisi) berinteraksi dengan kuat dengan kontrol dan regulasi
dari aliran energi.
Protein
merupakan zat organik bermolekul tinggi, yang mempunyai peranan banyak
untuk mengembangkan struktur tubuh, sebagai enzym, hormon, alat transportasi,
buffer, sumber energi dan lainnya. Pada hewan dewasa, protein tidak dapat
diserap langsung oleh dinding usus (kecuali mamalia setelah lahir), maka harus dipecah
menjadi zat yang dapar diserap yaitu asam amino.
Pada
hewan nonruminansia, protein tidak mengalami degradasi dalam ventriculus/proventriculus,
tapi langsung dipecah oleh enzim proteolitic dalam usus halus.
Di samping itu nonruminansia tidak dapat memanfaatkan nonprotein nitrogen (NPN)
sebagai sumber protein atau asam amino.Unggas membutuhkan lebih dari 12 asam
amino dan cukup tambahan nitrogen untuk biosintesis asam amino nonessensial.
Arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionon, fenilalanin, threonin,
triptofan, dan valin adalah esensial bagi unggas umumnya.
Hampir
semua nitrogen yang dihasilkan dari proses katabolisme dikeluarkan lewat
ginjal (urine) sebagai urea. Urea di dalam ginjal akan terbentuk dari empat bahan
utama, yaitu : (1) NH3 dari hepar, (2) CO2, (3) ATP dan carbamyl phosphat, (4)
enzim carbamyl phosphatase (pada mitokondria).
Enzim
carbamyl phospohatase pada unggas tidak ada, akibatnya bangsa burung
tidak terjadi siklus urea atau tidak dapat mensinteis urea dari arginin. Asam urat
adalah produk akhir dari degradasi protein dalam spesies unggas. Ayam
leghhorn putih yang sedang tumbuh hanya 61 % efisien pada pengunaan
protein per hari. Protein yang diretensi oleh ayam broiler sekitar 67 % per hari.
Kebutuhan protein per hari untuk ayam yang sedang tumbuh dapat dibagi menjadi
3 bagian : (1) protein yang diperlukan untuk pertumbuhan jaringan, (2)
protein
untuk hidup pokok, (3) protein untuk pertumbuhan bulu.
Sebagaimana
diungkap pada pembahasan di atas, bahwa efek cahaya setelah diterima
hipotalamus juga akan mensekresikan STH-RH (somatotropik releasing hormon) dan dan TRH (tirotropik releasing hormon).
Releasing itu akan merangsang glandula
pituitary anterior untuk mensekresikan STH dan TSH, TSH akan menstimulir
kelenjar tiroid untuk melepaskan tiroksin. Somatotropik hormon dan tiroksin
akan menstimulir tubuh meningkatkan aktivitas pertumbuhan.
Hormon pertumbuhan dari kelenjar pituitary anterior dan tiroksin dari kelenjar tiroid bekerja secara simultan dalam kontrol terhadap pertumbuhan ternak menjelang pubertas. Somatotropik hormon dalam tubuh berfungsi memacu aktifitas metabolisme, meningkatkan cadangan nitrogen, meningkatkan penyediaan energi dan merangsang pembentukan somatotropik hormon. Dengan meningkatnya kedua hormon tersebut akan menaikkan konsumsi ransum, sehingga pertumbuhan akan lebih cepat (Harper et al, 1979 dalam Isroli , 1996). Ditambahkan oleh Isroli (1996), peningkatan kedua hormon tersebut pada ternak menjelang pubertas dapat mempertinggi nafsu makan, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan meningkatkan laju metabolisme basal sehingga meningkatkan laju pertumbuhan.
Hormon pertumbuhan dari kelenjar pituitary anterior dan tiroksin dari kelenjar tiroid bekerja secara simultan dalam kontrol terhadap pertumbuhan ternak menjelang pubertas. Somatotropik hormon dalam tubuh berfungsi memacu aktifitas metabolisme, meningkatkan cadangan nitrogen, meningkatkan penyediaan energi dan merangsang pembentukan somatotropik hormon. Dengan meningkatnya kedua hormon tersebut akan menaikkan konsumsi ransum, sehingga pertumbuhan akan lebih cepat (Harper et al, 1979 dalam Isroli , 1996). Ditambahkan oleh Isroli (1996), peningkatan kedua hormon tersebut pada ternak menjelang pubertas dapat mempertinggi nafsu makan, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan meningkatkan laju metabolisme basal sehingga meningkatkan laju pertumbuhan.
Dapat
dinyatakan, cahaya secara tidak langsung akan meningkatkan konsumsi ransum
dan dapat disamakan sebagai metode pemberian ransum. Rahimi
( 2005) dalam penelitiannya menyatakan, bahwa jadwal pencahayaan intermittent
(berselang) meningkatkan rasio konversi pakan secara signifikan (P<0,05).
Sehubungan dengan timbunan lemak, program pencahayaan berselang mengurangi
persentase lemak abdomen ( P < 0,05). Disimpulkan, karena aktvitas fisik
sangat rendah selama gelap, dan pengeluaran energi untuk aktivitas berkurang, oleh
karenanya penggunaan program pencahayaan intermittent meningkatkan efisiensi
produksi, menurunkan temperatur ruang, dan menghemat listrik. Intake
pakan ayam di bawah pencahayaan berselang (IL) lebih tinggi daripada kelompok
di bawah pencahayaan terus menerus (CL) di umur 3 – 6 minggu ( Ohtani dan
Leeson, 2000, dalam Rahimi , 2005). Dalam penelitian lain (Ohtano dan Tanaka, 1998
dalam Rahimi, 2005), mengamati bahwa ayam ayam IL terburu-buru ke feeder dan
dengan penuh semangat makan pada satu waktu segera setelah mulainya periode pencahayaan,
sedangkan ayam ayam CL menunjukkan sedikit kesenangan pada saat makan.
Mereka menyimpulkan, pada ayam ayam IL saluran pencernaan atas mungkin telah
kosong selama periode gelap, dan unggas siap makan ketika cahaya tiba. Terkait dengan
pengurangan listrik, program IL juga mengurangi temperatur ruangan (sekitar
3
derajat C).
Penelitian
Bolukbasi (2006), menyimpulkan bahwa rasio konversi pakan terbaik
ditentukan dari kelompok pencahayaan intermittent (berselang). Pakan rendah protein
adalah efektif untuk mencegah ascites dalam stress dingin. Mortalitas /kematian
yang diasebabkan oleh ascites lebih rendah pada kelompok yang terekspos pencahayaan
intermittent dibanding kelompok kontrol, dan tidak ada mortalitas yang disebabkan
oleh ascites, pada pakan binatang dengan protein rendah.
Hasil
penelitian Q. Swennen et al (2005), menunjukkan, tanpa memperhatikan kondisi
pemberian pakan, level asam urat yang amat sangat rendah diukur dalam plasma
ayam ayam dengan diet rendah protein dibanding ayam dengan diet rendah lemak,
yang menegaskan penemuan penemuan sebelumnya dengan ayam yang diberi pakan
ad lib. Ayam dengan diet pakan rendah protein memberi reaksi kompensasi dengan
memperbaiki efisiensi retensi protein. Analisis menunjukkan hubungan negatif
antara level plasma asam urat plasma dan efiseiensi retensi protein. Diduga pengurangan
degradasi protein / oksidasi asam amino mengakibatkan retensi yang lebih
efisien dari protein pakan sebagai mekanisme imbangan bagi intake protein
yang
menurun. Perbedaan dalam level asam urat antara ayam diet rendah protein dan diet
rendah lemak tetap bertahan dalam kondisi berpuasa, menunjukkan pengaruh kuat
pada protein tubuh dari ayam yang sudah
terlambat pertumbuhannya. Dari
uraian di atas jelas kiranya, bahwa secara umum pencahayaan akan
meningkatkan
konsumsi pakan, tentu saja termasuk konsumsi protein akan meningkat.
Pada akhirnya kadar asam urat di dalam darah ayam juga akan meningkat.
PUSTAKA
Abbas,
O.A. et al. 2007. The Effect
of Lighting Program and Melatonin on
Alleviation
of the Negative Impact of Heat Stress on the Immune Response in
Broiler
Chickens. International Journal of Poultry Sci. 6 (9) : 651-660.
Appleby,
M.C., B.O. Hughes and H.A. Elson. 1992. Poultry Production System :
Behaviour,
Management and Welfare. C.A.B. International, Wallingford, UK.
Austic,
R.E. and M.C. Nesheim. 1990. Poultry Production. Lea & Febiger.
Philadelpia.
London
Bell,
D.J. and B.M. Freeman. 1971. Physiology and Biochemistri of The Domestic
Fowl.
Acedemic Press. London. New York.
Bolukbasi,
S.C. and Hakki Emsen. 2006. The Effect of Diet with Low Protein and
Intermittent
Lighting on Ascites Induced by Cold Temperature and Growth
Performance
in Broilers. International Journal of Poultry Sci. 5 (10) : 988-991.
Card,
L.E. and M.C. Nesheim. 1972. Poultry Production. Fourth edition. Lea and
Febiger,
Philadelphia.
Ensminger,
M.E. 1980 Poultry Science (Animal Aghriculture Series). 2-nd Edition.
The
Interstate Printers and Publisher Inc. Danville. Illionis USA.
Frandson.
1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Keempat. Terjemahan B.
Srigandono
fan Koen Praseno Gadjahmada University Press. Yogyakarta.
Freeman,
B.M., A.C.C. Manning and I.H. Flack. 1981. Photoperiod and its effect on
the
response of the immature fowl to stressors. Comp. Biochem. And
Physiol.,
68 A
: 411- 416.
Ingram,
D.R., L.F. Hattean, and K.D. Homan. 2007 Reproductive Performance of
Broiler
Breeders Maintained on a Photo Schedule of Only Morning and
Evening
Artificial Light in Open-Type Houses. International Journal of
Poultry
Sci.
6 (6) : 424-426.
Ingram
D.R., L.F. Hatten dan K.D. Homan. 2007. Reproductive Performance of
Broiler
Breeders as Affected by Age at Initiation of Laying Cycle Lighting
Program.
International Journal of Poultry Sci. 6 (7) : 462 – 465.
Isroli.
1996. Pengaturan Konsumsi Energi Pada Ternak. Sainteks Vol III No 2.
Moreng,
R.E. and J. Avens . 1985. Poultry Science and Production. Reston
Publishing
Company. Inc. A Pretice-Hall Company. Virginia.
Olanrewaju,
H.A. et al. 2006. A Review of Lighting Programs for Broiler Production.
International
Journal of Poultry Sci. 5 (4) : 301-308.
Olanrewaju,
H.A. et al. 2007. Interactive Effects of Ammonia and Light Intensity on
Ocular,
Fear and Leg Health in Broiler Chickens. International Journal
of
Poultry
Sci. 6 (10) : 762-769.
Poultry
Indonesia. 2002. Manajemen menangani cacat Kaki pada Broiler. Poultry
Indonesia.
Jakarta
Prayitno,
D.S. 1994. The Effect of Colour and Intensity of Light on The Behaviour
and
Performance of Broiler. University of Wales, United Kingdom. (Disertasi).
Rahimi,
G. et al. 2005. The Effect of Intermittent Lighting Schedule on Broiler
Performance.
International Journal of Poultry Sci. 4 (6) : 369 - 398
Sunarti,
D. 2004. Pencahayaan Sebagai Upaya Pencagahan Cekaman Pada Industri
Perunggasan
tropis Berwawasan Animal Welfare. Sidang Senat Buru Besar
Universitas
Diponegoro. Semarang.
Swennen,
Q., et al. 2005. Effect of Subtitution Between Fat and Protein on
feed
Intake and Its Regulatory Mechanisms in Broiler
Chickens : Endokrin
Functioning
and Intermediary Metabolism. International Journal of
Poultry
Science
84 : 1051-1057.
DAFTAR
RIWAYAT HIDUP PENULIS
a.
Nama dan Gelar Akademik : Dra. Mei Sulistyoningsih, M.Si
b.
Tempat tanggal lahir : Semarang, 7 Mei
1967
c.
Jenis kelamin : Perempuan
d.
Pangkat/Gol : Penata Tk I / IV a
e.
NPP : 936701099
f.
Jabatan : Lektor Kepala
g.
Bidang Keahlian : Pengajaran Biologi, Genetika dan
Mix Farm & Agrobisnis
h.
Gelar akademik terakhir : 1. Sarjana
Pendidikan Biologi
(1990), IKIP Negeri Semarang
2. Magister Sains (2004)
Pascasarjana
Prodi Magister
Peternakan
Undip Semarang
3. Sedang studi S3 (Doktor) (2008)
Pascasarjana Prodi Doktor Ilmu
Peternakan Undip Semarang
i.
Fak/Progdi/Pusat : FPMIPA/P.Biologi/IKIP
PGRI Smg
j.
Alamat Kantor : Jl. Lontar No 1 Semarang
k.
Alamat Rumah : Jl Meranti I / A-90
Plamongan
Indah,
Semarang
Comments
Post a Comment