PENGOLAHAN PROTEIN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Secara garis
besar, bahan pangan
dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu bahan pangan
asal tumbuhan (nabati)
dan bahan pangan
asal hewan (hewani). Kedua bahan pangan ini memiliki karakteristik
yang berbeda sehingga
memerlukan penanganan dan pengolahan yang
berbeda pula. Selanjutnya
dalam hal ini
yang diuraikan adalah
bahan pangan hewani. Bahan
pangan hewani meliputi
susu, telur, daging
dan ikan serta
produk-produk olahannya yang bahan dasarnya berasal dari hasil hewani.
Ada dua hal penting
yang dipertimbangkan mengapa pengolahan pangan perlu dilakukan. Yang pertama
adalah untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dimakan sehingga nilai
gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Yang kedua adalah agar bahan pangan tersebut dapat diterima, khususnya diterima
secara sensori, yang meliputi penampakan (aroma, rasa, mouthfeel, aftertaste)
dan tekstur (kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan).
Di satu sisi
pengolahan dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-sifat yang diinginkan
yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara sensori. Di sisi
lain, pengolahan juga dapat menimbulkan hal yang sebaliknya sehingga diperlukan
suatu usaha optimasi dalam suatu pengolahan agar tidak banyak mempengaruhi
nilai gizi dan keamanan pangan.
Jika kita berbicara
pengolahan pangan hewani maka sebenarnya kita berbicara suatu proses yang
terlibat dari mulai penanganan bahan pangan setelah disembelih (sampai kepada
usaha-usaha pengawetan dan pengolahan menjadi produk jadi serta penyimpanannya.
B. Tujuan
Adapun tujuan
diadakannya penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa:
1.
Mengetahui apa tujuan dan manfaat pengolahan pada bahan pangan.
2.
Mengetahui pengaruh pengolahan terhadap kandungan
protein
BAB II PEMBAHASAN
A. Prnsip dan Tujuan Pengolahan Bahan
Pangan
Pada prinsipnya
pengolahan pangan dilakukan
dengan tujuan:
1.
untuk pengawetan, pengemasan
dan penyimpanan produk
pangan (misalnya pengalengan);
2.
untuk
mengubah menjadi produk
yang diinginkan (misalnya pemanggangan); serta
3.
untuk
mempersiapkan bahan pangan
agar siap dihidangkan.
Semua bahan mentah
merupakan komoditas yang mudah rusak, sejak
dipanen, bahan pangan
mentah, baik tanaman
maupun hewan akan mengalami kerusakan
melalui serangkaian reaksi
biokimiawi. Kecepatan
kerusakan sangat bervariasi,
dapat terjadi secara
cepat hingga relatif
lambat. Satu faktor utama
kerusakan bahan pangan adalah kandungan air aktif secara biologis dalam
jaringan. Bahan mentah
dengan kandungan air
aktif secara biologis yang
tinggi dapat mengalami
kerusakan dalam beberapa
hari saja, misalnya daging-dagingan.
Penanganan, penyimpanan
dan pengawetan bahan
pangan sering menyebabkan terjadinya
perubahan nilai gizinya,
yang sebagain besar
tidak diinginkan. Zat gizi yang
terkandung dalam bahan
pangan akan rusak pada sebagaian besar proses pengolahan
karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi
diantaranya. Zat gizi mikro terutama
tembaga dan zat besi serta enzim kemungkinan sebagai katalis dalam proses
tersebut.
Selain proses pengolahan yang
tidak diinginkan karena
banyak merusak zat-zat gizi
yang terkandung dalam
bahan pangan, proses
pengolahan dapat bersifat
menguntungkan terhadap beberapa komponen zat gizi yang terkandung dalam bahan
pangan tersebut, yaitu
perubahan kadar kandungan
zat gizi, peningkatan daya cerna
dan ketersediaan zat-zat gizi serta penurunan berbagai senyawa antinutrisi
yang terkandung di dalamnya.
Proses pemanasan bahan
pangan dapat
meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya, misalnya pemanasan
kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat
meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di
dalamnya. Selain itu proses fermentasi
kedelai dalam proses pembuatan tempe misalnya, juga dapat menyebabkan
terjadinya denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna protein
tersebut.
Avidin dalam
telur merupakan senyawa yang dapat mengikat biotin, namun avidin akan
rusak oleh adanya pemanasan dalam
proses pengolahan. Pada
umumnya pemanasan akan meningkatkan
daya cerna bahan
pangan sehingga meningkatkan keguanaan zat-zat
gizi yang terkandung
di dalamnya. Namun
demikian, pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan nilai
sensoris dan nilai gizi produk
pangan olahan. Untuk
itu, maka kunci
utama dalam proses pengolahan bahan
pangan, baik di tingat rumah
tangga maupun di
industri adalah melakukan optimisasi
proses pengolahan untuk
menghasilkan produk olahan yang
secara sensoris menarik dan tinggi nilai gizinya.
Dari uraian
sebelumnya dapat diketahui
bahwa sangat banyak
pengaruh berbagai pengolahan terhadap komponen zat gizi dalam bahan pangan, mulai dari saat penanganan,
penyimpanan maupun pengawetan. Pengaruh
pengolahan terhadap nilai
gizi bahan pangan
diantaranya adalah terhadap
nilai gizi protein.
B. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai
Gizi Protein
Pengolahan bahan
pangan berprotein yang tidak dikontrol
dengan baik dapat menyebabkan
terjadinya penurunan nilai
gizinya. Sebagian besar pangan asal hewani mengandung kadar protein yang
tinggi atau menjadi pangan sumber protein.
Pengolahan dapat dilakukan secara
fiisik, kimia atau biologis. Secara
fisik biasanya dilakukan
dengan penghancuran atau pemanasan, secara
kimia dengan penggunaan
pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam
atau belerang dioksida;
dan secara biologis
dengan hidrolisa enzimatis atau
fermentasi.
Diantara cara
pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan
menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan pengeringan. Sementara
itu kita ketahui
bahwa protein merupakan
senyawa reaktif yang tersusun dari beberapa asam amino yang mempunyai
gugus reaktif yang dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula
pereduksi, polifenol, lemak dan produk
oksidasinya serta bahan
tambahan kimia lainnya
seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida.
Perlakuan dengan
alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino, perubahan bentuk L menjadi bentuk
D. Selain itu juga dapat terjadi reaksi antara asam
amino yang satu dengan
yang lain, misalnya terbentuknya lisiolalanin dari lisin dan
alanin. Hal tersebut dapat menyebabkan
menurunnya nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein
dan ketersediaan atau availabilitas asam-asam
amino esensial. Selain itu
reaksi antara protein dengan
gula pereduksi yang
dikenal dengan reaksi
Maillard, juga merupakan penyebab utama
terjadinya kerusakan protein
selama pengolahan dan penyimpanan.
a.
Reaksi Maillard
Reaksi Maiilard
terjadi antara gugus
aldehid dari gula
pereduksi dengan gugus amina dari
asam amino terutama epsilon-amino-lisin dan alfa-amino asam amino N-terminal.
Raksi ini banyak
terjadi pada pembakaran
roti, pembuatan breakfast cereal,
pemanasan daging terutama
apabila kontak dengan
bahan nabati, serta pengolahan susu bubuk. Yang terakhir merupakan hal yang paling penting
karena susu bubuk banyak digunakan untuk bayi dan anak-anak, dimana
ketersediaan asam-asam aminonya sangat penting artinya untuk pertumbuhan.
Selain itu
di dalam susu
bubuk juga mengandung
gula pereduksi, sehingga mudah bereaksi
dengan asam-asam amino
yangterkandung di dalam
susu tersebut. Pada umumnya reaksi Maillar terjadi dalam dua tahapan,
yairu tahap reaksi awal (Gambar 1) dan
reaksi lanjutan (Gambar 2). Pada tahap
awal terjadi kondensasi antara
gugus karbonil dari
gula pereduksi dengan
gugus amino bebas dari
asam amino dalam
rangkaian protein. Produk
hasil kondensasi selanjutnya akan
berubah menjadi basa
Schiff karena kehilangan molekul
air (H2O) dan akhirnya tersiklisasi oleh Amadori rearangement
membentuksenyawa 1-amino-1-deoksi-2-ketosa (Gambar 1). Senyawa deoksi-ketosil atau senyawa Amadori
yang terbentuk merupakan bentuk utama lisin yang terikat pada bahan pangan
setelah terjadinya reaksi
Maillard awal. Pada
tahap ini secara
visual bahan pangan masih berwarna seperti aslinya, belum berubah
menjadi berwarna coklat, namun demikian lisin dalam protein bahan pangan
tersebut sudah tidak tersedia lagi secara biologis (bioavailabilitasnya
menurun).
Gambar
1. Reaksi antara gugus
aldehid glukosa dengan
gugus amino lisin yang terikat pada protein (reaksi
Maillard awal).
Reaksi
Maillard lanjutan dapatterjadi
melalui tiga jalur
(pathways), dua diantaranya dimulai
dari produk Amadori
(senyawa deoksi-ketosil) dan
yang ketiga berasal dari
degradasi Strecker. Reaksi
tersebut berakhir dengan pembentukan pigmen berwarna coklet
yang disebut malanoidin (Gambar 2).
Gambar
8.2. Reaksi antara gula
pereduksi dengan asam
amino pada protein (reaksi Maillard lanjutan).
Suatu penelitian
menggunakan hewan percobaan
(tikus) menunjukkan bahwa produk
reaksi Maillardbaik tahap awal maupun tahap lanjutan tidak dapat
dimanfaatkanoleh tubuh. Semakin
lanjut reaksi Maillard
berlangsung, akan semakin banyak
produk reaksi yang ditemukan dalam
feses tikus. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa
protein yang telah mengalami reaksi
Maillar daya cernanya akan menurun,
sehingga dikeluarkan melalui feses.
Selain itu, produk yang dapat diserap ususpun tidak dapat digunakan oleh
tubuh karena dalam urin hewan percobaan tersebut terdeteksi adanya produk
reaksi Maillard (Tabel 8.1).
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penurunan nilai gizi protein akibat reaksi Maillard terjadi
sebagai berikut:
1.
lisin dan sistin mengalami kerusakan
sebagai akibat bereaksi dengan senyawa
karbonil atau dikarbonil dan aldehid, padahal lisin
merupakan salah satu
asam amino esensial;
2.
penurunan ketersediaan semua asam-asam amino, termasuk leusin yang
biasanya paling stabil, sebagai
akibat terbentuknya ikatan silang (cross linkage) antar asam-asam amino melalui
produk reaksi Maillard;
dan
3.
penurunan daya
cerna karena terhambatnya
penetrasi enzim ke dalam substrat protein atau karena tertutupnya sisi protein
yang dapat diserang enzim karena terjadinya ikatan silang tersebut.
b. Reaksi dengan senyawa polifenol
Selain reaksi
Maillard kerusakan protein
(asam amino) lain
yang dapat terjadi adalah karena terjadinya reaksi dengan senyawa
polifenol yang berasal dari tanaman
seperti fenolat, flavonoiddan tanin. Senyawa polifenol tersebut akan mudah teroksidasi
dengan adanya oksigen
dalam suasana alkali
atau terdapatnya enzim polifenolase, membentuk senyawa radikal
orto-kuinon.
Senyawa orto-kuinon
tersebut sangat reaktif dan apabila bereaksi dengan protein dapat membentuk
senyawa kompleks yang melibatkan asam amino lisin sehingga ketersediaannya akan
menurun. Selain itu senyawa kompleks
protein-polifenol tersebut sulit
ditembus oleh enzim
protease sehingga daya
cerna proteinnya juga rendah,
sehingga secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa nilai gizi protein tersebut juga akan
turun. Pembentukan kompleks antara
protein dan senyawa polifenol dapat dilihat pada Gambar 3.
c. Pembentukan lisinoalanin
Pada umumnya
pengolahan protein dengan
alkali dillakukan untuk
memperbaiki sifat fungsional
protein. Ada dua
hal yang perlu
mendapat perhatian yaitu pembentukan
lisinolalanin dan rasemisasi
asam amino, yang keduanya dapat berakibat pada penurunan
nilai gizi protein tersebut.
Lisinolalanin adalah
senyawa
N-epsilon-(DL-2-amino-karboksi-etil)-L-lisin yang disingkat dengan
LAL. Senyawa tersebut terdiri dari
residu lisin yang gugus epsilon-aminonya
terikat pada gugus metil dari
residu alanin. Terdapat
dua mekanisme pembentukan lisinolalanin yang diketahui, yaitu melalui
reaksi beta-eliminasi dan reaksi substitusi (Gambar 4a dan b).
Pembentukan
lisinoalananin akan menurunkan daya cerna protein karena ikatan silang
(cross linkage). Selain itu
lisinolalanin juga bersifat toksik apabila termakan, yang
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal (nephrocytomegaly), namun
mekanismenya belum diketahui
dengan jelas.
Banyak penelitian telah
dilakukan untuk mempelajari parameter fisik dan kimia yang mempengaruhi pembentukan
lisinolalanin. Tujuan utamanya adalah
untuk mengurangi atau menghilangkan
LAL dari protein
yang diberi perlakuan menggunakan alkali.
Dilaporkan bahwa LAL
dapat terbentuk pada
pH 9, pembentukannya akan
dipercepat pada pH antara 11-12 dan pada kondisi suhu tinggi.
Gambar
4a. Mekanisme pembentukan lisinolalanin
melalui reaksi beta-eliminasi.
Gambar
4b. Mekanisme pembentukan lisinolalanin
melalui reaksi substitusi.
Struktur protein
merupakan kriteria penting
yang dapat mempengaruhi pembentukan LAL. Jumlah LAL yang
terbentuk tergantung pada konsentrasi lisin dan
residu sistein serta
serin dalam protein,
serta jarak antara
lisin ke residu sistin atau serin dalam rantai
protein. Protein yang residu lisin dan sistin atau serinnya
berdekatan atau hanya dibatasi oleh satu atau dua residu lainnya akan dapat
segera membentu LAL.
d. Rasemisasi asam amino
Selain terbentuknya
lisinoalanin, terjadinya rasemisasi
asam amino merupakan fenomena
lain yang terjadi
pada saat protein
diperlakukan dalam larutan alkali
dan dapat mempengaruhi nilai gizi protein.
Rasemisasi juga dapat terjadi
dalam suasana asam
atau proses penyangraian
(roasting), terutama apabila
terdapat lipidatau gula pereduksi.
Pada kejadian ini, asam
amino bentuk L akan berubah menjadi bentuk D yang tidak dapat digunakan oleh
tubuh. Demikian pila ikatan peptida L-D,
D-L atau D-D dari protein juga tidak dapatdiserang oleh enzim proteolitik,
sehingga daya cerna protein menurun.
Asam-asam amino D-lisin, D-teronin, D-triptofan, D-leusin, D-isoleusin
dan D-valin sama sekali tidak dapat digunakanoleh tubuh. Sedangkan D-fenilalanin dapat menggantikan
L-fenilalanin dan D-metionin dapat digunakan sama baiknya dengan L-metionin
oleh tubuh.
Seperti telah
disebutkan sebelumnya, akan terjadi rasemisasi asam amino dalam larutan alkali
yang berakibat terjadinya penurunan nilai biologis beberapa asam mino
tersebut. Arginin, sistin,
treonin dan sistein
sebagian akan rusak, sementara itu
glutamin dan asparagin
akan dideaminasi dalam larutan
alkali.
Dalam larutan
asam, triptofan sedikit
lebih mudah rusak,
sistein sebagian dikonversi
menjadi sitin, serin dan treonin sebagian akan rusak. Fenilalanin dan treonin sebagain akan rusak
oleh sinar ultra violet. Semua asam
amino dalam bahan pangan, terutama
lisin, treonin dan
metionin bersifatsensitif terhadap pemanasan kering dan radiasi. Oleh karena itu, dalam proses pembakaran dan pemanggangan
akan terjadi penurunan nilai biologis protein secara signifikan.
e. Interaksi antara protein dan
lipid teroksidasi
Penurunan nilai
gizi protein juga
dapat disebabkan karena terjadinya interaski antara
protein dengan lipid
teroksidasi, yang seringkali
tidak diperhatikan dalam
proses pengolahan pangan.
Oksidasi lipid yang mengandung asam lemak
tidak jenuh berlangsung
melalui tiga tahap:
1.
pembentukan produk primer
seperti lipid hidroperoksida;
2.
degradasi hidroperoksida melalui
radikal bebas dan
membentuk produk-produk sekunder seperti aldehid, hidrokarbon dan
lain-lain; serta
3.
polimerisasi produk primerdan sekunder
membentuk produk akhir yang stabil.
Produk-produk yang
terbentuk tersebut dapat bereaksi
dengan protein, terutama
dengan asam amino
lisin, membentuk protein modifikasi
yang sulit dicerna
oleh enzim proteolitik.
Disamping itu, asam
amino triptofan dan
asam amino lain
yang mengandung sulfur juga
dapat rusak teroksidasi
oleh adanya radikal
bebas dan hidroperoksida.
C. Pengaruh Pengolahan Susu terhadap
Protein
Proses utama yang banyak dipakai dalam pengolahan susu adalah metode thermal. Metode
thermal yaitu suatu proses pengolahan pangan konvensional dengan menggunakan pemanasan
antara 600C-1000C seperti pasteurisasi. Proses ini digunakan untuk memperpanjang
umur simpan dengan menginaktifkan enzim
dan menekan jumlah mikroorganisme di dalam susu. Namun seiring dengan
perkembangan teknologi cara ini dipandang sudah tidak efektif lagi karena
mempunyai dampak negatif seperti, melarutnya mineral, kalsium dan fosfor,
kerusakan whey protein, rendahnya daya tegang curd, berkurangnya kadar CO2,
berubahnya keseimbangan ion hidrogen dan berkurangnya pembentukan krim
Penyimpanan susu pasteurisasi harus dilakukan pada suhu rendah
yaitu antara 2-8°C. Masa simpan susu pasteurisasi rata-rata adalah 7 hari.
Penyimpanan pada suhu dibawah 0°C tidak direkomendasikan karena dapat
menimbulkan kerusakan protein susu. Penyimpanan pada suhu ruang maksimal adalah
4 jam dan segera dikonsumsi. Penyimpanan susu pada 2°C dapat memperpanjang masa
simpan hingga 12 hari namun jika suhu penyimpanan susu pada kisaran 8°C, maka
masa simpan susu hanya berkisar 5 hari.
Proses pengolahan susu cair dengan teknik sterilisasi atau
pengolahan menjadi susu bubuk sangat berpengaruh terhadap mutu sensoris dan
mutu gizinya terutama vitamin dan protein. Pengolahan susu cair segar menjadi
susu UHT sangat sedikit pengaruhnya terhadap kerusakan protein. Di lain pihak
kerusakan protein sebesar 30 persen terjadi pada pengolahan susu cair menjadi
susu bubuk. Kerusakan protein pada pengolahan susu dapat berupa terbentuknya
pigmen coklat (melanoidin) akibat reaksi Mallard (Ressang, 1988).
Pada pembuatan keju , Susu keju diberi perlakuan
berupa pematangan awal setelah penambahan kultur bakteri yang tepat untuk
setiap tipe keju, dan dicampur dengan rennet. Aktivitas enzim pada rennet
menyebabkan susu terkoagulasi menjadi jelly padat yang dikenal dengan koagulum.
Secara konvensional proses produksi keju adalah selama pengadukan, selama
pemotongan , selama pengeringan whey ,dan selama pengepresan/penekanan akan
mempengaruhi jenis produksi keju.Adapun yang mempengaruhi efektivitas pada
produksi keju keras dan semi-keras adalah adanya dekomposisi
protein,dekomposisi laktosa,biang bakteri,pematangan keju dan penyimpanan keju
dimanakombinasi spesifik antara suhu dan kelembaban relatif ( relative humidity
atau RH) harus dijaga di dalam ruangan penyimpanan yang berbeda selama masa
tahapan-tahapan penyimpanan.
D. Pengaruh Pengolahan Daging terhadap
Protein
Berikut ini adalah
beberapa contoh kandungan protein daging sapi dalam 100 gr di berbagai produk
olahan:
·
Jumlah Kandungan
Protein Daging Sapi = 18,8 gr dalam 100 gr
·
Jumlah Kandungan Protein Daging Kornet Sapi = 16 gr dalam
100 gr
·
Jumlah Kandungan
Protein Daging Asap = 32 gr dalam 100
gr
·
Jumlah Kandungan
Protein Bakso = 4,12 gr dalam 100 gr
·
Jumlah Kandungan
Protein Sosis Daging = 14,5 gr dalam 100
gr
·
Jumlah Kandungan
Protein Dendeng Daging Sapi = 55 gr dlm 100 gr
·
Jumlah Kandungan
Protein Abon Sapi = 18 gr dalam 100 gr
E. Pengaruh Pengolahan Telur terhadap
Protein
Pengolahan telur dengan
pemasakan menggunakan perebusan dan
pengukusan menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap protein yang
dikandungnya. Pada telur yang direbus menghasilkan kadar protein yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan pengukusan baik pada telur ayam kampung, telur
ayam ras dan telur itik.
F. Pengaruh Pengolahan Ikan terhadap
Protein
Proses pengolahan dari
ketiga ikan teri menunjukkan terjadinya
denaturasi protein yang menyebabkan berkurangnya
kadar dan perubahan daya cerna
protein. Penurunan kadar
dan perubahan daya cerna
protein berbeda-beda tergantung perlakuan
yang diterima.
Untuk denaturasi protein,
perendaman cuka pada
proses pengolahan formula A
menyebabkan denaturasi sebesar 25,48%.
Hal ini menyebabkan penurunan kadar protein sebesar 3,82 gram.
Penurunan kadar protein ini
disebabkan oleh terjadinya
rasemisasi asam amino, perubahan bentuk L menjadi D. Hal tersebut dapat menyebabkan
menurunnya nilai gizi protein
akibat terjadinya penurunan
avaibilitas asam amino esensial. Penambahan jeruk nipis pada proses pengolahan
formula A menyebabkan denaturasi sebesar
9,67% dan pada
formula B sebesar 12,55%.
Perbedaan ini
terjadi karena perbedaan volume dan
lama pendiaman setelah pemberian cuka. Pada
proses pengolahan formula A, jeruk nipis yang digunakan
sebanyak 1 ml dan lama pendiaman selama 1 menit. Sedangkan pada formula B,
jeruk nipis yang
digunakan sebanyak 4,5 ml, dan
didiamkan selama 2 menit.
Perbedaan volume dan
lama pendiaman menyebabkan perbedaan kadar
protein. Hal ini
sesuai dengan teori yang
dikemukakan Ophart, C.E
(dalam Nurjanah, 2008)5 bahwa
semakin lama protein bereaksi dengan
asam, kemungkinan besar
ikatan peptida terhidrolisis sehingga
struktur primer protein rusak. Penambahan asam jawa
pada formula C
tidak menyebabkan denaturasi protein
tetapi meningkatkan kadar protein
sebesar 0,51% atau meningkat sebesar
0,05 gram. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh
singkatnya pendiaman air asam
jawa dengan ikan
teri segar. Selain itu,
peningkatan kadar protein
ikan kemungkinan berasal dari
asam jawa.
BAB III KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil diskusi dan pengumpulan informasi, maka kami menyipulkan:
1.
Pengolahan dapat dilakukan secara fiisik, kimia
atau biologis. Secara fisik biasanya dilakukan
dengan penghancuran atau pemanasan, secara
kimia dengan penggunaan
pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam
atau belerang dioksida;
dan secara biologis
dengan hidrolisa enzimatis atau
fermentasi.
2.
Perlakuan protein dengan alkali dapat
menyebabkan terjadinya
rasemisasi asam amino, perubahan bentuk
L menjadi bentuk D. Selain itu juga
dapat terjadi reaksi antara asam amino
yang satu dengan yang
lain, misalnya terbentuknya lisiolalanin dari lisin dan
alanin. Yang menyebabkan menurunnya nilai gizi protein
akibat terjadinya penurunan daya cerna protein dan ketersediaan atau availabilitas
asam-asam amino esensial.
3.
Reaksi Maillard, Reaksi dengan senyawa
polifenol, Pembentukan lisinoalanin, Rasemisasi asam amino, Interaksi antara
protein dan lipid teroksidasi, yang terjadi karena proses pengolahan juga merupakan penyebab utama
terjadinya kerusakan protein
selama pengolahan dan penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
Harris
RS and Karmas E. 1988. Nutritional Evaluation of Food Processing. Third Edition,
AVI Publ, Westport
Muchtadi, D.
1989. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan. Pusat Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB.
Muchtadi,
D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar UniversitasPangan dan Gizi.
IPB.
Omaye S. 2004. Food and
Nutritional Toxicology. CRC Press, Boca Raton, USA
Diakses pada Minggu 15 September 2013
Comments
Post a Comment