Sosiologi Pertanian
POLA HUBUNGAN ANTAR SUKU BANGSA
(Laporan Sosiologi Pertanian)
Oleh :
Kelompok 1
Nia Yuliyanti
(1114141054)
JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERITAS LAMPUNG
2012
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelompok etnik atau
suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis
keturunan yang dianggap sama.
Identitas suku pun
ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan
oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
Menurut pertemuan
internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun
1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia.
Ini adalah sebuah
gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini
seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan
Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat
hakiki sebuah kelompok.
Proses-proses yang
melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan,
para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya
melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah
mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan
norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada
dasarnya adalah temuan yang relatif baru.
Anggota suatu suku
bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial)
seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti
suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa.
Adapula yang
menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan "orang peranakan"
untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, "orang Indo" sebutan
campuran bule dengan bangsa Melayu, "orang Mestis" untuk campuran
Hispanik dengan bumiputera, "orang Mulato" campuran ras Negro dengan
ras Kaukasoid, Eurosia, dan sebagainya.
Adapula ditentukan
menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera yang
muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani (peranakan Portugis seperti
orang Tugu), suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di Filipina
Selatan, dan sebagainya.
Secara kodrati, manusia adalah sebagai
makhluk individu, sosial, dan ciptaan Tuhan. Manusia sebagai makhluk sosial
selalu memerlukan dan membentuk berbagai persekutuan hidup untuk menjaga
kelangsungan hidupnya.
Sifat alamiah manusia adalah hidup berkelompok,
saling menghormati, bergantung, dan saling bekerja sama. Seperti halnya dalam
hubungan antarbangsa, suatu bangsa satu dengan lainnya wajib saling
menghormati, bekerja sama secara adil dan damai untuk mewujudkan kerukunan
hidup baik antar suku bangsa ataupun antarbangsa.
Dalam membina hubungan antar suku bangsa
ataupun internasional indonesia mempunyai tujuan untuk meningkatkan
persahabatan, dan kerjasama bilateral, regional, dan multilateral melalui
berbagai macam forum sesuai dengan kepentingan dan kemampuan nasional.
Untuk menciptakan perdamaian dunia yang
abadi, adil, dan sejahtera, Indonesia harus tetap melaksanakan politik luar
negeri yang bebas dan aktif. Dan untuk menciptakan hubungan internasional yang
baik, maka Indonesia harus memiliki hubungan suku bangsa didalamnya yang baik
pula.
Oleh karena itu, disusunlah makalah ini
untuk mengetahui apa saya yang termasuk dalam hubungan antar bangsa dan faktor-
faktor penyebab terjadinya hubungan antar bangsa, mengingat pentingnya kerja
sama dan saling ketergantungan antara suku bangsa satu dengan yang lainnya.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah
untuk memberikan pemahaman terhadap pembaca atau orang lain mengenai pola
hubungan antar suku bangsa, terutama hubungan suku bangsa yang menjadi studi
kasus dari penulis.
C. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang dan tujuan pembuatan
laporan ini, maka kami merumuskan pembahasan ke dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
Apa Pengertian
Pola Hubungan Antar Suku Bangsa?
Aspek-Aspek Dalam Hubungan
Antar Suku Bangsa?
Upaya Untuk Menciptakan Hubungan Antar Suku Bangsa Yang Harmonis?
BAB II ISI
A.
Pengertian Pola Hubungan
Antar Suku Bangsa
Pola adalah
bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai
untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya
jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola
dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan
memamerkan pola. Pola yang paling sederhana didasarkan pada repetisi: beberapa tiruan satu
kerangka digabungkan tanpa modifikasi.
Suku bangsa atau kelompok
etnik adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan
dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap
sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas
kelompok tersebut, dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau
ciri-ciri biologis.
Suku bangsa juga diartikan sebagai suatu golongan
manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.
Kesadaran dan identitas tersebut diperkuat akan kesatuan bahasa yang digunakan,
serta dengan kesatuan kebudayaan yang timbul karena suatu ciri khas dari suku
bangsa itu sendiri bukan karena pengaruh dari luar.
Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat berwujud
sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya
yang memunculkan cirri khas dari masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya konsep
suku bangsa sangatlah kompleks, karena dalam kenyataan batas dari kesatuan
manusia yang merasakan diri terikat akan keseragaman kebudayaan tersebut dapat
meluas maupun menyempit tergantung situasi dan kondisi pada saat itu.
Jadi, Pola hubungan antar suku bangsa adalah bentuk
atau model atau lebih abstrak, suatu set peraturan yang digunakan untuk membuat
atau untuk menghubungkan golongan-golongan manusia yang anggotanya mengidentifikasikan
dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap
sama ataupun faktor kesamaan lainnya terikat oleh
kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.
B. Aspek-Aspek Dalam Hubungan Antar
Suku Bangsa
Koentjaraningrat (1967) menyatakan bahwa dalam
menganalisis pola hubungan antar suku bangsabdan golongan, terdapat beberapa
aspek-aspek penting, yakni:
1.
Sumber-sumber konflik antar suku
bangsa
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya
adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam
interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat
dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan
Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol
akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik.
Sumber-sumber konflik menurut Koentjaraningrat (1967),
yakni:
Persahingan untuk memperoleh mata
pencaharian yang sama
Warga suatu bangsa memaksakan
unsur-unsur kebudayaan kepada warga suatu suku bangsa lain
Memaksakan konsep-konsep agama
terhadap warga suku bangsa lain yang berbeda agama
Usaha mendominasi suatu suku
bangsa lain dengan politik
Potensi konflik terpendam karena permusuhan
secara adat
Melihat beberapa faktor sumber penyebab konflik
tersebut memang dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu
yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada
kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan
campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik
yang muncul.
Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai
lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke
kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah
cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang
tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya
akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
Abitrasi, yaitu suatu perselisihan
yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat
penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua
belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini
terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat
spontan dan informal.
Mediasi, yaitu penghentian
pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
Konsiliasi, yaitu usaha untuk
mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai
persetujuan bersama.
Stalemate, yaitu keadaan ketika
kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu
berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena
kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
Adjudication (ajudikasi), yaitu
penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi
keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik
adalah :
a. Aspek
kualitas warga sukubangsa
Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan
mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di
Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu
keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau
konflik.
Perlunya diberikan pemahaman kepada
para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang
ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing
pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota
sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta
menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
Adanya kesediaan dari kedua belah
pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang
telah terjadi.
a.
Penerapan model Polmas secara
sinkron dengan model Patron-Klien.
Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa
yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu
adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau
badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta
ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik.
Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan
oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif
dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian
dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran
pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa
keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini,
Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari
masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua
belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang
terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk
kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan-
permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.
Konflik akan menjadi pressure bagi warga untuk tidak
melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah ke konflik. giat polmas akan
menimbulkan kesadaran hukum akan pentingnya hidup bersoasial dan rasa tentram
dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika muncul perang antar kelompok, maka polisi harus
segera menengahi konflik fisik atau perang yang sedang atau yang akan segera
terjadi dengan cara mengirimkan pasukan yang kekuatannya lebih besar dibanding
yang berperan, namun semua tindakan tersebut diatas akan akan menjadi sia-sia
apabila kedua suku bangsa tersebut tidak ada upaya atau komitmen yang kuat
diluar dari perdamaian untuk keharmonisan hubungan yang lebih baik sebagaimana
yang berlaku didalam hidup bermasyarakat.
Perlu juga dilakukan pendidikan moralitas dan
pendalaman ajaran agama masing-masing yang menekankan akan pentingnya saling
menghargai dan hormat- menghormati dengan penuh toleransi antar umat beragama,
tentunya juga partsipasi tokoh-tokoh masyarakat baik pemuka agama dan pemimpin
etnis juga sangat diharapkan. kerjasama ini harus dibindengan berkesinambungan.
Pihak ketigayang netral harus selalu siap memfasilitasi dan mengawasi hubungan tersebut
demi terciptanya keamanan dan ketertiban didalam masyarakat.
2.
Potensi untuk kerja sama menurut
Koentjaraningrat (1967), yakni:
Warga dua suku bangsa yang
berbeda dapat bekerja sama dibidang sosial ekonomi karena masing-masing
memperoleh mata pencaharian yang berbeda-beda dan saling melengkapi
Ada golongan ketiga yang dapat
menetralisir hubungan kedua suku bangsa yang berkonflik
Berkaitan dengan hal tersebut di atas beberapa faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya konflik sosial, karena adanya perbedaan
sumber penghidupan atau mata pencaharian, adanya pemaksaan unsur-unsur
kebudayaan dari suku bangsa lain,adanya fanalistik, adanya dominasi dari salah
satu suku bangsa, dan adanya permusuhan atar suku secara adat.
Setiap suku bangsa atau kelompok manusia mempunyai
potensi bagi terciptanya konflik sosial, sebab setiap manusia dalam suatu kelompok
mempunyai kecenderungan untuk berinteraksi dengan manusia lain di dalam
kelompoknya maupun yang berada di luar kelompoknya. Pada saat berinteraksi inilah konflik sosial
dapat terjadi, karena adanya perbedaan kepentingan dan pandangan dari
masing-masing pihak yang beriteraksi tersebut.
Hanya saja besar kecilnya konflik sosial yang terhadi
sangat ditentukan bagaimana cara kelompok atau suku bangsa tersebut memandang
perbedaan-perbedaan yang terjadi.
Perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah
terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur
tangan pihak ketiga untuk menetralisir kedua suku bangsa yang berkonflik.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menjadi potensi
kerjasama yang harmonis jika kedua suku bangsa menanggapi setiap perbedaan dari
segi positif-negatif bukan hanya dari segi negatifnya saya. Dengan adanya
perbedaan makan antar suku bangsa dapa memenuhi berbagai aspek yang tidak
dimiliki oleh kebudayaan yang ada dalam kebudayaannya dengan kebudayaan dari suku
bangsa lain sehingga terjadi keragaman.
Dalam hal sosial ekonomi, perbedaan merupakan potensi
untuk terjadinya kerjasama, dimana adanya saling ketergantungan antar suku
bangsa untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
3.
Aneka warna bentuk masyarakat
desa
Aneka warna bentuk masyarakat desa menurut
Koentjaraningrat (1967), yakni:
Prinsip hubungan kekerabatan
Prinsip hubungan tingkat dekat
Prinsip hubungan yang timbul dari
dalam masyarakat pedesaan sendiri tetapi datang dari atas desa
Prinsip tujuan khusus
Kerjasama dan konflik
Hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan
merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal-usul silsilah yang
sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan
kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang
ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah. Hubungan keluarga
dapat dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek) atau secara abstrak menurut
tingkatan kekerabatan.
Hubungan tingkat dekat merupakan
hubungan antar individu ataupun kelompok yang memiliki kedekatan baik secara fisik
maupun emosionalnya, prinsip hubungan lain seperti prinsip yang terbentuk
karena adanya kebudayaan luar yang masuk kedalam masyarakat atau kelompok etnik
tertentu, ataupun hubungan-hubungan karena tujuan tertentu dan kerjasama serta
konflik yang terjadi dalam suku bangsa di masyarakat pedesaan.
4.
Mengikat warga desa menjadi
persekutuan hukum
Masing-masing prinsip hubungan desa tersebut mengikat
warga desa menjadi persekutuan hukum, yakni:
Persekutuan hukum genealogis
Persekutuan hukum teritorial
Persekutuan hukum atas kebutuhan
yang disebabkan faktor ekologis
Persekutuan huku atas kebutuhan
yang ditentukan karena ikatan dari atas desa.
Persekutuan Genealogi adalah faktor yang mementingkan
adanya pertalian darah suatu keturunan yang dalam kenyataannya tidak menduduki
peranan yang penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum.
Persekutuan hukum teritorial adalah faktor yang
terkait pada suatu daerah tertentu yang memiliki peranan terpenting dalam
timbulnya suatu persekutuan hukum.
Menurut
dasar tata-susunannya, maka struktur persekutuan-persekutuan hukum di
Indonesia ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
Genealogic
(berdasar pertalian suatu keturunan).
Teritorial
(berdasar lingkungan daerah)
Persekutuan
genealogis, apabila seseorang menjadi anggota persekutuan tergantung daripada
pertanyaan, apakah orang itu masuk suatu keturunan yang sama.
Dalam hal
ini ada 3 macam dasar pertalian keturunan sebagai berikut:
Pertalian
darah menurut garis bapak (patrilineal), seperti pada suku Batak, Nias, Sumba.
Pertalian
darah menurut garis ibu (matrilineal), seperti di Minangkabau.
Pertalian
darah menurut garis ibu dan bapak (parental), seperti pada suku Jawa, Sunda,
Aceh, Dayak; di sini untuk menentukan hak-hak dan kewajiban seseorang, maka
famili dari pihak bapak adalah sama artinya dengan famili dari pihak ibu.
Persekutuan
teritorial, apabila keanggotaan seseorang tergantung daripada bertempat tinggal
di dalam lingkungan daerah persekutuan itu atau tidak.
Ada 3 jenis
persekutuan hukum teritorial vaitu:
- Persekutuan desa:
Apabila ada
segolongan orang terikat pada satu tempat kediaman; juga apabiia di dalamnya
termasuk dukuh-dukuh yang terpencil yang tidak berdiri sendiri, sedang para
pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semuanya bertempat tinggal di dalam
pusat kediaman itu.
Contoh: desa
di Jawa dan di Bali.
- Persekutuan daerah:
Apabila di
dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai
tata-susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang sejenis, berdiri
sendiri-sendiri tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah; daerah
memiliki harta-benda dan menguasai hutan dan rimba di antara atau dikeliling
tanah-tanah yang ditanami dan tanah-tanah yang ditinggalkan penduduk desa itu.
Contoh:
Kuria di Angkola dan Mandailing yang mempunyai hutan-hutan di dalam daerahnya.
Marga di
Sumatera Selatan dengan dusun-dusun di dalam daerahnya.
- Perserikatan (beberapa
kampung).
Apabila
beberapa persekutuan kampung yang terletak berdekatan mengadakan permufakatan
untuk memelihara kepentingan-kepentingan bersama, misalnya akan mengadakan
pengairan
Dari ketiga
jenis tersebut di atas, yang semuanya berlandaskan pada faktor teritorial,
persekutuan desa-lah yang menjadi pusat pergaulan hidup sehari-hari.
Dalam waktu
yang lampau, pada saat belum ada fasilitas lalu-lintas seperti sekarang ini,
memang masih dapat diketemukan beberapa contoh dari kedua jenis persekutuan
hukum dimaksud di atas di beberapa daerah sebagai berikut:
Persekutuan genealogis
di Gayo (Aceh Selatan); orang Gayo sernula hanya mengenal ikatan keturunan saja
(merupakan clan), tetapi lambat laun mereka mulai mengenal ikatan daerah juga.
Persekutuan
teritorial terdapat di Aceh (Gampong, meunasah); di Jawa, Bali, Lombok, Madura
(Desa); di Sumatera Selatan (dusun); di Sumatera Timur, di Sulawesi Selatan, di
Minahasa dan di Ambon.
Pembedaan
penduduk dalam beberapa golongan, terdapat di kebanyakan lingkungan hukum
adat. Hanya asas penggolongan-penggolongannya yang di satu daerah dengan yang
lain tidak sama.
Orang-orang
yang membuka tanah, orang-orang keturunan para pembuka desa/tanah, pada umumnya
orang-orang yang memiliki tanah-tanah asal; mereka ini disebut orang-orang
baku.
Bahkan
dikebanyakan desa termasuk golongan pertama ini juga orang-orang yang memiliki
perkebunan, sawah serta pekarangan, meskipun bukan keturunan para pembuka desa;
mereka ini disebut pribumi, sikep, gogol kuli kenceng.
Golongan
kedua
Orang-orang
yang hanya memiliki pekarangan atau rumah dan tegalan saja; mereka ini disebut
lindung indung, kuli gundul.
Golongan
ketiga
Orang-orang
yang tidak memiliki pekarangan atau tanah, melainkan yang bertempat tinggal di
pekarangan orang lain; mereka ini disebut penumpang, numpang.
C.
Upaya Untuk Menciptakan Hubungan Antar Suku Bangsa Yang Harmonis
Pandangan dan penilaian terhadap
suatu etnis atau suku bangsa tersebut sangat banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor dan sampai sekarang penelitian tentang hubungan antar etnis yang
berbeda-beda terutama di Indonesia masih sedikit. Sehingga cukup kesulitan
apabilakita ingin mengetahui sejauh mana kontak antar etnik dalam masyarakat Indonesia
terjadi dan mendeskripsikan karakteristik dari tiap etnik atausuku bangsa
tersebut.
Hubungan antar etnik atau suku
bangsa sangat bervariasi, bahkan kadang reaksinya berbeda-beda, tidak semuanya
bisa menimbul-kan konflik, tidak semuanya pula menjadikan suatu hubungan
kerjasamayang harmonis, Kasus yang terjadi ketika konflik antara orang Madura dengan
orang Dayak di Kalimantan Barat, tetapi tidak terjadi antara orangdayak dengan
orang Jawa, padahal orang jawa juga banyak yang tinggaldi Kalimantan Barat.
Upaya untuk menciptakan hubungan
yang harmonis dan salingkerjasama diantara suku-suku bangsa yang berbeda-beda
di negara-negara multi etnik seperti Indonesia merupakan masalah yang
cukupberat. Berbagai upaya harus dilakukan secara terus menerus oleh semuapihak
baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat Indonesia sendiri.
Pemerintah Indonesia harus membuat
program-program pembangunanyang dapat mewujudkan hubungan kerjasama diantara
suku bangsa yang berbeda-beda, menjamin adanya keamanan dalam melaksanakan hubungan
tersebut, demikian juga masyarakat Indonesia harus mengem-bangkan sikap-sikap
dan prilaku yang dapat menciptakan hubungankerjasama yang saling menguntungkan.
Upaya untuk menciptakan hubungan
antar etnis dan suku bangsa yang harmonis bisa dilakukan dengan memperluas
kesempatan terjadi-nya kontak antar golongan etnis sejak dari usia dini sampai
dengan orangdewasa melalui berbagai kegiatan, birokrasi, bisnis, pendidikan,
olahraga, kesenian dan sebagainya.
Namun
demikian, tidak menutup kemungkinan dari berbagaiupaya tersebut menghasilkan
reaksi terbalik, yaitu menciptakan danmemperkuat prasangka golongan etnis atau
suku bangsa tertentu.
Beberapa
konsidi yang tidak menguntungkan yang cenderung memperkuat prasangka adalah:
Bila
situasi kontak menciptakan per-saingan diantara berbagai golongan;
Bila
kontak yang terjadi tidakmenyenangkan, dipaksakan dan tegang;
Bila
situasi kontak mengha-silkan rasa harga diri atau status dari salah satu
golongan direndahkan;
Bila
warga dari suatu golongan atau golongan sebagai keseluruhansedangn mengalami
frustasi (misalnya baru saja mengalami kegagalanatau musibah, depresi ekonomi,
dansebagainya), kontak dengangolongan lain bisa membentuk pengkambinghitaman
etnis;
Bila
kontakterjadi antara berbagai golongan etnis yang mempunyai moral
ataunorma-norma yang bertentangan satu sama lain;
Bila
dalam kontakantar golongan mayoritas dan golongan minoritas, para warga
darigolongan minoritas statusnya lebih rendah atau berbagai
karakteristiknyalebih rendah dari golongan mayoritas .
Pada
masyarakat Indonesia hubungan antar suku bangsa itu sering dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan dan penilaian-penilaiandiantara mereka yang selama ini
sudah terbentuk. Walaupun pandangan-pandangan dan penilaian-penilaian itu
sifatnya relative dan berubah-ubah, namun ada kecenderungan menjadi pegangan
awal bagi sukubangsa tertentu apabila pertama kali melakukan kontak hubungan kerjasama
dengan suku bangsa yang berbeda
BAB III PEMBAHASAN
A. Contoh Pola Hubungan Antar Suku Bangsa
"Pembantaian yang terjadi tidak bisa
disederhanakan sebagai konflik antara orang Dayak dengan Madura, apalagi
sebagai konflik agama. Tapi akar dari masalah ini sudah lama”
Tercipta ketika pemerintahan Orde Baru, yang
didukung oleh lembaga-lembaga hutang internasional, secara bersama-bersama
menanam modal di proyek-proyek besar, yang jugamenanam akar dari konflik yang
terjadi sekarang ini dan juga menggambarkan situasi kemanusiaan di Indonesia
secara umum” (Pernyataan NGO, Jakarta 1 Maret 2001)
Luas wilayah Kota Sampit, ibukota Kabupaten
Kotawaringin Timur, adalah 50.700Km. Didiami oleh 485.200 jiwa, diperkirakan
terdapat etnis Madura sebesar 75.000 jiwa, diluar itu, suku asli yakni Dayak
menjadi mayoritas, dan selebihnya adalah suku Banjar, Cinadan sedikit berasal
dari suku Jawa dan pendatang lainnya. Dari segi agama, Islam menjadi mayoritas
sekitar 80% dan yang lain terdiri dari Kristen, Khatolik, Kaharingan, dan
lainnya. Ketegangan yang terjadi antara etnis pendatang, Madura dan etnis asli
yaitu Dayak. Berawal dari sumber daya alam di Kalimantan Tengah kota Sampit
yang dialih fungsikan.
Ekonomi dari warga setempat tergantung pada
kayu dan perkebunan. Tiga puluh tahun yang lalu, 5 juta hektar tanah disana
merupakan wilayah hutan. Namun kini, hanya sekitar 2,7 juta hektar yang
dirancang sebagai “tanah hutan” dan hanya 0,5 juta hektar yang menjadi hutan
lindung.
Satu juta hektar merupakan tanah yang yang
rencananya akan di ubah menjadi wilayah industri dan sisanya digunakan untuk
lahan pemukiman para pendatang yang bermigrasi. Yang menjadi permasalahan
lagi adalah orang setempat dilarang oleh hukum untuk menjadikan hutan tersebut
sebagai sumber penghidupan. Karena kebijakan pembangunan dan imigrasi yang
ditetapkan oleh era Orde Baru, mulai banyak permasalahan timbul. Dan kemudian
warga pendatang, etnis Madura, pada kenyataan berhasil menguasai sumber ekonomi
dan kelompok etnis ini bersifat eksklusive
Kedudukan penduduka asli,etnis Jawa yang
semakin tersudut, membuat gesekan-gesekan kecil yang terjadi menjadisebuah
konflik yang berkepanjangan. Kerusuhan etnis Madura dan Dayak marak pada
tanggal 17 Februari 2001 di Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur,
ketika sebuah rumah milik penduduk asli Dayak dibakar habis.
Menurut laporan orang-orang setempat, ada
komplotan orang Madura yang baru saja tiba berkeliling Sampit sambil
memekik ‘Matilah Orang Dayak.’ Ratusan orang Dayak mengungsi keluar dari kota
atau berlindung di gereja-gereja. Setelah berita itu menyebar orang Dayak dalam
jumlah besar kemudian kembali ke Sampit untuk membalas dendam. Enam orang
tewas.
Kerusuhan menyebar dengan cepat ke kota
maupun kampung sekitar dan mencapai ibukota propinsi Palangkaraya, 220
kilimeter ke sebelah Timur. Dalam sebuah insiden terburuk saat kerusuhan, 118
orang Madura yang sedang dalam perjalanan ke Sampit dibunuh oleh orang Dayak di
kampung Parenggean pada tanggal 25 Februari 2001,setelah polisi pengawal mereka
melarikan diri.
Disini juga terdapat peran media massa yang menggembar-gemborkan
permasalahan tanpa mengetahui fakta dan menyulut atau memprovokasikan kemarahan
dari masing-masing etnis.Pada tanggal 22 Maret terjadi lagi kerusuhan di sekitar
ibukota Kabupaten KualaKapuas, Sebanyak 17 orang lagi dilaporkan tewas dan
banyak rumah serta harta benda yangdibakar. Banyak orang Madura meminta
perlindungan polisi.
Polisi mendapat perintah tembak ditempat
terhadap para perusuh.Bulan April kerusuhan baru berupa pembakaran rumah
dilaporkan di Pangkalan Bun, ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat. Menurut
polisi setempat, kerusuhan diawali olehsekitar 400 orang yang tiba dengan
menggunakan truk dari arah Sampit yang berhasilmenerobos para polisi yang mencegah
mereka untuk memasuki kota. Mereka mulai membakari rumah-rumah orang Madura,
sekaligus menciptakan arus pengungsi lebih lanjut.Kembali ke Sampit, orang
Dayak bentrok dengan polisi pada tanggal 10 April ketika para pengunjuk
rasa yang marah memprotes penahanan dan penembakan orang Dayak.
Para pengunjuk rasa menuntut agar semua polisi mundur dari kota. Tembakan
dilepaskan danseorang awam tewas.
Peristiwa ini dan konflik-konflik di
Indonesia lainnya ada kemungkinan disebabkan oleh kombinasi dari permasalahan
supra state, vertikal dan horizontal. Dimulai denganadanya kebijakan
pembangunan yang dilakukan pada rezim Soeharto yang diikuti olehcampur tangan
pihak asik, dimana pihak asik ikut banyak menyokong kegiatan tersebutdengan
penanaman modal dan proyek besar.
Hal tersebut mengindikasi kan bahwa ada ikut campur
tangan dunia luar artinya ada permasalahan supra state disini. Kebijakan yang dikeluarkan
mengenai migrasi, hutan, dan lainnya menumbuhkan percikan amarah dalametnis
asli yang terpendam. Pemerintahan rezim ini menekan konflik melalui aparat
militer negara.
Dibeberapa rangkaian kronologis dijelaskan
bahwa terjadi konflik vertikal pula,antara etnis Dayak dan aparat polisi
bertikai dan juga memakan korban. Konflik horizontal disini terjadi pelampiasan
kekecewaan etnis Dayak di lakukan kepada etnis pendatang Madura yang menguasai
sumber ekonomi dan politik. Ketika terjadi gesekan kecil menimbulkan pertikaian
berkelanjutan.
Dari segi sosiologis kasus ini dapat
dianalisis melalui teori konflik yang diungkapkan oleh Marx dan Dahrendorf.
Teori ini dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam
masyarakat. Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan seumber dayaalam yang langka
dapat membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat
BAB IV KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan isi dan
pembahasan laporan ini adalah sebagai berikut:
1.
Pola hubungan antar suku bangsa adalah bentuk atau model
atau lebih abstrak, suatu set peraturan yang digunakan untuk membuat atau untuk
menghubungkan golongan-golongan manusia
yang anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama ataupun faktor kesamaan lainnya
terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.
2.
Aspek-Aspek Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa menurut
Koentjaraningrat (1967):
·
Sumber-sumber konflik menurut
Koentjaraningrat (1967), yakni:
Persahingan untuk memperoleh mata
pencaharian yang sama
Warga suatu bangsa memaksakan
unsur-unsur kebudayaan kepada warga suatu suku bangsa lain
Memaksakan konsep-konsep agama
terhadap warga suku bangsa lain yang berbeda agama
Usaha mendominasi suatu suku bangsa
lain dengan politik
Potensi konflik terpendam karena
permusuhan secara adat
·
Potensi untuk kerja sama menurut
Koentjaraningrat (1967), yakni:
Warga dua suku bangsa yang berbeda dapat bekerja sama dibidang sosial
ekonomi karena masing-masing memperoleh mata pencaharian yang berbeda-beda dan
saling melengkapi
Ada golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan kedua suku bangsa yang
berkonflik
·
Aneka warna bentuk masyarakat
Prinsip hubungan kekerabatan
Prinsip hubungan tingkat dekat
Prinsip hubungan yang timbul dari
dalam masyarakat pedesaan sendiri tetapi datang dari atas desa
Prinsip tujuan khusus
Kerjasama dan konflik
·
Mengikat warga desa menjadi
persekutuan hukum
Persekutuan hukum genealogis
Persekutuan hukum teritorial
Persekutuan hukum atas kebutuhan
yang disebabkan faktor ekologis
Persekutuan huku atas kebutuhan
yang ditentukan karena ikatan dari atas desa.
3.
konsidi yang tidak menguntungkan yang cenderung memperkuat prasangka adalah:
Bila
situasi kontak menciptakan per-saingan diantara berbagai golongan;
Bila
kontak yang terjadi tidakmenyenangkan, dipaksakan dan tegang;
Bila
situasi kontak mengha-silkan rasa harga diri atau status dari salah satu
golongan direndahkan;
Bila
warga dari suatu golongan atau golongan sebagai keseluruhansedangn mengalami
frustasi bisa membentuk pengkambinghitaman etnis;
Bila
kontakterjadi antara berbagai golongan etnis yang mempunyai moral ataunorma-norma yang
bertentangan satu sama lain;
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Hildred. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indoensia (terj. oleh A.
Rahman Zainuddin). Jakarta : YIS dan FIS-UI
Johnson, Paul D. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 2 (terj. Oleh
Robert M.Z. Lawang). Jakarta : PT Gramedia
Keesing, Roger M. 1992. AntrGopologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer, Jilid 1 dan 2
(terj. R. Soekadijo). Jakarta : Erlangga
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Diakses pada kamis, 31 Mei 2012 pukul 11:15 WIB
mksi yaaa
ReplyDeleteya sama2
ReplyDelete